Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Aisyah ikut bergegas menyambut kedatangan Brama yang baru saja pulang."Selamat malam Tuan!" sapa para pegawai/pembantu termasuk Aisyah juga.
"Malam, kalian sudah siapkan makan malam?" tanyanya.
"Sudah, Tuan."
"Ya sudah saya masuk dulu, Aisyah sekarang kamu panggilkan ketiga anak saya untuk makan bersama, ada yang perlu saya bahas!" ujar Brama.
"Baik, pak."
"Good, saya ke kamar dulu. Kasih tahu jangan terlalu lama, saya tidak ingin menunggu!"
Aisyah mengangguk sopan. Lalu pergi ke kamar Devano terlebih dahulu. Tadinya ingin memencet bel, namun mereka pasti keluarnya lama, jadi dia memutuskan mengetuk pintu satu persatu.
"Kak Dev, disuruh nunggu dimeja makan sama Pak Brama. Beliau ingin makan malam bersama, katanya ditunggu jangan lama!" teriak Aisyah.
"Entar gue turun. Sekarang gue lagi di baju, habis mandi," balas Devano teriak dari dalam kamar.
"Oke, jangan lupa jangan lama!"
"Berisik lu!"
Aisyah tak menghiraukannya, ia memilih pergi menuju kamar Iqbal.
Tok tok tok!
"Kak Iqbal disuruh makan malam sama Pak Brama, terus suruh nunggu di meja makan jangan lama!" teriak Aisyah.
"Berisik lo! Gue lagi dikamar mandi, entar juga ke sana!"
"Iya, tapi awas lupa jangan lama!"
"Lo berani banget sih nyuruh-nyuruh gue ngatur-ngatur emang lo siapanya gue?!"
"Calon presiden dimasa yang akan datang."
"Serah cewek miskin aja!"
Aisyah cemberut langsung meninggalkan kamar Iqbal. Saatnya menuju kamar Ari. Aisyah baru saja ingin mengetuk pintu, tapi tangannya tiba-tiba ditarik masuk.
"Aaaaaaaaa...mpht---" Ari membekap mulut Aisyah agar tak berisik.
"Berisik lo cebol!"
"Heh, gue enggak cebol tahu."
"Oh, udah berani ya sekarang pake bahasa lo-gue? Gak sopan tahu gak!" Ari menutup pintu kamarnya membuat Aisyah ketakutan.
"Eh, ini mulut saya kepeleset itu. Soalnya entah kenapa kalau lihat kak Ari itu bawaannya pengen marah-marah."
"Apa lo bilang?"
"Eh, enggak kok enggak bilang apa-apa."
Ari tersenyum miring, "sini lo gue hukum pembantu yang gak sopan sama majikannya!"
Aisyah mundur karena Ari terus saja maju mengikis jarak diantara mereka berdua. Saat perlahan mundur, kakinya tersandung sepatu Ari yang berada di dekat kasur. Aisyah limbung, saking kagetnya dia menarik kaos baju Ari hingga mereka jatuh berdua dikasur.
Aisyah makin shok dan ketakutan, ditambah lagi sekarang Ari berada di atas tubuhnya sambil menyeringai.
"Sekarang lo gak bisa kemana-mana Aisyah," bisik Ari tepat ditelinga Aisyah.
Tangan Ari membelai pipi chubby Aisyah. Entah kenapa pipi mulus itu seakan-akan menariknya untuk digigit. Hingga tak terasa Aisyah menangis.
"Lo kenapa nangis?" tanya Ari.
"Be--berat, bisa bangun gak? Pegel tahu kek gini terus, emang saya kasur apa bisa nampung manusia segede gini?!"
"Tapi masalahnya gue nyaman kayak gini, dan gak mau bangun, gimana dong?"
"Plis dong!" entah sengaja atau tidak tangis Aisyah semakin kencang membuat Ari risih.
Ari langsung bangkit, membuat Aisyah bernafas lega...
Cup!
Baru saja lega sekarang dia menjadi tegang, gara-gara Ari yang tiba-tiba mencium pipinya. Gerakannya cepat tapi efeknya slow motion.
"Gak usah nangis, udah gede juga."
"Heh, gue gak akan nangis kalo lo gak kayak tadi, umur aja udah tua, doyan sama yang masih muda. Dasar om-om cabul!"
"Apa lo bilang?!"
"Gak ada pengulangan, jadi sekarang lo turun ke meja makan, disuruh Tuan Brama makan malam bersama."
Ari menatap Aisyah tajam. Aisyah yang kesal setengah mati, langsung saja menginjak kaki Ari dengan keras, kemudian pergi melongos begitu saja.
"Aisyah awas lo ya!!!!!"
•••
Makan malam sudah dimulai, Aisyah yang mau tak mau harus berada disini. Ia ikut makan juga, karena perintah dari Brama.
Setelah makan hening beberapa saat, kini Brama melirik ketiga putranya dan Aisyah bergantian.
"Jadi gimana perkembangan mereka Aisyah?"
"Alhamdulillah masih hidup, masih nafas, dan satu lagi masih normal."
Sontak ketiga cowok yang berada tak jauh dari Aisyah menatapnya tajam. "Bego!"
"Hah?" Brama melongo tak percaya.
"Kenapa, saya salah bicara? Tapi benerkan perkembangan mereka seperti itu. Kalau akur gak akur itu kadang akur sendirinya juga tanpa disadari."
"Oh, bagus lah kalau seperti itu."
Brama kini menatap ketiga putranya bergantian. "Kalian nyaman gak sama Aisyah?"
"Enggak!" jawabnya kompak.
"Tuhkan, kompak. Jadi mereka tuh kadang akur sendirinya juga," celetuk Aisyah.
"Sebenarnya mereka memang akur hanya saja saya suka kesel gara-gara mereka suka pecat seenaknya pembantu yang ada dirumah ini."
"Emang gitu?"
"Iya, sampai saya pusing sendiri tahu."
"Hmmm, Pak boleh gak kalau besok saya pulang ke rumah dulu sehari. Saya kangen ibu saya di rumah," ucap Aisyah hati-hati.
"Boleh, asal kamu kembali lagi kesini, jangan coba-coba kabur!"
"Pasti, kan sekarang saya kerja disini mana mungkin saya kabur."
"Pa, jangan asal percaya sama babi gadungan kayak dia! Muka aja polos otaknya pasti licik tuh!" tuduh Iqbal.
"Yang kayak gini tuh udah kelihatan kali dari wajahnya aja dia tuh cewek jahat!" timpal Devano.
"Eh jangan asal tuduh ya! Saya gak kayak yang kalian omongin kok. Saya emang miskin tapi orang tua saya tak pernah mengajarkan saya menjadi orang jahat!" ungkap Aisyah.
"Sudah-sudah, kalian ini kalo ngomong jangan asal tuduh!" tegur Brama.
"Vano sama Iqbal bukan asal tuduh kali, Pa. Dia emang gitu so polos caper sama Papa biar dijadiin istri ke empat papa kali!" celetuk Ari.
"Jaga omongan kamu! Papa gak akan jadiin Aisyah istri Papa. Paling papa akan nikahkan Aisyah dengan salah satu diantara kalian! Biar kalian gak seenaknya terus sama orang!" jelasnya.
"Maaf, Pak. Saya sudah punya pacar, lagian gak minat dengan mereka!" ujar Aisyah.
"Halah, jomblo aja ngaku-ngaku punya pacar!"
"Diam deh kak Dev, kalau gak suka gak usah ngejek ntar kena karma mau?!"
"Diam lu boncel!"
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Big Baby
RomanceAisyah terpaksa bekerja di keluarga Brama, pria paruh baya yang ternyata teman lama ayahnya dulu. Bekerja menjadi babu ketiga cowok tampan nan manja membuat hari-harinya penuh drama. Apalagi saat ketiganya mulai tertarik pada Aisyah. Bingung dan bim...