Seamplop Cerpen Seseorang

3 2 0
                                    

Di meja belajar, seorang laki-laki membalik-balikkan kedua sisi amplop. Putih, polos, dan lumayan tebal untuk sebuah amplop. Sang pemegang membayangkan kalau isinya uang. Jika benar uang, ia akan membeli barang-barang keinginannya seperti HP baru, pakaian baru, sepatu baru, model rambut baru, jam tangan baru, dan barang-barang kecil baru yang menjadi koleksi laki-laki.

Doarrr!

Lamunan laki-laki itu buyar manakala geluduk terdengar seperti ada di langit di atas rumahnya. "Astagfirullah al-adzim. Ah, geluduk ganggu aja." Tangannya pun meraba-raba permukaan amplop. Dari segi ukuran dan lipatannya, ia yakin kalau isinya tidak sesuai bayangannya.

"Aih, jangan bilang ini salah alamat," gerutu Wahyu, nama laki-laki itu. Jari jemarinya menyobek amplop yang direkatkan. Isi amplop pun terlihat. Sama-sama putih polos. "Oh, ternyata kertas. Semoga bukan surat cinta yang diketik di HVS."

Wahyu mengeluarkan isinya dan menaruh amplop ke meja. Kertas yang dilipat-lipat agar muat di amplop ia buka. Ada lima lembar A4. Satu kertas yang sempat jatuh dipungutnya lagi.

Setiap lembar kertas ia lihat. Semua yang tercantum di sana hanya tulisan ketikan. Melihatnya saja sudah membuat Wahyu malas, apalagi sampai membacanya. Kertas-kertas itu pun ia masukkan ke dalam laci meja belajar. Aktivitasnya beralih ke HP untuk membuka aplikasi game.

***

'Kalo diingat-ingat, kemarin kami sekelas Olahraga. Kemungkinan di saat itulah sang pemberi tulisan-tulisan yang membosankan menaruhnya di tasku,' pikir Wahyu dalam hati.

"Bum!" Pukulan dari belakang ke kedua pundak Wahyu yang lumayan keras berhasil melonjakkan Wahyu.

"Naudzubillah min dzalik," seru Wahyu. Ia berbalik dan memukul jidat sahabat eratnya, Gibran. "Sialan lo!" kesalnya.

Gibran meletakkan tangan kanannya ke kening. "Ah, lo juga sialan. Ada apa, sih? Tumben ngelamun. Cerita ke gue, dong."

"Tapi jangan di sini. Ke tempat biasa aja. Ayo!" Wahyu keluar kelas, diikuti oleh Gibran.

Kedua siswa laki-laki yang tampak urakan itu duduk di atas pohon. Kehadiran mereka jarang diketahui banyak orang.

"Kemarin malam gue nemuin amplop yang tebel di tas gue. Ini beda, lo. Isinya bukan surat cinta, puisi cinta, atau apalah yang berkaitan dengan fans."

"Emang apa?"

"Cerpen lima lembar." Wahyu melebarkan matanya. "Bayangkan."

Gibran tertawa mendengar itu. Baru pertama kali ia mendengar cerita seperti momen Wahyu. "Udah lo baca belum?"

"Belumlah. Lo kan tau karakter gue yang gimana."

Wahyu dan Gibran sudah berteman sejak kelas satu SMP. Lima tahun bersama tidak membuat keduanya bosan untuk akrab. Gibran sudah tahu kalau sahabatnya itu kurang suka membaca fiksi karena setiap membacanya, Wahyu jarang 'nyambung'.

"Coba bacalah. Gue yakin isinya adalah cerita cinta. Bisa jadi lo ditembak secara nggak langsung."

"Lo bacain gih. Terus, lo ceritain kembali ke gue. Kalo lo yang ngomong, gue lebih ngerti."

Gibran membalasnya dengan tersenyum, seakan ekspresinya bisa dibaca oleh sahabatnya sendiri. Wahyu meneguk saliva. Tatapan bungkam yang lama dari sahabatnya membuatnya bergidik ngeri dan berbatin, 'Pasti ada maunya nih bocah. Bocah? Hoo, dia sekarang udah kayak bocah perempuan yang minta dibeliin kapas manis.'

"Mau apa lo?" tantang Wahyu.

"Jomblangin gue sama Rastianingrum, cewek kelas sebelas IPS-5."

"Rastianingrum? Asing banget, sih. Kapan-kapan kalo lo udah selesai baca, lo tunjukkin orangnya ke gue. Masak iya gue jomblangin tanpa tau orangnya?"

SLTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang