Jamilah Cinta Aisyah

11 2 0
                                    


Apakah judulnya mengingatkanmu pada sebuah lagu? Cerpenis berharap pembaca dapat memetik pelajarannya.

Kelas X IPS 5 kedatangan siswa baru. Namanya Jamilah. Tatanan gadis itu tomboi, tetapi memiliki senyum yang manis. Sedikit laki-laki yang menyukainya di kelas itu.

"Jamilah duduk di sana, ya?" Bu Putri menunjuk kursi sebelah gadis cantik berambut panjang.

"Makasih, Bu." Jamilah berjalan ke tempat yang telah ditentukan. "Namamu siapa?" tanyanya ke teman sebangku.

"Aisyah."

"Salken." Jamilah dan Aisyah saling jabat tangan. Mereka dan teman sekelas pun mengikuti pelajaran.

Lingkungan di sekolah ini cukup mendukung. Pas hari pertama Jamilah masuk, teman sekelasnya tidak sungkan berkenalan, bahkan beberapa mau mengantarkannya berkeliling sekolah.

Hari berikutnya, Jamilah, Aisyah, Dewi, dan Dwi makan bersama di kantin. Disambili dengan bercerita satu sama lain.

Hanya dengan waktu seminggu, Jamilah sudah mengenal sekolah dan menghapal nama warga sekolah. Ia termasuk anak yang baik, terutama kepada Aisyah.

Bagi Aisyah, Jamilah adalah pengganti sunyi. Semester yang lalu, ia sering sendirian. Ingatan pendeknya membuat gadis polos itu tidak mudah beradaptasi. Jarang berinteraksi karena takut melupakan apa pun dari warga sekolah. Namun, semua itu seakan terhapus semenjak ada Jamilah. Jamilah seperti seorang perantara kiriman Tuhan untuknya agar bisa mendapatkan banyak teman.

Tiga bulan berlalu. Namun, tidak seorang pun yang mengetahui alasan Jamilah pindah sekolah. Jika Jamilah ditanya, gadis tomboi ini selalu menghindar. Hal ini malah menimbulkan kecurigaan pada teman-teman. Sebagian besar menjauh darinya. Aisyah tidak termasuk.

"Dwi, Dewi, apa kalian nggak merasa aneh sama tingkah Jamilah?" bisik seorang perempuan kelas sebelah kepada Dwi dan Dewi.

"Iya. Saranku, lebih baik kalian jangan deket-deket lagi. Jangan sampai kalian tertular dia," tambah perempuan yang lain.

Mereka tidak tahu kalau suara mereka dikuping Jamilah. Perih. Itulah yang dirasakan Jamilah. Baginya, suatu aib harus ditutupi. Tidak baik membicarakan aib orang lain, apalagi di belakang.

"Mil, kenapa kamu ada di sini?" Aisyah mengagetkan Jamilah. Jamilah mengecek sekitar sebelum menjawab. Keempat orang yang dilihatnya tadi menghilang.

"Nggak apa-apa, kok, hehehe. Ayo ke kelas!"

Aisyah begitu mempercayainya. Ikatan pertemanan yang kuat membuatnya tidak bisa berburuk sangka.

***

Satu semester telah usai. Siswa kelas X IPS 5 naik kelas semua, kecuali Jamilah. Banyak yang meledeknya. Jamilah menjadi malu.

"Hentikan!" Aisyah mencoba membela Jamilah. Ia tidak peduli dengan nilai-nilai Jamilah. Yang penting sudah berusaha semaksimal mungkin dan berdoa yang terbaik. "Teman tidak naik kelas harusnya kalian menghibur, bukan menjatuhkannya. Akhlak bagus lebih baik daripada nilai rapor."

Bukannya merenungi nasihat, tetapi mereka malah mencemooh Aisyah. Menilai Aisyah dengan kata rendahan, sama seperti kepada Jamilah.

Setelah mereka puas, Jamilah dan Aisyah duduk berdua di lapangan sepak bola sekolah.

"Seharusnya kamu nggak membela aku."

"Aku nggak nyesel. Nggak akan pernah. Insyaallah."

"Makasih."

Mereka berdua memandang langit biru dengan awan putih. Semilir angin seakan menghibur dua orang yang tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Ais ...."

Aisyah menunggu kelanjutan kata-kata Jamilah.

"Aku mau jujur, tapi jangan kaget. Ini gila, tapi ini benar adanya." Jamilah merasa berat mengungkapkannya, tetapi lebih berat apabila menahannya lebih lama. "Jika aku mencintaimu seperti laki-laki kepada perempuan, kamu percaya?"

Aisyah kesulitan mencerna kata-kata yang dirangkai Jamilah. Memorinya yang dimulai dari semester lalu bersama Jamilah berputar seperti kaset. Masa lalu itu seakan menyingkap rahasia yang selalu ini tidak diketahuinya. Menyadari sesuatu hal yang mengganjal hingga berakibat adanya jarak dan bisikan-bisikan mengganggu.

