"Gak selamanya lo harus berpura-pura kuat di depan orang lain! Sisi lemah lo gak akan membuat lo lemah!"
-Chandra Surya Kencana-
.
.
.
☁️
.
.
.Saat Chandra mengatakan bahwa ia membenci Gia, mungkin ia tidak benar-benar serius. Buktinya, anak itu masih peduli pada Gia yang selama ini orang klaim sebagai musuh bebuyutannya.
"Gi, gimana semalem, si Joe sama si Teno beneran dateng ke rumah lo?"
Gia yang pada pagi itu tengah menggolekan kepalanya di atas meja lantas mengangkat kepalanya. Ia jadi merasa curiga pada lawan bicaranya ini.
"Chan, liat tulisan lo dong!"
Tentu saja Enchan bingung sebab pertanyaan dan jawabannya tidak dijawab secara sinkron, "Buat apaan?"
"Udah, liat aja!"
Enchan lantas menunjukkan buku catatan Bahasa Indonesia nya yang mungkin hampir tidak pernah ia buka sama sekali. Saat Gia membukanya, hanya ada beberapa paragraf saja yang tertulis.
"Sumpah lu Chan, semester 1 udah hampir beres, tapi catatan bahasa Indonesia lu selembar pun kagak nyampe!" Gia yang notabenenya tidak rajin mencatat juga sampai geleng-geleng. Rasanya Gia sia-sia memeriksa tulisan anak ini.
"Ih, gimana semalem? Si Joe sama Teno dateng?" Enchan masih sangat penasaran. "Gue tadinya mau nyusul ke rumah lo, cuma gue disuruh kerokin babeh dulu!"
"Udah beres masalahnya! Lo kagak usah ikut campur lagi masalah gue atau Abang gue dah, Chan!"
"Kebiasaan lo! Gi, kagak usah dah lo bawa-bawa gengsi kalau lagi situasi genting kayak kemaren! Gak selamanya lo harus berpura-pura kuat di depan orang lain! Sisi lemah lo gak akan membuat lo lemah kok!"
Saat Enchan mengatakan itu, semua siswa tampak langsung menoleh ke belakang, bagaimana tidak, ini adalah kata-kata terpanjang yang Enchan ungkapan untuk Gia. Baru kali ini juga Enchan dan Gia duduk berdampingan dengan akur. Ini adalah hal yang langka.
Pun Gia, ia tak menjawab apapun setelah itu. Ia lebih memilih diam kali ini.
☁️☁️☁️
Ghaza telah sampai pada tahiyyat terakhir sholat Dhuha nya. Lalu, saat ia mengucap salam terakhirnya ke sisi sebelah kiri, ia lantas mendapati seorang Chandra Surya Kencana tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit Ghaza artikan.
Selama beberapa menit, Ghaza melantunkan dzikir nya kemudian bertanya pada Chandra yang belum beranjak di sampingnya, "Kenapa Chan?" katanya.
"Gue habis sholat Dhuha juga barusan,"
Ghaza mengangguk pelan, bila dipikir-pikir, Ghaza juga baru kali ini melihat Enchan sholat Dhuha, ataukah ia yang baru menyadarinya.
"Sholat Dhuha itu katanya pembuka pintu rezeki ya, Za?"
"Bener, Chan. Tapi jangan juga kita niatkan cuma pengen banyak rezeki. Dan satu hal yang perlu kita ingat, rezeki tidak harus berupa uang, Chan,"
"Terus? Emang apa lagi? Mobil? Rumah?"
"Bukan itu, maksudnya, rezeki itu gak hanya berupa fisik. Bahkan kebahagiaan, kesehatan, kenyamanan dan ketenangan juga rezeki," jelas Ghaza
"Berarti, gue boleh dong, meminta kebahagiaan buat orang yang gue sayang?"
Jujur saja, baru kali ini Ghaza melihat Enchan seserius ini.
"Berdoalah, selama itu baik insya Allah, Allah kabulkan, Chan,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perindu Langit [END] ✓
Fiksi Remaja"Aku selalu merindukan langit, tapi aku tak yakin bisa meninggalkan orang-orang yang kusayang di bumi" -Ghaza Asyiqos Sama' "Untukmu perindu langit, ajarkan aku tuk merindu pada Rabbmu," -Hagia Sophia ©YusiAlfatih-2021