Lupa Karena Laki-Laki

15 2 4
                                    


Seorang gadis sudah bosan berada di dalam rumah. Ia ingin mencari tahu di luar sana yang mungkin seru untuk dilakukan. Saat hendak pergi, ia tak berniat mengajak temannya.

"Dea, kamu mau ke mana?" tanya mama Vita yang sedang memotong daun pohon tetean.

"Jalan-jalan, Ma. Mau cari sesuatu di luar. Kali aja dapat pengalaman baru."

"Sebentar, dong. Mama mau nitip sesuatu." Wanita setengah baya masuk rumah dan keluar lagi. Ia mengulurkan lembaran uang. "Tolong belikan sabun cuci tiga buah, ya?"

"Dea boleh jajan, 'kan, Ma?"

Sebenarnya sang mama tak rela, tetapi dalam sekejab ia berubah pikiran. "Iya, deh."

"Terima kasih, Ma." Dea mencium pipi mamanya. "Love you."

***

Dea masuk supermarket. Atas-bawah kanan-kiri ia telusuri satu per satu dengan santai.

Enak yang mana, ya? tanya hatinya. Ketika sampai di ujung dan mau berbalik ...

Brak!

Tanpa sengaja perempuan itu bertabrakkan dengan seseorang. Keduanya sama-sama terjatuh. Satunya mengaduh; satunya merintih. Sebagian barang-barang di supermarket juga jatuh berserakan. Tubuh Dea berada di atas orang yang jatuh itu. Matanya pun menatap kagum karena wajah tampan laki-laki itu. Putih, keren, dan menggoda.

Tatapan Dea dibalas.

"Lo kalo jalan, pakai mata, dong! Menyingkir dari gue!"

"Pangeran gue," lirih Dea belum sadar.

"Heh, Tuli, cepat menyingkirlah!"

Lamunan orang yang diajak bicara buyar. Ia menjadi salah tingkah.

"Eh! Oh, mmm ... aku minta maaf, Mas. Lagian, kalo Mas punya mata, harusnya Mas bisa menghindar." si perempuan berdiri, kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu si laki-kaki. 

"Nggak usah! Najis tau!" Sang laki-laki mengibas tangan Dea dengan cukup keras.

"Jangan ginilah, Mas, sama wanita. Sakit tau!"

"Suka-suka guelah." Sang laki-laki berdiri. "Oh ya, lo tadi bilang apa?"

"Laki-laki harusnya lembut sama wanita."

"Bukan yang itu. Sebelum itu. Lagian, lagian ... apa tadi?"

Dea mengingat-ingat. Kepalanya ia putar sambil memejamkan mata karena omongannya tadi yang keceplosan. "Lagian kalo punya mata, harusnya bisa menghindar," ucapnya dengan sangat lirih.

"Hah? Apa?" Laki-laki ini mendekatkan telinganya hingga membuat degub jantung Dea berdetak lebih cepat.

Dea melompat dan melambaikan-lambaikan kedua tangannya. "Bukan apa-apa, bukan apa-apa. Lupakan aja."

Orang yang diajak bicara memiringkan senyuman. Ia mengunci tubuh Dea sampai punggung gadis ini bersentuhan dengan rak jajanan. Masyaallah aku seperti bermimpi, batin Dea senang.

"Gue ... akan—"

"Akh ...! Menjauhlah!" Dea memotong kalimat laki-laki iyu dan mendorongnya dengan keras hingga hampir terjatuh.

"Asem! Berani-beraninya lo sama gue!"

Pertengkaran mereka menjadi perhatian beberapa pengunjung supermarket. Para karyawan supermarket merasa malu karena dua pemuda sepantaran itu.

"Sudah, Mas, Mbak. Kami malu dengan pengunjung lain. Saya mohon untuk menjaga sikap. Lebih baik Mas dan Mbak baikkan," ucap salah satu pegawai wanita, bermaksud menjadi penengah.

