2. 💮 Ibu Mertua

33.1K 3.5K 112
                                    

Aku menggeliat, rasanya tubuhku malas bergerak dan ingin tetap bergelung di dalam selimut yang hangat. Cuaca dingin, hujan mengguyur sejak semalam, dan masih menyisakan sedikit rintik di pagi hari. Makin bikin males berpisah sama kasur dan selimut. 

Samar-samar terdengar suara orang mengobrol di luar jendela. Mungkin beberapa warga yang lewat, kamar Mas Bram kan di bagian depan.

Eh tunggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eh tunggu. Kamar Mas Bram? Sadar kalau sedang tidak di rumah sendiri, aku bangun dengan serampangan, rambutku yang sebahu tergerai berantakan. Selimut tebal yang membungkusku seperti kepompong luruh dari bahuku.

Aku menoleh cepat, melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Mas Bram nggak ada di kamar. Astaga, aku ketiduran. Seingatku tadi, setelah subuh, aku dan dia masih ngobrol  seputar pekerjaan, lalu tiba-tiba saja aku sudah terbangun jam sekian. 

Buru-buru kuikat rambut, masuk kamar mandi yang ada di sudut kamar untuk cuci muka, berkumur sebentar dengan mouthwash, karena sebelum subuh tadi aku sudah sikat gigi, lalu menyambar jilbab instan yang tersampir di atas kursi. Tergesa menuju dapur, terdengar tawa Mas Bram di sana, sepertinya sedang mengobrol dengan Ibu dan Mbak Sum. Menantu macam apa, jam segini baru bangun. 

"Ohw sudah bangun sayang?" Mas Bram yang sedang duduk di kursi dan menopang dagunya menoleh, menyadari kedatanganku.

Aku mengangguk gugup, memandang Ibu mertuaku yang sedang meletakkan dadar jagung di atas meja makan. Semua sudah matang, lauk-pauk, sayur, nasi lengkap dengan jeruk warna kuning di dalam keranjang kecil. Duh, aku gak bantu apa-apa. Sementara Mbak Sum masih ngulek sambel, sambil sesekali melihat pisang gorengnya di atas kompor. Hmmmm, aroma terasinya menggoda perut. 

"Kok nggak bangunin aku Mas?" tanyaku berbisik, sungkan kedengaran Ibu. Tapi, mau selirih apapun, jarak kami dekat, Ibu tetap bisa mendengar.

"Ora popo Nduk, kamu sudah capek seminggu kerja, belum kalau meladeni Bram, istirahat saja." 

Duh, sungkan rasanya. Apa kelihatan banget kalau aku capek? 
Kutarik kursi di sebelah Mas Bram yang hanya memakai celana pendek dan kaos oblong warna grey. Rambutnya berantakan. Pakai baju seperti itu, dan belum mandi saja tetap terlihat ganteng. 

"Ngapunten nggih Bu, mboten bantu masak," ucapku pelan, Mas Bram menepuk-nepuk lembut tanganku, seolah memberi jawaban kalau santai saja. 

(Ngapunten nggih Bu, mboten bantu masak = Maaf  ya Bu, tidak membantu masak)

"Ora popo, wes ndang sarapan, mumpung sik anget." (Nggak papa, ayo lekas sarapan, mumpung masih hangat.)

Aku mengangguk, menunggu Ibu selesai mengambil nasi, lalu membiarkanku mengambilkan nasi untuk Mas Bram. 

"Bram rewel ora kalau di rumah?" tanya Ibu, sambil duduk di hadapan kami. Aku melirik suamiku yang hanya menyunggingkan senyum tipis, menerima piring nasi yang kusodorkan dan mengambil lauk sendiri, "Maem nya rodo iwuh kan?" 

Just Marriage (JPB Sesi 2) [TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang