Kepingan Luka

7 2 0
                                    


Bias lara masih terpatri, rasa sesal kian merayapi. Rasanya aku tak sanggup menapaki bumi, jika pada ujungnya hanya untuk kecewa lagi.

Seberapa kali aku mencintai, sebanyak itu pula aku di sakiti. Bagai tompel yang menempel di kulit, sulit sekali untuk menghapus apa yang sudah terjadi.

Dulu terucap kata. "Aku akan selalu bersamamu."

Pada akhirnya dia pergi bersama sang waktu, menyisakan sembilu yang kian hari semakin membiru. Risau aku memikirkannya, sampai mati aku menahan perih.

Dia yang dulu kupuja, bahkan enggan bermimpi kalau dia pula yang membuatku terluka. Merana, dia membuatku galau sampai pikir melanglang buana, berharap semua yang terjadi hanya hayalan saja.

"Sadarkan aku Tuhan, mungkinkah ini hanya ilusi yang Engkau ciptakan?"

Jenuh aku merenung yang setiap kali bertanya hanya jawaban kosong bersambung.

Apa kabar dengan hati yang tersakiti? Setiap saat merasa bernanah hingga nyaris kehilangan jati diri. Merintih sepi pada malam yang menyelimuti raga. Namun, tidak mampu menghangatkan dinginnya hati.

Mati, jiwa dan ragaku terasa remuk, tidak lagi mampu aku merasakan kecamuk emosi yang biasanya hadir saat aku merasa ada yang berbeda denganya hari ini.

"Ada apa? Kenapa hanya diam memandang segumpal awan?" tanyaku kala itu pada sosok cantik yang menurutku paling menarik.

Gumam lirihnya kian terdengar perih, kupikir ada yang salah dengan caraku bertanya. Namun, pasalnya dia memang sudah bosan pada pemuda yang hanya bisa memberinya cinta, bukan harta.

Tercenung aku mengingatnya, serasa di remas gumpalan daging di bilik dada. Coba kuraba, adakah darah yang mengalir di sana? Karena sakitnya sungguh tidak mampu di tahan hanya dengan menggigit bibir saja. Tidak kutemukan cairan kental merah itu, yang tersisa hanya denyutan nyeri ketika setiap detiknya menggerogoti hati.

Wahai sang waktu, bukankah kau bisa menghapus segala yang telah lalu? Memang tak mampu menyembuhkan luka masa lalu, tapi setidaknya buatlah rasa sakitnya memudar termakan olehmu.

Aku meracau tiap detik, mengumpati masa. Berharap mampu didengar untuk kemudian di wujudkanya, percuma.

Sampai berbusa aku berbicara, buahnya tetap saja pahit terasa. Luka itu kian membusuk, bahkan mungkin sudah dimakan belatung serta teman-temannya. Menyisakan kenangan yang menghujam kepala, menyakiti setiap sel dan persendian yang ada.

Bodoh, rasanya bodoh aku memilih berdiam diri dengan segala hal manis yang dia beri, sampai membuatku kehilangan hidup yang sejati.

Seberapa banyak kau menanam benih di hatiku? Bahkan saat aku cabut satu, bukannya hilang malah tumbuh beribu-ribu.

Menjerat, membelenggu juga memenjarakanku.

Sesak, dadaku terasa terhimpit oleh semua rindu yang menyelinap tiap menit. Menyapa memori, mengatakan. "Apa kabar hati? Sudahkah kau sembuh dari sakit yang kuberi?"

Tersenyum lirih aku mendengarnya, saat hati dan kepala bertengkar antara mempertahankan atau membuang segala ingatan. Tertawa keras aku merespon keduanya, saat perasaan dan akal senang mengolok raga yang kian hari semakin lemah saja.

Hilang akal aku karena memikirkannya, sejauh mana dia membawaku pada fantasi yang nyatanya mampu melukai sampai sedalam ini.

Berkali-kali aku mengusir dirinya saat hadir dalam kepala yang tidak barang satu mil saja untuk melupakan.

Agaknya aku akan gila, jika tidak sanggup menahan rasa. Menjamah hati, membujuknya untuk mudik kepemilik sebelumnya.

Geli menggelitik sukma, gila aku menertawainya. Dia senang bermain bersama hayalanku, setia menyapa untuk membuat kotor isi kepala.

Cukup, sudah selesai. Semuanya harus di akhiri, muak aku terjebak berulang kali, bosan aku di kalahkan lagi.

Kesepian ini membunuhku perlahan, menikam bertubi-tubi seolah tidak memberiku ampunan. Entah dosa apa yang aku lakukan, hingga dibuat merana, sekarat, terikat oleh ketakutan.

Ini yang terakhir kali, aku mengingat dirinya lagi. Sekaligus kepingan luka terakhir yang akan kurasakan.

_End_

Distrik tersembunyi.
Kota luka, 06 Februari 2021

Luapan EmosiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang