18

4.1K 806 48
                                    

Guruh mengeluarkan suaranya sekali lagi bersama dengan kilat yang tampak berada di depan Alee. Tangan Alee gemetar, tapi ia terus melajukan mobilnya. Jika ia tidak bisa menghadapi rasa takutnya sendiri maka tidak akan pernah ada yang bisa membantunya keluar dari trauma yang terjadi padanya.

Mobil Alee terus menerjang hujan meski si pengemudi terus merasa tekanan di dadanya semakin membuatnya sesak.

Ell yang berada di belakang Alee tidak bisa lepas dari rasa gelisah. Dadanya terus saja berdebar tidak menyenangkan. Alee, kenapa wanita itu tidak berubah sama sekali. Selalu ingin terlihat kuat padahal rapuh.

Langit benar-benar gelap saat Alee tiba di depan gerbang kediaman Damian. Alee menekan remote pembuka gerbang yang dimiliki olehnya, lalu gerbang raksasa yang melindungi kediaman mewah Damian terbula.

Alee segera masuk ke dalam lalu kembali menutup gerbang itu.

Saat Alee sudah masuk, Ell masih di depan gerbang selama beberapa saat sebelum akhirnya ia meninggalkan tempat itu.

Di dalam kediaman Damian, Alee melangkah dengan wajahnya yang pucat.

"Kau sudah pulang, Alee." Damian yang baru keluar dari ruang kerjanya bicara pada Alee yang tampak tidak menyadari keberadaannya.

"Alee?" seruan Damian sekali lagi baru membuat Alee menyadari keberadaan pria itu.

"Apakah Anda bicara padaku, Tuan Ingelbert?" suara Alee terdengar bergetar.

"Ada apa? Apakah sesuatu terjadi padamu?" tanya Damian cemas. Tidak biasanya Alee seperti ini.

Alee menggelengkan kepalanya. "Tidak. Mungkin aku hanya terlalu lelah."

"Kalau begitu istirahatlah. Selamat malam, Alee."

"Selamat malam, Tuan Ingelbert." Alee kemudian meneruskan langkahnya.

Ia menaiki anak tangga dengan kakinya yang lemah. Alee menguatkan dirinya, dan ia berhasil sampai ke atas. Ia masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu.

Alee terduduk di belakang pintu. Ia memeluk kedua lututnya sendiri. Kedua tangannya menekan kepalanya yang seperti ingin meledak. Ia ingin berteriak, mengusir kenangan buruk yang berputar di kepalanya.

Wajah ibunya yang tidak damai, darah yang membasahi sprei. Alee tidak ingin mengingat itu semua lagi.

Air mata Alee jatuh. Napasnya terengah-engah. Ia seperti dihimpit oleh batu. Begitu menyesakan hingga ia kesulitan bernapas.

Tubuh Alee bergetar hebat. Selama beberapa menit ia habiskan dengan menangis pilu. Hingga akhirnya hujan berhenti dan ketakutan Alee juga berhenti sampai di sana.

Alee berdiri susah payah, ia melangkah menuju ke ranjang dan duduk di sana. Tangannya menghapus air mata yang membasahi wajahnya.

Kini Alee termenung. Matanya yang sayu menunjukan seberapa menderita ia saat ini. Dan Alee telah bertahan selama lebih dari sepuluh tahun menghadapi segala mimpi buruk yang menghampirinya entah itu saat ia menutup mata atau membuka matanya.

Menarik napas, Alee menenangkan dirinya. Napasnya yang tadi cepat berangsur kembali normal. Dadanya yang sesak kini sudah tidak seperti terhimpit batu lagi.

"Kau kuat, Alee. Kau kuat." Alee melapalkan mantra yang sudah ia lapalkan sejak kematian ibunya. Ia tahu tidak ada yang bisa menguatkan dirinya kecuali ia sendiri. Alee tidak pernah ingin bergantung pada orang lain, karena jika ia kehilangan orang itu maka ia pasti akan berakhir seperti ibunya.

Setelah cukup lama, Alee sudah kembali ke semula. Wanita itu memutuskan untuk berendam di air hangat. Ia menenggelamkan tubuhnya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.

ELLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang