☁️
"Udah lima tahun lebih Kak Ghaza berjuang melawan penyakitnya. Anemia Aplastik membuat dia gak bisa terluka sedikitpun, dan ini yang akan terjadi kalau dia sampai terluka."
Entah apa yang terjadi sebelumnya, namun Gia bisa menyaksikan sorot penyesalan dari wajah Ghazi saat ia memahami semua penjelasannya. Dan saat ia mendengarnya, seperti ada hujaman keras yang menghantam ulu hatinya. Bagaimana mungkin, selama ini anak itu menyembunyikan rasa sakitnya dari orang-orang kecuali keluarganya. Ghaza yang selama ini ia lihat adalah Ghaza yang tidak pernah mengeluh, ia juga tidak pernah melihat Ghaza berjalan lesu.
Sudah satu jam setelah Gia dari Rumah Sakit, namun langkahnya tak juga mengantarkannya ke jalan pulang, ia hanya berjalan dan berjalan dengan seragam putih abu yang tadinya basah kuyup kini mengering perlahan di tubuhnya. Pikirannya hanya sibuk memikirkan Ghaza yang saat ia tinggal tadi masih tak sadarkan diri.
Di bawah lampu jalanan yang temaram, Gia tiba-tiba teringat sesuatu. Beberapa bulan lalu ia pernah tak sengaja menggores tangan Ghaza dengan gantungan kunci dari tasnya. Dan setelah kejadian itu, Ghaza tidak masuk sekolah esok harinya. Dan sekarang, ia baru menyadarinya, membuat perlahan air matanya mengalir begitu saja.
Ingatan itu membuat langkahnya terhenti sejenak di bawah pohon lengkeng, sejurus kemudian ia memutar langkahnya dan berniat kembali ke rumah sakit. Namun belum sampai ia menunaikan niatnya, suara klakson mobil menghentikannya.
"Gia! Lo darimana udah malem begini?"
Honda brio berwarna hitam terhenti di samping trotoar yang ia lewati. Tak lama, laki-laki jangkung itu keluar dari mobilnya. Gia sedikit terhenyak saat melihat wajah kekhawatiran dari Abangnya itu. Ia lupa, Abangnya itu mulai berubah sedari kemarin. Ia lupa, bahwa sekarang ada orang lainnya yang mencemaskannya. Ia juga lupa, bahwa malam ini dia ada janji makan malam bersama abangnya. Abang yang selama ini ia rindukan.
"Gue habis dari rumah sakit, bang. Temen gue sakit,"
"Ah...yaudah ayo masuk! Lo gak lupa janji makan malam kita kan?"
Dengan wajah yang masih linglung Gia mengangguk. Entah harus bahagia atau tidak, disisi lain ia senang Abangnya mulai berubah, disisi lain ia juga belum lega dengan keadaan Ghaza.
☁️☁️☁️
Ghaza terbangun tengah malam. Saat pertama kali ia membuka mata, yang ia lihat adalah adik kembarnya yang sedang menangis di samping ranjangnya. Tubuhnya yang sempat drop karena banyak kehilangan darah mulai membaik, tapi ia tak bisa memungkiri, kepalanya masih terasa berat hingga saat ini. Ia melihat jam, sudah lewat tengah malam.
"Kak Ghaza maafin aku," Ghazi terisak-isak sembari menggenggam sebelah tangan Ghaza yang tidak tidak dipasangi infus.
"Umi mana?" kata Ghaza to the the point.
"Umi lagi ke toilet,"
"Kamu cerita semua ke umi? Tentang kejadian tadi pagi?"
Sedikit ragu, Ghazi menggeleng.
"Jangan ceritakan apa-apa ke umi, gue gak mau dia khawatir. Dan lo harus janji, lo bisa selesaikan masalahnya, dan jangan pernah mengulangi kesalahan itu!"
Perkataan Ghaza seolah membungkam Ghazi untuk tidak berkata apa-apa. Hingga akhirnya ia hanya mengangguk dengan sisa-sisa air mata yang menggantung di pelupuk matanya.
"Maaf ya..."
"Udah sana tidur, mata lo bengkak tuh!"
Ghazi tahu, kakaknya itu tidak pernah sulit untuk memaafkan, bahkan dengan keadaannya yang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perindu Langit [END] ✓
Novela Juvenil"Aku selalu merindukan langit, tapi aku tak yakin bisa meninggalkan orang-orang yang kusayang di bumi" -Ghaza Asyiqos Sama' "Untukmu perindu langit, ajarkan aku tuk merindu pada Rabbmu," -Hagia Sophia ©YusiAlfatih-2021