Puisi Pertama

3 2 0
                                    


Kalau berkenan, kasih saran. Kalau bagus, kasih like. Kalau mau bagikan, boleh banget.

Aku punya pacar. Sebelum kami berpacaran, aku menemukan surat-suratnya yang berisi puisi-puisi indahnya. Semuanya bertema hal kesukaannya dan kesukaanku, kurasa. Puisi-puisi terakhirnya sebelum dia menembakku adalah puisi di mana dia memintaku untuk menebak siapa pengirim surat-surat puisi selama ini. Setelah semua jawabanku disatukan, aku jadi tahu kelas berapa dia. Saat kukatakan aku menyerah untuk pertanyaan siapa namanya, pagi-pagi dia duduk di kursiku. Saat itulah dia menembakku.

Karena terkagum dengan karya-karyanya, aku menerimanya. Dia pun mentraktirku makan di kantin. Awalnya kami merasa canggung saat mengobrol. Beberapa lama kemudian, aku dan dia sudah santai kalau mau membicarakan sesuatu. Ternyata dia lebih cerewet dariku, pantas dia pintar meramu puisi.

Suatu ketika aku tertarik dengan puisi. Dia pun mengajariku, secara otomatis kami ganti topik pembicaraan. Katanya, puisi lebih mengungkapkan perasaan daripada pikiran. Untuk tahap pertama, dia bertanya padaku apa yang tengah kupikirkan atau inginkan saat ini.

"Lho? Kenapa kamu nggak bertanya apa yang tengah aku rasakan saat ini?"

"Ikuti aja kataku. Kita mulai dari apa yang kamu pikirkan atau inginkan saat ini. Tulis aja, ini akan jadi kata kunci pertama."

Aku berpikir sejenak sebelum menulis kata kunci pertama di buku tulis. "Terus?"

"Kenapa kamu memikirkan ... kamu pilih memikirkan atau menginginkan?"

"Menginginkan."

"Tahap kedua, kenapa kamu menginginkan hal itu. Langsung tulis aja."

Aku menggoyangkan pena di atas buku. Setelah selesai, kutatap mata pacarku. "Lalu?"

"Sekarang tulis gimana kamu akan meraih itu."

Sekali lagi aku menulis kalimat panjang. Tapi kali ini aku menggunakan otak. Yah, berpikir bagaimana aku akan meraih hal yang kuinginkan sekarang. "Ada lagi?"

"Selanjutnya tulis apa hambatan dalam meraih itu?"

Kali ini kalimatku lebih pendek dari sebelumnya. "Lalu?"

"Ini terakhir, ya. Tulis apa yang akan kamu lakukan untuk menghadapi hambatan tadi."

Kali ini aku dibuat berpikir keras. Itu pertanyaan yang sulit. Kuingin semuanya berjalan lancar. Tapi setiap pilihan pasti ada yang dikorbankan, 'kan?

"Setelah selesai, kamu bisa mulai menulis puisinya. Jangan lupa revisi setelah menulis semua isi puisinya. Aku ke kelasku dulu, ya?" Dia mengacak-acak rambutku, "udah mau bel nih."

Aku merapikan rambutku. "Iya. Makasih tipsnya, ya. Nanti kalo udah selesai, aku bilang kamu."

"Sip. Aku tunggu. Dah." Dia melambaikan tangan.

"Dah." Aku membalas lambaian tangannya.

Tidak seperti istirahat sebelum-sebelumnya, kali ini dia tidak datang ke kelasku untuk mengajak ke kantin. Mungkin dia ingin memberiku waktu untuk menulis puisi pertamaku. Niatnya baik sih, tapi ... rasanya hampa tanpa kehadirannya. Akhirnya aku putuskan untuk pergi ke perpustakaan. Di sana aku akan melanjutkan tulisan puisiku.

Istirahat kedua adalah jam salat bagi muslim-muslimah. Jadi kami tidak bisa jalan berdua ke masjid.

Sepulang sekolah, dia sama seperti saat istirahat, tidak mengapeliku. Kenapa sih dia? Apa dia tidak bisa mendengar suara rinduku?

Sesampainya di rumah, aku tidak langsung ganti baju dan makan, tetapi mengeluarkan buku tulis dan pena ke atas meja belajar. Apa lagi? Ya pasti merevisi puisiku. Ya, aku sudah menyelesaikannya saat di sekolah. Saat pelajaran, aku mendengarkan guru sambil menggarap puisiku. Namanya sudah kecanduan, mau bagaimana lagi? Teguran guru pada mata pelajaran terakhir membuatku berhenti melakukan perbuatan buruk itu. Untungnya aku sudah selesai menulis puisiya. Mantap di jiwa!

"Puput, makan siang dulu, nanti lanjut belajarnya!" teriak Bunda dari arah ruang tamu.

"Nanggung, Bun! Bentar lagi, ya!"

***

"Eh?" Aku terkejut manakala melihat kelas pacarku. Pacarku belum ada di kursinya, bahkan tidak ada di seluruh penjuru kelasnya.

"Pacarmu belum berangkat."

Seseorang mengangkat suara. Sepertinya kepadaku. Kualihkan pandangan ke arahnya. Oh, ternyata dia teman sebangku pacarku. Dia sudah tahu kalau aku adalah pacar teman sebangkunya.

"Oh, begitu. Aku tunggu di sini, boleh?" kataku.

"Ya, nggak pa-pa. Bentar lagi juga kelihatan batang hidungnya."

"Makasih." Aku lalu berjalan ke ruang kelas pacarku. Kududukkan diri di kursi pacarku. Saat pertama dia tidak mampir ke kelasku sebelum bel masuk berbunyi, aku ke kelasnya saat istirahat. Ternyata dia sakit. Saat itulah aku tahu di mana kursinya. Teman sebangkunya yang memberi tahuku, sekaligus memberi tahu kalau kuota dan pulsa pacarku habis.

Lima menit kemudian, pacarku ada di ambang pintu. Wajahnya tampak kaget melihatku. Hanya sekejab. Lalu aku pindah duduk di kursi sebelahnya.

"Udah lama?" Dia menaruh tasnya di kursinya dan ikut duduk.

"Nggak kok."

"Gimana perkembangan puisimu?" Dia sempat melirik buku yang kubawa.

"Alhamdulillah, udah selesai. Nih." Kusodorkan buku tulisku.

"Aku lihat, ya."

Aku tersenyum dan langsung saja mengangguk. Aku tidak melihatnya saat dia mulai baca puisiku, melainkan meliriknya untuk sekadar melihat bagaimana ekspresinya, tentu sambil tersenyum penuh percaya diri, karena aku yakin dia akan bahagia.

"Gimana?" tanyaku setelah beberapa menit.

"Em ... a—anu ... puisinya aku simpan, ya? Udah kebelet nih. Maaf, ya? Mungkin nanti, besok, lusa, atau kapan-kapan aku lanjut bacanya."

Dia gugup, bahkan tingkahnya mencurigakan.

"Emang untukmu kok. Ambil aja," kataku.

Dia tersenyum. "Makasih pengertiannya." Dia menyobek kertas berisi puisiku. "Kalo gitu, aku ke kamar mandi dulu."

Dia buru-buru pergi, meninggalkan kelas ... dan aku. Kok aku jadi mellow, ya? Kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak? Duh, semoga hanya firasat buruk saja.

Banyak hal aneh yang terjadi setelah pagi itu. Dia seperti ingin menghindar dariku. Karena aku merasa kesal dengan tingkahnya, aku sudah tidak mau lagi berusaha menemuinya. Aku lebih memilih menghabiskan waktu dengan teman-temanku, keluargaku, dan warga sekitar sekolah dan rumah.

***

"Put, Put, aku mau ngomong sama kamu." Pacarku meraih tanganku pada pagi hari setelah hampir seminggu kami tidak saling menyapa.

"Apa sih?!" Aku mengempaskan tangannya dengan kasar. Kutatap matanya dengan nyalang. 

"Marah artinya cemburu, rindu." Dia tertawa senang.

Aku menampakkan wajah kian marah kepadanya.

"Jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati, ya," katanya lagi. "Aku minta maaf kalo selama ini terlihat menjauhimu. Tingkahku akhir-akhir ini, aku akan jelaskan semuanya setelah menunjukkan sesuatu dulu." Dia merogoh tasnya.

"Ini." Dia menyodorkan koran padaku. "Cari puisi di sana."

Aku heran. Daripada negative thingking, aku iyakan saja permintaannya. "Lho? Ini, kan, puisiku."

"Iya."

"Tapi kok bukan namaku? Siapa dia? Apa dia udah mencuri karyaku?"

"Itu kamu kok. Aku yang kirim. Aku sengaja menyamarkan namamu agar kamu nggak marah kalo kamu nggak suka puisimu dimuat. Buat jaga-jaga aja. Ini honornya." Dia memberikan amplop padaku.

"Berapa?"

Saat aku mau melihat jumlah nominalnya, dia segera mencegah. "Di rumah kamu aja. Sekarang, kita ke kantin yuk! Kamu traktir aku. Kan, puisimu lolos berkat aku. Iya, 'kan?"

"Mana aku bawa uang lebih. Tadi kamu juga larang aku buat buka amplopnya."

"Canda, Sayang. Aku yang traktir, kan udah buat kamu marah. Yuk!"

"Asyik! Yuk!"

Tamat

SLTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang