Luvi bangun kesiangan. Ini memang sudah terjadi pada minggu ini. Kali pertama gadis itu harus buru-buru berangkat sekolah. Sarapan terpaksa ia tinggal. Untung ibunya sudah mempersiapkan bekal, jadi waktu istirahat bisa makan karena saat itu uang sakunya juga lupa dibawa.
Hari ini ia terlihat tidak bersemangat. Langkahnya lesu ke kamar mandi. Tas dicangklong dengan satu pundak. Hal ini membuatnya sang ibu mengernyit heran.
"Semalam begadang, tugas belum dikerjakan, gurunya sudah tidak menyenangkan, atau kamu sedang patah hati karena doi jalan sama gadis lain?" cerocos ibu Luvi.
Luvi diam, padahalnya ibunya sangat penasaran. Ia mencium tangan ibunya. "Luvi berangkat dulu."
"Hati-hati! Jangan terlalu banyak pikiran. Kalo mau curhat, kapan pun Ibu siap mendengarkan." ibu Luvi mengelus-elus puncak kepala anaknya.
Luvi tetap saja diam. Andai ia menanggapi dengan senyum atau ucapan terima kasih, mungkin sang ibu lebih lega.
Keterlambatan Luvi membuat dirinya berdiri di dekat bendera sambil memegang kuping dan angkat satu kaki. Entah kenapa bibirnya malah melengkung ke atas. Kalau murid lain ada di posisinya, akan merasa malu dan merutuki diri sendiri.
Banyak murid yang membicarakannya saat mereka di luar kelas, sedangkan beberapa guru hanya menggeleng. Telinga Luvi merasa sakit atas itu. Ia merasa bahwa mereka seperti tidak mempunyai bahan cerita lain selain menggunjingnya.
"Dor!" Seseorang mengagetkannya. Keseimbangan tubuh Luvi kacau. Ia pun jatuh terhuyung. Mulutnya mengaduh, sedangkan pantatnya keperihan. Ditengoknya seseorang cengegesan melihatnya terluka.
"Peace, Luvi." Seorang perempuan mengangkat dua jarinya di hadapan Luvi.
"Kenapa kamu keluar kelas?" tanya Luvi dengan nada kesal. Diperhatikannya tangan sahabatnya, Delsa, yang membawa sekantong plastik hitam. "Dari kantin, ya?"
"Ah, lain kali aku sembunyi tangan aja." Delsa menyembunyikan tangan ke belakang, seperti sikap istirahat, bersama kantong plastiknya.
"Ish, bikin pengen saja. Lain kali nggak usah menghampiri daripada mingin-mingini walau sembunyi tangan."
"Bercanda, kok." Delsa memperlihatkan kembali kantong plastik. "Aku berniat makan bersama sama kamu, tapi aku tadi izinnya ke kamar mandi."
"Sekarang murid yang jujur menjadi pembohong."
"Sekali-kali nggak apa-apalah. Demi teman. Demi kamu. Aku tau, kok, kalo kamu belum sarapan. Tergambar jelas berangkat telat."
"Ah, kamu sama aja sama mereka. Terus aja ngeledek."
"Udah, ah, Luvi. Daripada debat mending kita makan aja." Delsa duduk di samping sahabatnya. Kedua gadis itu melahap makanan secara bersama.
Setelah makanan habis, Delsa pamit ke kelas. Ia mengatakan kepada Luvi bahwa ia tidak mau ketinggalan akhir pelajaran. Gadis itu ingin tahu kesimpulan materi hari ini dan ingin memastikan apakah ada tugas atau tidak. Ia berjanji akan kembali saat bel berbunyi untuk menjemput Luvi.
Baru masuk kelas, dua murid dari kelas lain menyampaikan bahwa materi jam ke-2 diganti dengan tugas. Delsa menarik Luvi ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas.
"Kenapa di sini?" tanya Luvi.
"Supaya kita bisa sekalian bicara berdua tentang masalahmu. Lagi pula, di sini kita bisa cepat menemukan referensi yang mungkin dibutuhkan."
"Emang bisa, ya, orang badmood jadi lebih baik di suanana pengap begini?"
Kalimat Luvi menyadarkan Delsa. Ia pun menarik Delsa ke kelas untuk mengambil HP, lalu ke taman. "Aku minta maaf soal tadi. Sebelum ke perpus, aku tidak kepikiran kalimat terakhirmu. Biar lebih efektif, kita ngerjain tugas sambil membicarakan masalahmu. Okay?"
"Okay-lah."
"Kenapa rautmu pas dihukum tadi berbeda dari sebelumnya? Apa ada kaitannya dengan guru, doi, atau teman sekelas?"
"Nggak ada. Aku cuma merasa lelah sekolah."
Dua gadis itu sudah kelas dua semester satu SMA. Pernyataan Luvi membuat Delsa terkejut. Waktu yang tersisa di tingkat sekolah itu tidak lama lagi. Sebuah hal 'tanggung' jika mengundurkan diri.
"Kenapa? Apa aku belum pantas menjadi teman selama ini? Apa hanya karena ada aku aja nggak cukup untukmu?" Sampai saat ini Delsa berusaha menjadi teman terbaik bagi Luvi. Dirinya selalu merasakan apa yang dirasakan temannya. Saat duka, ya duka. Saat senang, ya ikut senang.
"Semuanya salah. Aku senang ada kamu, tetapi ... nggak untuk yang lain. Kedukaan yang lebih banyak membuatku berpikiran seperti ini." Wajah Luvi menjadi sendu. Ia tidak tahu kalau kalimatnya menusuk hati Delsa.
"Aku nggak mengerti. Bagiku, apa yang kamu rasa berbanding terbalik denganku. Jika kamu lebih memandang ke hal negatif, lebih baik aku menjauh. Aku nggak bisa berdekatan dengan orang seperti itu." Delsa membereskan alat-alatnya, kemudian meninggalkan Luvi sendirian.
"Del ... Delsa ...," ucap Luvi menyesal.
Selama beberapa hari Delsa tidak akrab dengan Luvi. Luvi berasumsi bahwa Delsa sudah tidak menganggapnya teman dekat. Makin ke sini, dirinya merasa makin jauh dengan mantan sahabat dekatnya itu meskipun Luvi sudah lebih baik daripada perbincangan terakhir.
Pemutusan hubungan dekat itu tidak berubah walau sekolah pindah haluan menjadi pembelajaran daring demi pencegahan covid-19, penyakit baru yang menjadi topic trending. Jarak saling berjauhan ini membuat kualitas pembelajaran di sekolah Luvi turun. Pembatasan sosialnya membuat Luvi rindu sekolah luring. Dengan luring, ia bisa bebas berkomunikasi dengan teman dan guru, bisa asyik bercanda, bisa bermain bersama, bisa salim dengan guru, bisa makan bersama, dan lain-lain. Luvi merasakan berapa pentingnya sekolah. Sekolah daring memang tetap namanya sekolah, tetapi bagaikan tidak sekolah karena ia sendiri di rumah. Sekarang, bercanda dengan guru jarang ada yang berani. Sekarang, orang tua bagai pengawas sekolah atau BK.
Ibu Luvi menangkup kedua pipi anaknya. "Tetap semangat sekolah, ya, Sayang. Mintalah kepada Allah, wabah ini segera berakhir."
Luvi memeluk ibunya. Ibunya juga membalas pelukan itu. "Makasih, Ibu. Ibu adalah orang nomor satu dalam hidupku."
Tamat
Penulis minta dukungannya dengan vote dan komen kalau bisa. Penulis suka kejujuran pembaca, kok. Bagaimana kalau kita berteman baik?
KAMU SEDANG MEMBACA
SLTA
Short StoryKumpulan cerpen +13 THN. Berbagai kisah dengan tokoh utama seorang siswa SMA. Biasanya, masa putih abu-abu adalah masa paling indah bagi setiap insan. (Rilis: 31 Agustus 2020) Sampul: @poetree.malu #1 - cerpensma (Mei '21) #3 - ceritaputihabuabu (No...