Duit dan Kiamat

3 0 0
                                    

Duit dan Kiamat
By: Lavender

Lagi dan lagi saya mempertanyakan. Kenapa harus saya yang berpendidikan? Bukan tentang menghilangkan kebodohan, tapi tuntutan yang kian besar hanya karena saya memiliki gelar.

Saya lelah berpura-pura menjadi harapan, nyatanya saya hanya produk gagal, tak berguna yang harus dihilangkan.

Berapa kali harus saya teriakan? Apakah sampai pita suara saya lenyap, redam dan menghilang?

Duit, duit, duit!!! Kiamat, kiamat, kiamat!!!

Berapa kali saya dihantui untuk mati? Padahal nyali saya begitu kecil, bahkan tak terlihat.

Saya menjalankan hobi.

"Apa itu akan menghasilkan uang? Kalau tidak, tinggalkan!"

Saya berusaha menghibur diri.

"Apa nanti dapat uang? Kalau sia-sia, abaikan!"

Saya meneriaki diri.

"Apa itu bernilai uang? Kalau tak berguna, tak usah!"

Pertanyaan yang membuat saya kehilangan, kehilangan pandangan soal "apa arti menikmati hidup".

Jika ini hanya tentang uang, kenapa tak membunuh saya saja? Kenapa tak biarkan saya mati saja? Katakan saya hanyut, katakan saya terbakar, galang dana untuk belasungkawa, tak perlu ada kan doa, saya yakin siksaan tak 'kan terelakan.

Saya hanya pecundang, yang hidup dan matinya tak bisa menguntungkan.

Namun, meski begitu ... Bisakah? Sekali saja, satu saja ... Tolong, bahkan jika saya harus bersujud dan menjilat sepatu anda, berikan apresiasi pada usaha saya, hargai dengan tulus apa yang saya sukai dan jangan mempertanyakan tentang uang dengan apa yang saya lakukan.

Saya hanya ingin, hidup saya tenang. Tanpa dibayangi Duit dan kiamat.

Lavender, penulis Antidote dan Chrysanthemum.

Luapan EmosiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang