10. 💮 Dipta

22.6K 3.1K 145
                                    

Double Up😊

*******

SPECIAL  POV : LINDA

"Pappaa.."

Duh, anakku ini, mentang-mentang mulai belajar ngomong, semua dipanggilnya Papa. Kuhela napas panjang, Superindo siang ini lumayan ramai. Berdua dengan Adel, kami belanja bulanan kebutuhan rumah. Raka kutitip Oma nya di rumah dan Kyan seperti biasa, masih sekolah.

Awal bulan lumayan banyak juga belanjaanku. Mataku memindai catatan belanja yang kutulis di secarik kertas. Ah, aku juga harus beli beberapa keperluan baking.

Setelah ngobrol dengan Karin kemarin, rasanya kemampuan bakingku harus di asah kembali, supaya kualitas pastry buatanku tetap stabil dan enak. Karin optimis kalau bisnis rumahan itu bisa jalan, jadi aku pun juga harus optimis.

"Minyak gorengku habis." Aku mendorong pelan trolly belanja, menyusuri rak-rak bagian minyak goreng. Adel yang kugendong di belakang masih terus mengoceh sesukanya. Terkadang dia tertawa.

Anakku memang baru bisa mengucapkan beberapa patah kata yang bisa di tangkap dengan jelas, yang paling sering adalah Papa. Satu kata yang seringkali membuat hatiku miris, kenapa dia bisa mengucapkan kata itu, ketika aku dan Papa nya terpaksa berpisah.

"Pappaa..."

Aku menoleh, ketika merasakan tangannya menarik seseorang. Astaga. Dipta???

"Pappaa..." Tangan mungil Adel memegang lengan bajunya, aku tak sadar bersisian dengan teman Bram ini, wajahnya kembali sama, Syok seperti kemarin siang. Lucunya, sejak kapan dia ikut mengekor langkah kami? Aku melihat trolly nya tertinggal beberapa langkah di belakang kami.

"Sorry Sorry Dip, anakku baru belajar ngomong, semua dipanggil Papa." Aku panik, lebih tepatnya sungkan. Rupanya karena tangan Adel memegang erat lengan bajunya, mau tak mau dia ikut mengekor.

"Gak papa."Matanya memindai kami, aku merasa tatapannya aneh, seperti tatapan kasihan, atau tatapan yang aku sendiri tidak paham artinya. Entahlah, mungkin dia sudah tahu dari Bram dan Karin kalau aku seorang Janda.

Lagipula, aku sudah mulai terbiasa dengan tatapan aneh dari orang-orang terhadapku. Lalu kenapa aku rikuh dengan cara pandangnya saat ini?

"Sayang, ini Om Dipta bukan Papa. " aku mencoba melepaskan tangan Adel yang menggenggam kuat lengan kemeja Dipta. Lelaki itu malah tertawa kecil.

"Apa aku mirip Papa nya?" tanyanya penasaran.

"Nggak." aku fokus melepas tangan anakku, susah, genggamannya kuat. Duh Del, plis kerjasama sama Mama, jangan bikin malu. Tangan Dipta ikut membantu, eh malah Adel minta gendong. Astaga Nak, ngelunjak kamu.

"Gak papa." Dipta mengangkat anakku dari dalam gendongan. Mengangkatnya tinggi-tinggi, membuat Adel menjerit senang dan tertawa keras, menarik perhatian beberapa pengunjung Superindo.

"Anak siapa Dip?"

Jantungku mencelos, seorang perempuan paruh baya muncul dari belakang punggungnya. Ini pasti yang namanya Tante Siwi, Mama Dipta. Kemarin Karin sempat menyebut nama beliau saat ngomel, mengusirnya pulang, meski nggak berhasil. Dipta tetap asyik ngobrol dengan Bram di teras, saat aku pamitan pulang.

"Lho, ini temannya Karin kan?" wanita paruh baya dengan rambut pendek mengembang itu menatapku kaget, "Aduh, tante kok lupa ya namanya, pernah ketemu dulu waktu ngisi acara pelatihan bikin kue di rumah Karin."

"Linda tante." Aku mengulurkan tangan, mencium punggung tangan beliau dengan senyuman, sebuah kebiasaan ku dan Karin tiap bertemu orangtua dari teman kami.

Just Marriage (JPB Sesi 2) [TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang