11. Hujan, Halte dan Senja

272 66 24
                                    

☁️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☁️

Ada beberapa alasan kenapa Ghaza sering murung kalau langit sedang mendung. Dan seiring bertambahnya umur, alasannya selalu berubah. Dulu waktu kecil, Ghaza sedih langit mendung sebab pakaian yang dicuci uminya tidak jadi kering, lalu berakhir bau apek di halaman belakang. Kemudian waktu SMP, ia tidak suka langit mendung karena pandangannya sering tiba-tiba buram tanpa sebab. Bahkan pernah satu ketika, ia hampir-hampir tertabrak truk gara-gara langit pagi yang menghitam.

Lalu sejak kematian Abi, alasan itu berubah lagi, lebih tepatnya bertambah. Alasannya untuk tidak menyukai mendung terus bertambah. Tapi, seperti apa yang pernah Ghaza ceritakan, dia tidak membenci hujan. Ia hanya tidak menyukai kenangan-kenangan buruk yang terjadi di bawah langit mendung itu.

Dan sekarang, ia kembali menemukan kenangan buruk di bawah langit mendung itu. Disaat ia menjadi satu-satunya tameng untuk keluarganya, maka ia yang akan maju terlebih dahulu bila mana yang selama ini ia lindungi, diperlakukan buruk oleh orang lain.

Ghazira.

Ia menyaksikan adik satu-satunya itu ditampar lalu dipukul keras oleh seorang laki-laki sebayanya. Pecah sudah amarah Ghaza pada saat itu. Dengan segera ia memarkirkan motornya di sembarang tempat, lalu tanpa aba-aba ia menarik kerah belakang pria itu. Dalam satu pukulan, tubuh pria itu jatuh ke tanah.

Ghazi yang masih panik bertambah panik kala pria yang mengasarinya itu balas memukul saudara kembarnya di bagian kepala. Sedari dulu, hal yang paling Ghazi takuti adalah darah yang mengalir dari bagian tubuh Ghaza, sebab bila itu terjadi, hal menakutkan akan kembali terulang. Dan pada detik ini, ia lah penyebabnya. Darah itu mengalir lagi, disebabkan olehnya.

Ghazi melerai sekuat mungkin sebelum pria itu kembali memukul Ghaza. Namun sia-sia sebab Ghaza juga belum berhenti memukul, membuat pria itu terus membalas pukulannya.

"Kak Ghaza! Berhenti! Ini salahku!"

Saat merasakan tangan adiknya memeluknya dari belakang, seketika itu juga Ghaza melepaskan cengkeramannya di kerah baju laki-laki itu yang sepertinya satu almamater dengan Ghazi. Matanya masih merah menyala, dan darah di kepala juga tangannya belum berhenti mengalir.

"Apa maksud lo ini salah lo?"

Untuk pertama kalinya, Ghazi menerima bentakan dari kakak kembarnya.

"Dan lo," tunjuk Ghaza pada laki-laki yang kini tersungkur tak berdaya di atas tanah. "Berani-beraninya lo nyentuh adek gue! Lo santri disini juga kan, gue pastiin lo dikeluarin dari pesantren!"

Anak laki-laki yang tak jauh umurnya itu tersenyum miring, "Lapor aja! Gue juga bisa laporin lo karena udah mukulin gue!" katanya angkuh sembari beranjak lalu berlalu begitu saja.

Ghaza hendak mengejarnya, namun Ghazi menahannya.

"Kak Ghaza, ayo kita ke dokter, darah Kaka terus ngalir,"

Perindu Langit [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang