love, it kills us / taeyong

2.6K 433 33
                                    

DOR. DOR. DOR.

Aroma mesiu menguar dimana-mana. Abu dan api saling bergelung membentuk kobaran asap yang semakin membesar. Darah mengalir dari ujung hingga ujung lantai. Nyawa berjatuhan seiring dengan jeritan dan teriakan yang kian memekakkan telinga.

Lalisa mengangkat pistol. Dia berdiri di tengah-tengah jilatan api yang hampir memenuhi seisi ruangan. "Werewolf." Jarinya bergerak ke arah pelatuk. "Keluar kau, iblis."

"Noona," Chanwoo memindai lewat radio transmisi yang menghubungkan mereka dengan anggota-anggota lain. "Mereka sudah pergi. Kita memang harus melumpuhkan Alpha-nya, tapi kita sudah terlambat."

"Belum." Bayangan sesosok tubuh mulai terlihat dari balik kepulan asap. "Dia tidak mungkin meninggalkan sarangnya begitu saja." Kemudian dalam sedetik, bahkan sebelum Lalisa sempat berkedip, sebuah tangan tiba-tiba telah mencengkram dan mencekik lehernya. Lalisa tersenyum, dingin. "Benar, 'kan, Alpha?"

Chanwoo mematung. Seluruh tubuhnya mendadak mengalami malfungsi. Tidak dapat bergerak. Hanya bergeming dan menahan napas. Beberapa kali suara Jennie dan Hanbin terdengar dari radar nano earpice-nya.

"Chanwoo! Waktu kita hampir habis. Apa yang sedang terjadi?"

Lalisa tengah menodongkan laras ke kepala Lee Taeyong yang sedang mencekiknya.

Ini, adalah yang terjadi.

"Hei, Magang," Suara Taeyong masih beku dan tajam. Masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Masih tidak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari mata Lalisa. "Kuberi waktu untukmu melarikan diri jika tidak ingin melihat bagaimana kepala atasanmu ini terpenggal."

"Tidak kalau aku menembakmu lebih dulu." Lalisa menekan moncong pistol. Ia melirik ke arah Chanwoo di belakangnya. "Tapi aku setuju dengannya. Jung Chanwoo, tinggalkan lantai ini sekarang."

"Noona!" bentak Chanwoo. "Meninggalkanmu seorang dir—"

"Sekarang."

Chanwoo tahu beberapa hal tentang organisasi pemburu werewolf yang menaunginya. Pertama, Lalisa bukanlah pemimpin yang baik dan murah hati. Dia kejam dan tidak memiliki nurani. Tidak terhitung sudah berapa banyak manusia serigala yang telah dibantainya.

Dan salah satu alpha di hadapan mereka saat ini, adalah kekasihnya.

"Sekarang, Jung Chanwoo."

Rahang Chanwoo mengeras. Lalisa tidak akan mempu membunuh Taeyong. Begitu pula dengan sebaliknya. Semua orang mengetahui hal itu. Lalisa mengetahui hal itu.

Tapi pembunuhan harus segera terjadi di ruangan ini. Entah siapa yang akan mati. Entah siapa yang akan berkorban. Entah nyawa mana lagi yang harus menjadi buah atas kekejaman dunia dan seisinya.

"Baiklah, dasar tukang perintah." Chanwoo mengantongi pistolnya, suaranya serak. Bahunya terasa kebas dan berat. "Aku akan pergi dan kau akan membunuhnya. Kita kembali ke camp seperti biasa dan besok kau akan mentraktirku es lemon." Chanwoo tertawa pedih mendengar nada duka dari suaranya. Ia berjalan mundur dengan perlahan. "Kau dengar aku, noona? Kau akan membunuhnya dan kita akan hidup."

Lalisa terkekeh kecil. "Pergilah. Kau tahu aku tidak suka menghitung."

"Noona—"

"Satu."

Langkah Jung Chanwoo mulai terdengar menjauh dan menuruni tangga

Taeyong menaikkan alis. "Aku selalu tidak paham ketika kau melakukan itu. Menghitung dan orang-orang langsung menuruti kemauanmu."

Tawa Lalisa berderai di antara atap-atap bangunan yang mulai berjatuhan. "Roseanne bilang itu salah satu dari daya tarikku," katanya ringan. "Dan omong-omong, Chanwoo sudah naik pangkat. Dia bukan lagi seorang magang."

Taeyong menahan sudut geli di bibirnya. "Kau tahu, terkadang ini membingungkan." Pembantaian. Darah. Dendam. Kematian. "Aku membunuh teman-temanmu san kau membunuh kawananku. Kita saling bertarung dan mengkhianati satu sama lain."

Lalisa memejamkan mata. "Kau beruntung aku datang untuk mengakhiri itu semua."

Taeyong menatap merendahkan ke arah pistol Lalisa. "Dengan itu?"

"Daya konduktivitas termal perak akan melumpuhkan proses regenerasi sel immortal." Suara Lalisa bergetar, tapi ia tetap melanjutkan. "Persenjataan kami sekarang didukung oleh pemerintah, kami mendapatkan pasokan langsung dari Eropa." Ia menarik pelatuk dan bunyi dentuman yang besar menggetarkan seisi lantai. "Peluru baru."

"Dasar pamer."

Lisa tersenyum kecil, putus asa. "Aku payah, ya? Kau bahkan tahu aku tidak akan mampu membunuhmu. Tidak bahkan dalam seratus tahun sekali pun."

Mereka berdua terdiam. Dalam sesaat mereka hanya sepasang muda-mudi biasa. Tanpa kutukan atau kewajiban untuk saling menumpahkan darah dan kematian. Hanya Lalisa Manoban dan Lee Taeyong. Bukan pemimpin dari perserikatan pemburu manusia serigala dan seorang alpha dari pack paling berpengaruh di dunia werewolf.

Just them. The two of them.

"Tidak perlu menunggu selama itu."

Perlahan, Taeyong mengarahkan pistol itu ke posisi tepat di mana jantungnya berada.

"Kau mungkin tidak bisa. Tapi kalau aku, itu lain cerita."

Mata Lalisa membelalak. Ia berusaha menarik kembali tangannya, namun cengkraman kuat Taeyong menahan posisinya tetap di sana. Lalisa berteriak, "Apa maksud—"

"Ini tanggal 27, bukan?"

Dan sebelum Lalisa sempat berkata apa pun, segalanya terjadi begitu saja. Cepat, tak terhindarkan.

Pelatuk ditarik dan sebuah tembakan meletus.

"Selamat ulang tahun."

•••

⠀⠀
⠀⠀
Happy Birthday Lisa! ❤️
⠀⠀

SWEETENERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang