Setelah semalam Meysha meminta kado lima puluh bunga kepada orang tuanya, perempuan itu memarkirkan motor di depan toko bunga. Ia datang sendiri karena ingin mandiri di hari istimewanya. Sebelum bilang ke orang tuanya, ia sudah menekadkan diri melakukan semuanya sendiri.
Kring ...! Terdengar bunyi nyaring saat perempuan itu membuka pintu. Matanya langsung semriyah saat menangkap mawar. Kakinya spontan berlari kecil ke arah bunga itu berada. Tubuhnya jongkok untuk menikmati aroma dari mawar merah itu. "Harumnya ...."
"Mau beli bunga itu, ya, Neng?" Laki-laki bersuara muda berdiri di samping Meysha.
"Berapa harganya, Kang?"
"Kalau yang sudah berbunga, harganya lima puluh ribu per batang."
"Sudah sama potnya?"
Si Akang mengangguk. "Neng mau?"
"Jika jumlahnya ada, ya maulah, Kang."
"Emang Neng ingin pesan berapa?"
"Lima puluh pot!" Meysha sedikit teriak sambil menunjukkan lima jari di tangan kanan dan bentukan bulat di jari kiri. Ucapannya menarik perhatian beberapa pengunjung dan si Akang terkejut. Begitu sadar, perempuan itu segera menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Banyak amat, Neng. Buat apa? Buat siapa? Buat kapan? Mau dianter atau dijemput? DP-nya udah tersedia belum?"
"Ih, pertanyaan Akang juga banyak." Meysha berdiri seraya berkacak pinggang. "Yang penting, bunga sama potnya ada. Saya survei dulu. Kalo nggak ada, saya cari ke tempat lain."
"Lusa bisa kami sediakan, Neng. Eneng kayak nggak tau toko kami aja. Kami mah bisa PO. Cepet ...," si Akang lari di tempat, "terpercaya ...," ia menyodorkan jempol, "dan memuaskan." Jempol dan telunjuk tangan kannnya ditaruh di bawah dagu.
Meysha melongo. "Nama Akang siapa? Saya baru kemari, jadi baru tau toko ini."
"Panggil aja Raka. Terus, Eneng geulis siapa? Nggak enak kalo Akang aja yang sebut nama."
Meysha tersipu saat kata sapaan untuknya disambungkan dengan 'geulis'. Bahasa Sunda itu artinya cantik. "Saya Meysha, Kak."
"Akang catet dulu, ya, Neng Mey." Raka mengeluarkan buku kecil dan bolpoin dari kantong kemejanya. "Lima puluh mawar merah, ya, sekaligus potnya?"
"Benar. Yang udah berbunga, Kang Raka. Terus, semua diplastiki warna hitam. Apa tadi? Oh ya, diantar ke SMA Negeri 1 Simo pada lusa sebelum jam enam pagi."
"Welahdalah ternyata masih banyak ketentuannya. Bawa DP?"
Meysha menggeleng dengan imut. "Kan udah kubilang, Kang, saya mau survei dulu."
"Inget, Neng. Siapa tau surveinya bawa uang. Biasanya orang kalo pesen, ya gitu. Lagian, Neng bisa survei di internet."
"He he he, saya emang beda, Kang Raka. Saya juga udah liat harga-harga di internet. Eh, saya ambil dua pot di muka, ya."
Kang Raka menghela napas panjang, lalu mengembuskannya. "Silakan aja, Neng."
"Akang cakep, deh. Saking baiknya Akang."
Setelah sepakat tentang perjanjian jual-beli, Meysha pamit pergi. Gadis putih abu-abu itu memberikan bunga berpot kepada bapak kebun rumahnya dan asisten rumah tangga di rumahnya. Setelah itu, ia melaporkan hasil pesanannya kepada sang ibu.
"Anak Ibu sudah pintar ternyata. Di mana belinya, Eis?"
"Toko Bunga Sedia. Cepet, terpercaya, dan memuaskan." Meysha memperagakan gaya Raka. Hampir mirip karena ini pertama kalinya ia mempraktekkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLTA
Short StoryKumpulan cerpen +13 THN. Berbagai kisah dengan tokoh utama seorang siswa SMA. Biasanya, masa putih abu-abu adalah masa paling indah bagi setiap insan. (Rilis: 31 Agustus 2020) Sampul: @poetree.malu #1 - cerpensma (Mei '21) #3 - ceritaputihabuabu (No...