"Kamu sakit, ya?"

"Iya. Aku ingin kamu menjadi pacarku."

Jamilah langsung mengucapkan pernyataan. Biasanya, orang yang jatuh cinta akan bertanya terlebih dahulu, tetapi lain dengannya.

Jamilah memeluk dari samping, lalu mengecup sekilas pipi Aisyah. Aisyah diam dan ikhlas diperlakukan ia seperti itu. Ia hanya memberikan ruang dan waktu karena ia lumayan paham dengan penyakit kelainan. Ia juga telah beberapa kali membaca cerita tentang itu. Di luar negeri, banyak ditemukan kasus seperti yang dialami Aisyah.

"Aku menghargaimu. Nggak sepantasnya aku memiliki perasaan ini. Sebagai balasan atas kebaikanmu selama ini, aku bertekad akan menjadi perempuan normal. Doakan aku. Aku juga nggak bisa di sini lagi, demi kamu dan nama baikmu. Mungkin juga nama baik sekolah dan masyarakat daerah."

Aisyah tersenyum kepada Jamilh. "Kamu pasti bisa. Mendekatlah kepada-Nya." Ia dan Jamilah berpelukan lagi. Jamilah menahan diri dengan degup tidak karuan. Dalam hatinya menyeru bahwa itu sekadar pelukan persahabatan.

***

Seseorang mengirim video kepada orang tua Aisyah. Ayah Aisyah naik pitam. Ia pergi ke rumah Jamilah, lalu mengeluarkan isi amarahnya kepada orang tua Jamilah.

"Apaan anak kalian? Nggak waras. Mencintai itu dengan berbeda jenis, bukan sama anak kami. Kami nggak terima. Pokoknya, dia harus menjauh sejauh-jauhnya dari keluarga saya. Jika Bapak dan Ibu nggak bisa melakukannya, bisa saya laporkan kepada pihak yang berwenang."

Jamilah hanya bisa bersembunyi sambil menangis. Ia tidak mampu membela orang tuanya yang bersimpuh sambil terus-menerus meminta maaf kepada orang tua Aisyah. Kepalanya berpaling sambil menutup mulut agar tidak terdengar tangis histerisnya manakala orang tua Aisyah melukai fisik orang tuanya. Maafkan aku, Ayah, Ibu, batin Jamilah di sela menangisnya.

Suara mobil mengodekan Jamilah bahwa orang tua Aisyah telah pergi. Jamilah dipanggil dengan keras oleh ibunya. Ia segera menghapus air matanya agar tampak tegar di depan orang tuanya.

"Jamilahhh!" teriak ibu Jamilah sekali lagi. Oleh karena yang dipanggil tidak menyahut atau segera datang, ia mengentakkan kaki untuk mencari anak sulungnya.

"Di sini kamu rupanya." Ibu Jamilah marah. "Segera kemas barang milikmu! Setelah itu, pergi dari rumah ini!" Telunjuknya mengarah ke depan rumah.

Jamilah bergeming. Sungguh, ia tidak mau hidup sendiri. Kalau ia pergi, orang tuanya juga harus ikut pergi. Ia belum bisa memikirkan bagaimana bisa hidup sendiri. Sebelumnya, orang tuanya tidak mempermasalahkan penyakitnya, tetapi tidak untuk hari ini.

Saking dongkolnya kepada anaknya, ibu Jamilah mengemaskan barang-barang Jamilah. Koper diserahkan kepada Jamilah, lalu pergi. Kembali lagi dengan memberikan uang ke tangan Jamilah. "Semoga cukup. Pergi sekarang!" perintahnya sambil mendorong Jamilah.

Jamilah bangkit dengan pelan-pelan. Dirinya sakit mendengar dan melihat ibunya. Orang yang telah melahirkannya berubah menjadi kejam. Ayahnya pun langsung menunduk ketika melihatnya menyeret koper. Jamilah melambaikan tangan ke depan. Sebuah bus berhenti. Ia menoleh untuk melihat ayah saat memegang bus dan menaikkan satu kaki. Aku akan kembali, Yah, dengan Jamilah yang dulu, batinnya, mohon doa Ayah dan tolong jagain ibu dan jangan sampai adikku sepertiku.

Menaiki bus. Jamilah lenyap. Tanpa diketahuinya, ayahnya menatap dengan pilu. Cita-citanya agar bisa menahan keluarga agar tetap bersama ternyata hanya bertahan sampai di sini. Jika dulu Ayah punya banyak waktu untuk keluarga, mungkin kamu sehat selalu, ucapnya dalam hati.

Tamat

Semoga masih bisa menulis lagi.

SLTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang