Di Balik Kerja Kerasku

7 3 6
                                    

Aku melambai-lambaikan tangan. Bukan hal menyenangkan ditinggalkan sendiri di rumah. Namun, ini adalah keputusanku sendiri. Ada yang harus kulakukan. Tanpa mereka tahu dan untuk membuktikan potensiku.

Pintu gerbang telah ditutup oleh pak satpam. Kemudian, segera pak satpam itu masuk ke mobil. Aku pun segera bergegas menutup pintu. Berlari ke tangga. Masuk ke kamar.

Kain panjang warna hijau di nakas kupakai sebagai ikat kepala. Kukepalkan kedua tangan. Sorot mataku juga serius.

Berbalik menuju membuka lemari. Aku menyeringai. "Mari kita mulai dramanya!" ajakku kepada sapu, benda yang kuanggap keramat. Padahal aku baru membelinya kemarin dengan jurus ninja, diam-diam.

Dari pojokan, kubersihkan lantai dengan gesit. Baru satu menit aku menyapu, aku teringat sesuatu. Sapunya pun kusandarkan di pinggir amben.

Kubuka lemari lagi untuk mengambil sulak. Seharusnya, tadi aku menggunakan alat itu sebelum memakai sapu.

Kaca jendela kubersihkan mulai dari atas. Beralih ke lemari. Balok ini kusibakkan debu kecuali bagian belakang, bagian tersulit karena berhimpitan dengan tembok. Baru mau membersihkan kasur, aku teringat sesuatu yang lain.

Kutaruh sulak di atas kasur. Berburu-buru ke gudang. Mengambil sapu iduk bergagang panjang. Seharusnya, alat ini dipakai lebih dahulu daripada dua benda sebelumnya.

Kusapu langit-langit kamar yang penuh lamat, sarang laba-laba. Tidak peduli dengan laba-laba karena niatku mulia, bersih-bersih. Tuhan menyukai keindahan.

Beberapa kotoran lamat jatuh ke lantai. Ada pun yang terjun ke sekitar jendela, kasur, nakas, meja belajar, baju, dan lemari. Benda-benda ini harus kuurus dengan sulak. Setelah itu, kusapu lantai.

Kukumpulkan semua kotoran di kamarku ke ekrak, kemudian ke tempat sampah. Kuambil daftar list ruangan di seluruh rumah dan halaman. Kucoret 'ruang kamar', artinya sudah beres.

Kulanjutkan bersih-bersih di kamar ayah-ibu. Berlanjut ke lorong lantai dua. Misi satu pokoknya menyapu langit-langit, menyulak, dan menyapu bagian-bagian yang bisa kujangkau.

Sungguh lelah melakukan ini dengan dua lantai dan halaman yang luas. Kuputuskan beristirahat sejenak dengan membuat es jus satu teko. Tidak lebih nikmat apabila tidak sambil menonton dan mengemil.

"Aduh, romantisnya mereka. Aaa, Oppaaa." Kebaperanku kumat.

"Jam berapa ini?" kutengokkan wajah ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.

"Apaaa aku sudah leha-leha lebih dari satu jam? Gaswatttt."

Langsung kumatikan TV, menutup toples kudapan, dan menutup jus. Kulanjutkan tekadku yang tertunda dengan membersihkan halaman rumah, sambil memutar lagu.

Tempat sampah yang penuh memaksaku untuk membakar sampah yang bisa dibakar. Seraya menunggu, aku mengepel lantai yang seluruhnya dilapisi keramik. Memakai sabun biar wangi. Memeras, menyeka keringat, dan kerja keras sendirian.

Lagi-lagi aku istirahat. Kali ini sambil yoga dengan dipandu video dari Youtube. Sebuah olahraga relaksasi. Rasanya begitu nyaman meski usai lelah. Bagiku, wanita wajib melakukan ini. Selain membuat membentuk tubuh, juga menjaga kesehatan rohani dan jasmani.

Saking mendalaminya, aku kehilangan satu setengah jam. Kalau diukur, orang tuaku akan kembali dalam dua jam kemudian. Kututup laptop, lalu berlari ke samping rumah, tempat pembakaran. Kubuang sisa pembakaran ke tong sampah.

Aku tersenyum senang. List-ku tinggal membersihkan kamar mandi, bagian terparah menurutku, makanya kukerjakan paling akhir.

"Okay, dua lagi. Kamar mandiku, kamar mandi ortu, dan kamar mandi bawah. Eh, tiga ding. Ganbatte!" Kulayangkan tangan kanan ke atas sembari mendongak.

Kututup hidung dan mulut dengan masker. Kulapisi tangan dengan sarung tangan. Kumasukkan kaos ke dalam celana. Kupakai sepatu bot yang entah milik siapa.

Aku tidak bisa memakai benda-benda sebelumnya pada misi terakhirku. Harus memakai sikat, sikat khusus kloset, dan lap.

Pertama-tama, kulap tembok yang berkeramik. Semua berkeramik kecuali kloset dan langit-langit. Kemudian, kusikat-sikap lantai berkerak. Terakhir, kugesek-gesekkan alat khusus kloset ke seluruh bagian kloset.

Kusemprotkan parfum agar beroroma wangi. Keluar dari kamar mandi, membuat pernapasanku sedikit sesak. Kugeser masker ke bawah dagu.

"Ah, aku lupa mengelap rumah. Apa masih sempat, ya?" Kulihat jam di lengan. Jamku ini antiair, sehingga tidak rusak pas membersihkan kamar mandi.

"Setengah jam lagi. Sepertinya harus kubereskan alat-alat yang kupakai barusan."

Sesudah alat-alat tadi kucuci, kini kukembalikan ke tempat semula. Kalau ada orang lain yang mencari, akan mudah ditemukan.

"Mandi aja, ah." Kusampirkan handuk ke pundak.

Lelahku membuatku mengantuk meski sudah mandi. Berbaring di kasur membuatku begitu nyaman.

Tok! Tok! Tok!

Suara itu membuatku terbangun. Kukucek mata dan kulihat jam. 16.30 WIB. Sadar bahwa aku ketiduran.

"Eh, ayah dan ibu baru mengetuk pintu? Cek dulu, deh."

Yang kudengar bukan suara ketukan pintu di kamarku. Kulihat ke ruang tamu. Orang tuaku sedang meletakkan barang-barang di sana. Kulangkahkan kaki menuruni tangga. "Ayah dan Ibu baru pulang?" tanyaku penasaran.

"Hehehe iya. Tadi macet, jadi kami telat. Kulihat-lihat, semuanya tampak bersih. Kami senang. Kamu, ya, yang melakukan semuanya?"

"Hehehe." Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Senang mendapat pujian, tetapi malu juga karena ini pertama kalinya kulakukan. "Demi janji Ayah dan Ibu juga."

Ayah-ibuku saling pandang. Ibuku memegang bahuku seraya tersenyum. "Ikhlas nggak?"

"Ya ... ikhlas, dong."

"Kalo udah ikhlas, nggak minta apa-apa. Iya, 'kan, Yah?"

Ayah mengangkat satu jempol. Aku kesal. Seharusnya, janji dituruti walau dengan anak kecil sekalipun. Kuentakkan kaki ke lantai, hendak ke kamar. 'Bodoh amat' di hadapan orang tua.

Fiks, kerja kerasku sia-sia, padahal aku menginginkan motor agar lebih mudah pergi ke mana-mana. Kuakui bahwa naik mobil atau motor dengan diantar satpam adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri, tetapi aku merasa tidak enak dilihati orang-orang sekitar dan aku seperti diawasi.

Kuambil wudu setelah ingat bahwa aku belum salat Asar. Kupanjatkan doa setelah salat sambil menitikkan air mata karena sangat kecewa dengan orang tua. Saat itu juga hatiku kian lega.

Benar memang kata orang kalau ada masalah lebih baik dicurahkan kepada Allah yang Maha Mendengar.

"Bismillah positif thinking. Mungkin ayah dan ibu takut apabila ada bahaya yang mengacamku jika aku naik motor sendiri untuk saat ini, apalagi aku anak semata wayang mereka. Mungkin mereka tidak menyangka aku sudah melakukan kerja keras tadi. Semoga benar dugaanku kalau mereka ingin mencari waktu yang lebih tepat."

Kalau mood-ku sedang buruk begini, aku sering melampiaskannya dengan melakukan hobi, yaitu menonton komedi. Eh, ini namanya hobi atau bukan?

Selama aku belum mendapatkan keinginanku, aku selalu memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permintaanku. Aku serasa makin dekat dengan-Nya. Aku kurang peduli dengan pandangan orang mengenaiku, entah mengatakan aku sok alim atau benar-benar alim.

Sejujurnya, aku mengikuti kata-kata ustaz-ustazah tentang bagaimana memperoleh sesuatu yang lebih mujarab. Mungkin dengan cara curang bisa dilakukan, tetapi tidak mendapat barokah di dalamnya. Mungkin aku bisa membeli sendiri dengan kredit, tetapi aku tidak yakin bisa melunasinya dan tidak mau memyeret orang tua dalam permasalahanku nanti.

Tamat

Dukung dengan like/love/star, ya, kalau bisa. Komen setelah baca kalau bisa. Penulis suka kejujuran. Mari berteman.

SLTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang