14. Seluas Langit

214 45 25
                                    


Dia membumi, namun Tuhan melangitkannya.
Dia melangitkanku yang rendah serendah bumi.
Dia tak pernah menjatuhkanku sekalipun aku telah jatuh. Dia membuatku selalu utuh.
Ia benar-benar seperti langit. Begitu luas, sampai-sampai aku tak bisa mendeskripsikan kebaikannya.
Terimakasih, terimakasih telah menjadi langit ku yang menginspirasi.

☁️☁️☁️

Pernah suatu hari seorang Chandra Surya yang terkenal dengan kejahilan, ketengilan, dan kebobrokannya itu bertanya sesuatu pada Ghaza. Pertanyaannya cukup membuat Ghaza sedikit tidak menyangka, pasalnya jarang sekali seorang Chandra bersikap serius. Ia kira, Chandra alias Enchan hanya tahu tentang bagaimana cara menghibur orang-orang disekitarnya, atau tentang hal-hal konyol dalam dirinya.

Namun benar, seseorang tidak bisa dinilai dari luarnya saja, ada kalanya sesosok Echan yang sifatnya selalu terlihat ceria itu merasakan sebuah kehampaan dan kejenuhan. Ia mungkin bisa menghibur orang lain, tapi tentang bagaimana cara ia menghibur diri sendiri, kadang kala ia tidak tahu.

Hari itu di tengah lapang basket, di bawah matahari hari terik, keduanya berdiri sembari menghormat tiang bendera. Hari itu adalah kesekian kalinya Enchan dihukum seperti ini, namun ini pertama kalinya bagi Ghaza. Sebetulnya Enchan tahu, Ghaza tidak melakukan kesalahan. Ghaza terlambat berangkat ke sekolah karena harus membantunya melawan beberapa musuh bebuyutan Enchan dari SMA sebelah yang tiba-tiba saja datang mengeroyok. Beruntung, Ghaza cukup menguasai beberapa jurus karate sehingga ia bisa lolos dari musuh Enchan itu. Pada akhirnya mereka dihukum karena kesiangan plus ketahuan ribut dengan SMA lain.

Pada hari itu, matahari terus merangkak ke puncak cakrawala. Bias sinarnya yang menyilaukan membuat kedua insan yang berdiri di tengah lapang itu tak berhenti menyipitkan mata.

Selama proses hukuman itu, Ghaza tak berbicara apapun sebelum akhirnya Echan bertanya, "Za, tau gak kenapa gua suka berantem sama anak SMA luar?"

"Mungkin karena lo sukanya keributan?"

Sebetulnya Ghaza hanya menjawab asal, namun ia cukup terkejut karena jawabannya benar.

"Bener! Itu salah satunya! Dari dulu, gua gak suka yang namanya kesepian, Za. Tapi Za..."

Sembari terus menatap bendera yang berkibar di atas sana, Ghaza mendengarkan, "Tapi apa?"

"Satu lagi alasan yang membuat gua suka keributan itu, karena gua merasa hidup gua monoton Za. Kenapa ya hidup gua monoton banget?"

Satu pertanyaan yang membuat Ghaza tidak menyangka dengan sosok Echan. Yang ia lihat dunia Echan selalu penuh tantangan dan pengalaman baru, tapi ternyata ia masih merasa hidupnya monoton.

"Lo ngerasa hidup Lo monoton?"

"Iya, Za. Rasanya hidup gua gitu-gitu aja dari lahir."

"Keluar dari zona nyaman, dan buat satu target hidup Lo, Chan!"

"Maksud lo?"

"Zona nyaman lo adalah menyukai yang namanya tawuran, keributan, dan perkelahian. Lo melakukan itu seolah-olah semuanya bisa membuat diri lo tertantang dan beda dari orang lain. Padahal itu adalah zona nyaman lo. Lo udah terlalu terbiasa dengan hal-hal semacam itu, dan perlahan diri lo tersesat tanpa arah yang jelas,"

Mencoba mencerna kata-kata Ghaza, Enchan hanya mangut-mangut.

"Menentukan tujuan hidup itu penting, Chan. Lo hidup buat apa? Dan untuk siapa? Kalau semua itu terjawab dengan benar, lo gak akan merasakan yang namanya hidup monoton. Gak usah muluk-muluk untuk berusaha bahagia, karena sedih dan senang itu ada masanya sendiri. Bersedihlah secukupnya, dan bahagialah semampunya. Kita cukup menjalani keduanya dengan bijak."

Perindu Langit [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang