10. Terimakasih

191 50 28
                                    


"Dan lo sadar gak sih bang, sebenarnya Abang lah yang bisa mengembalikan keadaan. Meskipun orang tua Abang gak bisa bersatu lagi, setidaknya hubungan Abang sama adek Abang bisa kembali baik. Kalian itu, bergantung satu sama lain."




☁️☁️☁️





Pagi ini, laki-laki jangkung itu kembali memandangi langit lekat-lekat. Pandangannya, tidak berhenti tertuju pada warna biru yang luas diatasnya. Di matanya, seolah ada sebuah kerinduan yang tak terbendung. Jika ditanya, apakah ia sudah mengikhlaskan kepergian Abi? Jawabannya tentu iya. Tapi, ia tidak bisa berbohong, bahwa setiap hari ia selalu merindukan sosok yang telah lama pergi dari bumi itu.

Daud Alfarisi, adalah nama dari sosok yang selalu ia rindukan. Sosok yang tidak hanya berperan menjadi ayah, tapi juga guru, teman, sekaligus motivator bagi seorang Ghaza Asyiqos Sama'. Dibanding adiknya, Ghaza memang paling dekat dengan Abi Daud, maka tak heran, ketika sosok itu pergi untuk selama-lamanya, Ghaza adalah yang paling kehilangan.

Ghazi juga sama-sama kehilangan, namun Ghazi lebih memilih menutup luka itu hingga akhirnya mengering. Tidak seperti Ghaza yang setiap hari membuka luka itu, hingga membuat luka itu selalu basah.

Sejak hari kemarin, rumah berubah menjadi sepi. Sebab Ghazi sudah berangkat ke pesantrennya. Biasanya, adiknya itu yang akan menyiapkan sarapan. Pagi ini, Umi yang terlihat sibuk di dapur. Masakan mereka berdua memang sama-sama enak bahkan Ghaza seringkali tidak bisa membedakan masakan mereka saking miripnya. Kalau kata kakeknya Ghaza, Ya jelas saja adikmu belajar pada umimu.

Jam merangkak ke pukul tujuh tepat saat Ghaza mendapati perempuan itu duduk seperti biasa di bangku kelas paling ujung. Kali ini, ia mendapati Gia tengah membaca buku, dan sepertinya itu adalah buku yang pernah ia berikan beberapa waktu lalu--buku tentang adab seorang perempuan.

"Tumben banget," tepat saat Ghaza bergumam, gadis itu menatap ke arahnya dengan tatapan yang sama cerahnya seperti matahari pagi di luar sana. Ghaza sedikit terkejut saat tatapan mereka akhirnya bertemu, sebab Ghaza merasa ia tak berkata terlalu keras tadi.

Melihat Gia tersenyum ke arahnya, Ghaza hanya membalasnya dengan seulas senyum singkat. Selepas itu ia kembali melakukan aktivitasnya, lebih tepatnya mencari-cari aktivitas agar sebisa mungkin tidak terlihat salah tingkah.

Ghaza jadi ingat saat awal bertemu dengan perempuan itu beberapa bulan lalu, ketika itu mungkin ia kelas 10. Sejak awal, Ghaza merasa Gia memang berbeda dengan siswi-siswi lain yang pernah ia temui. Dan diantara perempuan--selain ummi dan adiknya--yang pernah ia kenal, Gia adalah yang paling unik, lalu entah kenapa secara ajaib, gadis itu seolah menjadi distraksi indah dalam hari-harinya.

Terlepas dari tingkah Gia yang membuat siapa saja geleng-geleng kepala dan pusing tujuh keliling, Ghaza justru menemukan sebuah ketulusan dalam diri anak itu. Sering kali Ghaza mendapati Gia membantu orang-orang dengan caranya, bahkan secara sembunyi-sembunyi.

Lalu, tentang sosok gadis itu yang selalu terlihat ceria dan tertawa lepas hingga membuat semua orang ikut  tertawa, yang Ghaza temukan justru adalah Gia yang rapuh. Ia memang pandai membuat orang lain tertawa, tapi sepertinya ia juga pandai menyembunyikan luka. Dan lagi-lagi...Ghaza ingin mencoba menyembuhkan luka itu.

Entah bagaimana caranya.


☁️☁️☁️

Pukul tujuh kurang sepuluh. Gia belum selesai membolak-balik halaman dari buku dengan sub bab "Perempuan Penghuni Surga". Sudah setengah jam ia berhenti di satu halaman itu. Katanya ciri-ciri penghuni surga itu adalah wanita yang Menjaga sholat 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjauhi zina, sabar, membantu sesama, berbakti kepada kedua orang tua, mengenakan pakaian taqwa: Hijab.

Perindu Langit [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang