Tahun ini umur Jiya sudah 24 tahun, sedangkan Juna 25 tahun. Sudah satu tahun sejak kelulusan Jiya saat itu. Kini, Jiya sudah bekerja menjadi guru BK di salah satu SMA di ibu kota.
Dulu, awalnya Juna ingin membawa hubungannya dengan Jiya ke tahap yang lebih serius. Juna memang kurang suka tentang hal-hal yang bernama pacaran. Oleh karena itu dia tidak mau melewati tahap itu dengan Jiya. Namun, ucapan Tama saat mereka bertemu satu bulan setelah kelulusan Jiya membuat dia tersadar. Dia tidak boleh terlalu buru-buru.
"Bang lo tahu ngga?"
"Apa?"
"Mimpinya Jiya."
Juna terdiam. Dia tentu saja tidak tahu, Jiya tidak pernah cerita dan dia juga tidak bertanya.
"Dia pengin traktir ortu dengan gaji pertamanya."
Juna terdiam lagi. Dia Tidak menyangka mimpi Jiya adalah hal itu. Dia pikir Jiya punya mimpi yang "wah" seperti membelikan orang tua barang yang mahal, mengajak mereka liburan, atau bahkan memberangkatkan haji keduanya.
"Lo kaget 'kan bang? Sama gue juga awalnya. Tapi itu mimpi dia, mungkin bisa gue bilang sesimpel itu."
Perkataan Tama membuat Juna sadar, dia tidak perlu buru-buru. Bayangkan kalau Juna benar melamarnya saat awal Jiya lulus kuliah mungkin Jiya tidak bisa mewujudkan mimpinya. Jadi, biarlah dia menikmati hasil kerjanya untuk kebahagiaan kedua orang tuanya.
Namun, kini sudah berbeda. Umur keduanya sudah cukup matang, Jiya juga sudah memiliki pekerjaan.
Jadi, sore itu saat Jiya baru pulang dari sekolah dia dibuat heran dengan kehadiran Juna dan keluarganya. Ini ada apa?
"Jiya sayang sini duduk."
Ucapan mamanya membuat dia ikut duduk di sampingnya. Jiya masih tidak mengerti, ini ada apa? Kenapa banyak sekali bingkisan?
"Pa ini ada apa?" tanya Jiya berbisik kepada papanya.
Jaya tersenyum. "Juna, silakan katakan apa tujuanmu ke sini."
Jiya makin dibuat tidak mengerti. Kenapa jadi Juna?
Juna menghela napas perlahan dan mengucapkan salam kepada semuanya. "Jadi maksud saya kemari adalah saya ingin membawa hubungan saya dan putri bapak menuju hubungan yang lebih jelas. Umur kami masing-masing sudah cukup untuk menikah. Saya tahu saya belum sempurna, tapi kita ada untuk saling menyempurnakan bukan? Jadi bolehkah?"
Sebentar, mendengar kalimat Juna rasanya Jiya mau menangis. Ya ampun Jiya tidak tahu harus berkata apa. Sejak tadi dia meremas tangannya sendiri saking gugupnya. Terlebih tatapan Jaya benar-benar serius dan beliau belum mengeluarkan satu kata pun.
"Putri saya bekerja. Bisakah kamu menoleransi hal itu?"
Juna tersenyum tenang. Sebenarnya dia sudah menduga pertanyaan seperti ini. "Tidak ada aturan yang melarang seorang perempuan untuk bekerja. Saya sejujurnya, tidak mempermasalahkan hal itu. Pekerjaannya adalah hak dia, asalkan dia tetap bisa membagi waktu dan saya tahu Jiya bisa melakukannya. Jadi, saya bisa menoleransinya."
Jaya tersenyum, beliau cukup puas dengan jawaban Juna. "Kalau begitu keputusan terakhir ada di tangan Jiya. Karena dia yang akan menjalaninya."
Jaya menjeda ucapannya dan melihat ke arah putrinya itu. "Jadi, apa keputusanmu?"
Jiya terdiam dan menunduk. Hal ini membuat suasana di ruangan itu jadi hening. Namun, Ayu tersenyum mengerti. "Jiya menerimanya. Diamnya seorang perempuan berarti iya."
Sontak senyum bahagia terpatri di wajah masing-masing. Bahkan Juna sudah beranjak berdiri di hadapan Jiya. Perlahan dia berjongkok di hadapannya. Tangan kanannya mengambil sepasang cincin yang dia simpan di kantong beludru. Jiya melihatnya dengan tatapan berkaca-kaca, setelahnya dia ganti melihat ke arah Jaya, seakan meminta persetujuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Congratulation✓
General FictionFeat Choi Yeonjun and Hwang Yeji (local name) About Jiya who loves someone that look at her as his little sister. © Freyy03 2020