"Oh, jadi itu asisten baru lo?"
Suara Jongin yang diikuti dengan nada meledek itu membuat genggaman Sehun pada map di hadapannya makin mengerat. Sedikit lagi dan ia akan mematahkannya menjadi dua. "Out."
"Sorry, gue cuma kepo siapa yang bikin lo ngelewatin dinner kemarin," seringai muncul di wajah Jongin. "Jadi keinget waktu kuliah gak, sih? Lo juga sebucin itu dulu."
Dinner yang dimaksud adalah acara makan malam mingguan yang kerap digelar untuk menjaga afiliasi persahabatan antara Keluarga Kim dan Oh. Sehun adalah pria yang tahu prioritasnya. Dia juga menjunjung tinggi formalitas. Dia bukan tipikal remaja puber yang akan semudah itu melewatkan jamuan resmi seperti ini.
Dan tentu saja, alasan di balik perilaku yang sangat-tidak-Sehun itu, selalu dan selamanya adalah Lalisa Manoban.
Bahkan setelah sekian tahun berlalu.
Bahkan setelah apa yang dilakukan perempuan itu padanya.
Rahang Sehun mengeras. "Gue nggak mau ngomongin dia."
"Sure, sure. Gue juga gak mau ngomongin gimana lo langsung gesit nolongin dia waktu digangguin pas acara sambutan tadi," mata Jongin menantangnya. "Gue gak butuh penjelasan sama sekali. Karena Sehun yang gue tahu, nggak akan sebego itu. Falling yet again for a woman who's only had an eye for his pocket. A gold digger at her best."
Dalam sedetik, Sehun sudah meraih kerahnya. Wajahnya masih tenang, namun terdapat presisi mengerikan di mata gelapnya. Ada sesuatu yang berbahaya di sana. "Say a word about her again, and business between us is going to be a lot different. Clear?"
"Crystal," Jongin menghempaskan tangan Sehun dari kerahnya.
Dia dan Sehun tumbuh bersama sejak kecil. Bukan tipe sahabat yang menghabiskan musim panas dengan tawa, tapi mereka selalu menjadi bagian di masa lalu masing-masing. Jongin juga adalah yang berada di sisi Sehun ketika Lalisa Manoban, perempuan sialan itu, pergi dengan lima puluh juta di kantongnya. Meninggalkan Oh Sehun, biliuner paling muda yang diincar semua orang, menjadi lelaki paling bodoh soal urusan percintaan.
"You know what? I'm done here." Jongin mengangkat tangan. "Gue gak ngerti santet apa yang dipake tuh cewek ke lo, tapi jangan nangis-nangis ke gue kalo lo kecolongan satu miliar." Sebelum pergi, Jongin berhenti di ambang pintu. "Well, what can I say? Kata orang, buah jatuh gak jauh dari pohonnya."
Tangan Sehun mengerat. Dia membanting map di hadapannya. Berdiri dengan bahu yang masih tegang. In one quick motion, his hand sweeping the entire table. Everything falls apart.
Setelah bertahun-tahun berusaha bangkit dari masa lalunya, bagaimana mungkin Lalisa kembali begitu saja? Menghancurkan tembok baja yang sudah dibangunnya susah payah dengan mudahnya?
Tidakkah cukup menghancurkannya sekali saja?
"Direktur?"
Suara itu menyeret Sehun kembali ke permukaan. Suara yang selama ini dirindukannya meski dengan mengingatnya saja sama seperti menghunjamkan pisau pada jantungnya sendiri. Lagi dan lagi.
Sehun melonggarkan dasinya. "Masuk."
Lalisa membuka pintu dengan perlahan. Wajahnya sama seperti yang ia ingat bertahun-tahun lalu. Masih sama cantiknya. Masih sama seperti wajah yang gemar ia pandangi selama berjam-jam. Bedanya sudah tidak ada bekas air mata di sana. Lingkar hitam di matanya juga sudah tidak terlihat. Seperti beban yang selama ini berada di pundaknya telah terangkat sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEETENER
Fanfiction(n.) A sugar substitute. This work may not provide glucose or fructose, but I hope it'll still boost you an extra bit of serotonin.