Hal pertama yang Ghaza dengar sebelum ia membuka mata adalah sebuah tangisan. Sebuah tangisan yang paling ia benci, yaitu tangisan umminya. Sedari dulu, ia selalu mengumpati dirinya mana kala ummi nya menangis sedang ia tak bisa berbuat apapun. Lalu sekarang, yang membuat ummi menangis adalah dirinya, Ghaza sangat membenci itu, sampai-sampai ia ingin memukul-mukul dirinya walau sudah tak berdaya ini.
Seluruh badannya terasa remuk, untuk membuka mata saja rasanya sangat sulit, namun tangisan itu membuatnya ingin bangun, disaat seperti ini ia ingin sekali menghapus air mata umminya dan memeluknya, namun lagi-lagi tubuhnya tak berdaya.
"Nak...kamu sudah sadar, sayang?"
Penglihatan Ghaza belum sempurna, tapi ia bisa melihat, ternyata yang ada di ruangan bau obat-obatan ini bukan hanya ummi dan adiknya. Di sekelilingnya kini, ada Jaquan, Enchan, juga...Hagia Sophia. Mereka semua berdiri di samping ranjangnya, tanpa mengeluarkan suara selain tangisan yang tertahan. Lagi-lagi, Ghaza membenci dirinya karena telah membuat banyak orang menangis.
"Ummi...sakit mi..." suara parau itu, membuat tangis yang sempat tertahan kembali mengalir. Ghaza tidak bohong, tubuhnya benar-benar sakit. Jika sebelumnya ia selalu menahan sakitnya tanpa orang lain tahu, kali ini entah kenapa ia ingin sekali menyampaikannya, bahwa ia sakit, benar-benar sakit.
"Sabar ya sayang, sebentar lagi insya Allah kamu sembuh, ya? Mana yang sakit, hmm?" ummi menenangkan seraya mengusap kening putranya itu.
Tak terasa air mata Ghaza juga mengalir.
"Jangan tangisin Ghaza," mati-matian Ghaza menjaga kesadarannya, entah mengapa kesadarannya seperti hilang dan kembali disaat-saat seperti ini. "Ikhlasin Ghaza..."
"Za! Lo gak boleh ngomong gitu, Za!" spontan, Jaquan menyambar perkataan Ghaza. "Lo ingetkan? Ada banyak mimpi yang harus lo kejar! Jangan putus harapan kayak gini!"
Seumur hidup, Jaquan tidak pernah melihat Ghaza selemah ini. Sedang Ghaza hanya tersenyum lemah menanggapi Jaquan. Sejenak, tatapannya kini beralih pada Gia yang sedari tadi hanya menunduk, dan tak sedikitpun menatap padanya.
Kemudian saat pandangan ia edarkan ke sekelilingnya, entah mengapa, kenangan-kenangan yang pernah dilaluinya mendadak bermunculan. Dengan umminya, ia selalu ingat tutur kata lembut wanita cantik yang melahirkannya itu. Dengan Ghazi, ia ingat janjinya bahwa ia akan selalu menjaganya, namun ia tak tahu, apakah ia sudah menepati janji atau belum. Dengan Jaquan, ia ingat janji Jaquan untuk terus bertahan hidup, ia juga ingat perihal Jaquan yang bertekad untuk menjalankan amanah kakeknya. Dengan Enchan, ia ingat sisi lain dari anak itu yang menakjubkan. Kemudian dengan Hagia Sophia, ia ingat saat pertama kali ia bertemu dengannya, adalah tangisan yang pertama kali ia dengar pula. Sejak saat itu, ia ingin sekali membuatnya bahagia.
"Ummi, maafin Ghaza ya, Ghaza---"
Buram.
Gelap.
Kesadaran Ghaza seperti muncul dan menghilang. Sedetik pertama, ia dibawa ke sebuah tempat asing, disana melihat Abinya yang tersenyum padanya seraya berkata, "Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik, Ghaza...jangan merasa gagal menjadi seorang anak dan seorang kakak,"
Sedetik kedua, ia merasa kembali ke masa-masa ia kecil dulu. Ia mengenakan Koko berwarna putih, di tangannya ada sebuah Al-Qur'an kecil. Lalu tiba-tiba saja, Abi dan Ummi nya menyambutnya dalam pelukan, "Anak sholeh udah hatam Al-Qur'an...semoga jadi anak yang Sholeh putraku," kata-kata itu yang terngiang-ngiang di kepalanya saat ini.
"Za... ikutin gue pelan-pelan ya, Za..." suara Jaquan membawanya kembali ke kamar bau obat-obatan ini. Ia sadar, orang-orang sedang menangisinya. "Laa...ilaaha..."
![](https://img.wattpad.com/cover/250446578-288-k719851.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perindu Langit [END] ✓
Teen Fiction"Aku selalu merindukan langit, tapi aku tak yakin bisa meninggalkan orang-orang yang ku cintai di bumi." -Ghaza Asyiqos Sama' "Wahai perindu langit, ajarkan aku tuk merindu pada Rabbmu, Sang Pemilik Langit." -Hagia Sophia ©YusiAlfatih