"Oke, kita berhenti di sini, tapi ... jangan harap kita tak bertemu lagi karena gue masih membuat perhitungan sama lo. Tunggu aja!" Sang laki-laki berlalu pergi.

Dea bernapas lega karenanya.
Siapa, sih, dia? Kurang apa gue di matanya? batinnya. Ah, meskipun pertemuan kali ini bikin badmood, tapi ....

"Mbak! Mbak!" panggil pegawai wanita sambil mengoyang-goyangkan tubuhDea. "Mbak, nggak apa-apa, 'kan?"

"Eh! Emang tadi gue kenapa?"

"Mbak tadi senyum-senyum sendiri. Saya kira Mbak kerasukan."

"Hah? Nggak mungkin banget." Dea menepuk jidat. "Waduh, aku lupa menanyakan namanya."

Ia beralih ke pegawai supermarket. "Oh ya, tolong bereskan ini, ya? Lo cantik, deh. Moga cepat dapat jodoh. Gue duluan. " Perempuan ini melangkahkan kaki seribu.

"Aamiin. Aamiin?"

***

Sesampainya di halaman supermarket, mata Dea celingak-celinguk. Perempuan ini tengah mencari batang hidung laki-laki.

"Dea!" panggil seseorang saat Dea sedang menggaruk-garuk kepala. Suara perempuan itu tak asing di telinga Dea.

Dea menoleh. "Jesika?"

"Hai! Lo lagi cari siapa? Gue perhatiin, kayaknya lo lagi bingung."

"Jes, lo lihat laki-laki putih, rambutnya keren, dan tubuhnya ideal nggak di sekitar sini?"

Mata Jesika menyempit, melihat keseriusan Dea sebelum mengerlingkan matanya ke atas. Ia mengingat-ngingat apakah ia pernah melihat laki-laki dengan ciri-ciri yang disebutkan sahabatnya.

"Seingat gue, gue nggak lihat. Emang kenapa? Lo nggak lagi kepincut, 'kan?" Jesika memeriksa dahi Dea.

"Apaan, sih?" Dea menghempas tangan sahabatnya. "Gue cuma ingin tahu namanya. Emang ada yang salah, ya?"

Jesika tersenyum karena merasa Dea sedang berbohong. "Gue tahu orang seperti yang lo cirikan, kok." Nadanya sombong dan jahil.

"Benarkah? Siapa, siapa?" Mata Dea berbinar.

Jesika membalasnya dengan tawa. Dahi sahabatnya pun mengerut. "Kok lo malah tertawa sih?"

"Yes! Dea berhasil kupancing." Jesika mengepalkan kedua tangan ke bawah. "Kabur."

"Jesiiikaaa! Awas lo, ya?! Gue takkan memaafkan lo. Sini lo!" Dea mengejar sahabatnya. Ia tahu maksud dari kata-kata yang baru didengarnya itu. Jesika hanya mempermainkannya. Ia ingin tahu seberapa inginnya Dea terhadap orang yang dicari.

Setelah lelah, Dea pulang ke rumah.

"Sudah pulang, Dea? Pesanan Mama nggak lupa,'kan?"

Mata Dea melebar. Kemudian, ia menyengir. "Emang tadi Mama titip? Seinget Dea, Mama nggak pesan apa-apa he he he."

Mama Vita menepuk dahinya. Ia tak habis pikir dengan pikiran anaknya yang sedikit-sedikit lupa. Kalau tidak begitu, pura-pura lupa. Memang seharusnya tadi mama Vita ia pergi sendiri.

Tamat

Sebenarnya ini naskah yang telah kuikutsertakan dalam lomba. Karena tidak lolos dan daripada terbelangkai, ku-posting ke sini.

Mohon dukungannya dengan star dan komen kalau bisa. Penulis suka kejujuran, kok. Mari berteman.

SLTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang