Doyoung meletakkan sekantong plastik di atas meja. Membuat sang empunya, Nakamoto Yuta, mendongak dan menatapnya tajam.
"Makan." Doyoung mengempaskan diri ke sofa, menarik simpul dasinya yang terasa mencekik kerah. Ia harap perjalanannya dari Jakarta ke Osaka sepadan dengan tatapan membunuh yang dilemparkan Yuta padanya. "Apa? Mau tanya kenapa asisten lu gak ngelarang gue masuk? Gue dapet free pass langsung dari bokap lo."
Yuta tidak menjawab. Dia tahu semua orang tengah berusaha menghentikannya. Menghentikan kegilaan apa pun yang kini mulai menghancurkan dirinya secara perlahan. Yuta pun ingin berhenti. Tetapi dia tidak bisa. Tidak mampu. Lisa meninggalkannya begitu cepat. Begitu mengguncang dan meninggalkan kekosongan yang ganjil pada semua orang. Kematian memang selalu datang dengan tak terprediksi dan mengejutkan. Tapi kepergian tiba-tiba Lisa, bukan salah satu yang pernah terbesit di benaknya.
"Lo butuh istirahat." Doyoung menatap wajah letih dan kusut Yuta. "Kapan terakhir kali lo tidur?"
"Tadi malem."
"Pingsan sempoyongan nggak dihitung."
Satu tahun berlalu sejak insiden itu terjadi. Pesawat mendarat hingga menyentuh permukaan laut sekitar 200 meter dari landasan pacu. Hanya sejumlah penumpang dan kru yang dilaporkan selamat.
Nama Lisa bukan salah satunya.
Pihak kepolisian dan investigasi secara resmi telah menutup kasus tersebut. Jasad yang tidak ditemukan dinyatakan hilang atau meninggal. Keluarga Lisa sendiri sudah menyepakati pemakamannya dilakukan di Indonesia. Upacara itu akan dilaksanakan tiga hari lagi.
Yuta tidak menjawab. Kembali fokus pada berkas-berkasnya. "Udah selesai? Lo bisa pergi sekarang."
Doyoung menghela napas. Yuta di hadapannya sekarang bukan lagi sosok Nakamoto Yuta yang ia kenal. Kematian Lisa seolah mengubahnya menjadi mesin. Dia bekerja nonstop tanpa pernah mengambil jeda, tidak istirahat kecuali dipaksa, dan tidak menyentuh makanan jika tidak hampir kehilangan keseimbangannya. Siapa pun dapat melihat kekosongan dan duka yang mendalam pada dirinya.
"Kapan lo akan ngeikhlasin dia?"
Tangan Yuta berhenti menyortir kertas.
Itu, adalah jenis pertanyaan yang paling ia tidak ketahui jawabannya.
Bahkan setelah setahun berlalu pun, Yuta masih tidak dapat melepaskan Lisa. Setiap detik yang berlalu sejak hari itu menorehkan luka dan perlahan membunuhnya. Sebab merenggut Lisa berarti merampas kehidupannya juga. Bahkan dengan memikirkan nama gadis itu saja sudah membuatnya tersiksa. Hanya urusan pekerjaan satu-satunya hal yang dapat mengalihkan perhatian Yuta. Menjaganya agar tetap waras dan berpikir rasional.
"Lisa belum pergi."
Atau setidaknya begitu yang ingin dia percaya.
Kapan lo akan ngeikhlasin dia?
Samar, pertanyaan Doyoung mengingatkan Yuta pada percakapan terakhirnya dengan Lisa.
"Will you wait for me?"
Yuta memejamkan mata. Saat itu dia menjawab dengan 'ya'. Dia akan menunggu Lisa selama apa pun gadis itu membutuhkannya.
Pertanyaannya sekarang, sampai kapan dia mampu menunggu hingga waktu yang tak terhingga?
⠀⠀
⠀⠀•••
⠀⠀
Senin, 14 Februari 20xx
15:30 WIB
⠀⠀
⠀⠀"Tuh, bucin lo tuh, Kak." Shotaro mendengus. Dia menatap Yuta penuh permusuhan. "Gue stres banget ngejelasin ke asisten sama managernya pas dia tiba-tiba ngecancel semua jadwal ke Singapura. Nyerah gue, angkat tangan."
Lisa tertawa, dia menoleh terhibur pada Yuta. "Jadi itu alasannya, waktu siuman aku langsung lihat kamu?"
Setahun ini, baru diketahui jika ada kesalahan sortir identitas dari para tim evakuasi. Lisa tidak meninggal. Dia koma dan baru dapat diidentifikasi tepat pada penerbangan Yuta ke Indonesia, untuk menghadiri upacara pemakamannya. Miskomunikasi ini juga disebabkan oleh Lisa sendiri yang sempat mengalami gegar otak ringan dan hilang ingatan. Tapi masa-masa paling kritisnya telah lewat.
Dan yang terpenting bagi Yuta, gadis itu masih hidup dan berada di sisinya.
"Cuma urusan sama pihak Direksi." Yuta mengedikkan bahu tak peduli. Lisa meringis. Standar 'cuma' dari seorang Nakamoto Yuta itu sama pentingnya dengan rapat-rapat besar perusahaan multinasional mereka.
"Jadi, kalian nikahnya kapan?" tanya Shotaro santai sambil memainkan layar handphonenya. Lisa memang sudah diberitahu tentang rencana lamaran Yuta waktu itu. Tetapi tetap saja, wajahnya memerah dan sebuah layangan bantal sukses mendarat di kepala Shotaro.
"Pala lo nikah! Gue baru siuman 48 jam yang lalu!" Lisa menatapnya berang. Pelototannya kemudian beralih ke arah Yuta. "Ngapain ketawa?! Sana ke Singapura!"
Bukannya beranjak pergi, Yuta malah menoleh iseng ke arah Shotaro. "Maret. WO udah ready, 'kan? Kaasan sama Bunda juga udah diskusi."
"MARET?!"
Yuta tertawa. Melihat wajah panik Lisa saat ini adalah hiburan tersendiri baginya. Wajah yang selama setahun terakhir ini selalu dirindukannya. "Kenapa, sih? Segitu kangennya, ya? Mau dicepetin jadi lusa?"
"KAAAAKK!"
⠀⠀
⠀⠀
⠀⠀•••
⠀⠀
yha, batal sad ending.
⠀⠀
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEETENER
Fanfiction(n.) A sugar substitute. This work may not provide glucose or fructose, but I hope it'll still boost you an extra bit of serotonin.