Aisyah sudah sampai di rumah kediaman Brama Dharmawangsa. Ia merasakan perutnya sakit, mungkin maaghnya kambuh karena sedari pagi belum sarapan. Tiba-tiba saja keseimbangan tubuhnya hampir limbung, namun seseorang menahan pundaknya."Astaga, untung aja gue gercep nangkepnya loh, kalau enggak mungkin udah jatuh ke lantai," ujar Devano.
Aisyah melirik ke samping, matanya agak buram karena pusing namun ia masih bisa melihat bahwa itu Devano.
"Maaf!" Dengan segera Aisyah menjauhkan badannya menjaga jarak diantara keduanya.
"Lo kenapa?"
"Lemes, pusing."
"Kenapa? Punya penyakit? Emang gitu ya jiwa miskin tuh gampang sakit-sakitan!"
"Eh bukan, tapi saya dari tadi belum makan."
"Emangnya kenapa? Lo tadi kemana aja lagi? Jadi gembel? Masa iya rumah segede plus sekaya ini gak ngasih makan situ?!"
"Mmm... tadi saya di suruh ke kantor nemenin kak Ari. Udah sampai sana lama, terus dimarahin di suruh pulang lagi, mana gak dikasih alamat rumah ini, gak dikasih uang buat ongkos pulang lagi. Ya udah saya jalan kaki ke rumah ibu, di sana saya diberi uang sama alamat rumah ini," jelas Aisyah.
"Salah sendiri itu mah!" Devano pergi meninggalkan Aisyah yang diam menunduk.
"Ye itu sih bukan salah gue kali, itu mah salah dia yang gak punya hati nurani, udah kayak Sultan aja. Mana orangnya galak, tukang ngebentak, jahat, kayak psycopat lagi!" gerutu Aisyah.
Tanpa disadari dibelakangnya sudah ada seseorang yang menatapnya tajam. Dia menepuk pundak Aisyah. Gadis itu pun menoleh dengan sebal. Tatapan tajam menusuk itu membuat nyali Aisyah menciut.
"Eh kak Ari, udah pulang, dari kapan disini?" tanya Aisyah gugup.
Ari menatapnya tajam, "Jadi ini kelakuan Lo dibelakang majikan, bisa-bisanya lo ngatai gue psikopat, lo mau gue jadi psikopat beneran? Lo mau gue bunuh detik ini juga hah?!"
Aisyah menggeleng, "Enggak, maaf saya sengaja. Eh maksudnya gak sengaja lagian itu bukan ngatain kak Ari kok."
"Terus ngatain siapa? Gue tahu ya dari awal lo ngomong!"
"Itu anu, emm... Diri sendiri."
"Oh udah berubah jadi orang gila ya?!" Setelah mengucapkan itu Ari pergi begitu saja meninggalkan Aisyah.
"Perasaan dari tadi ditinggal melulu, nasib cewek cantik emang gini ya!" gerutu Aisyah.
"Apa kata lo cantik? Heh ngaca! Punya cermin kan lo, cewek miskin tepos aja bangga lu!"
Suara Iqbal sangat menusuk tajam ke Indra pendengarannya. Rasanya Aisyah ingin melakban bibir julid milik cowok itu.
"Itu mulut apa silet sih? Tajem banget!"
"Apa lu melotot-melotot berani sama gue?!"
Berani, kalau lo bukan anak majikan gue mah. Jawabnya dalam hati.
Aisyah terdiam, lalu saat merasakan Iqbal sudah pergi dari tempat berdirinya. Ia pun pergi menuju dapur untuk makan, karena perutnya bener-bener terasa keroncong minta diisi.
Aisyah membuka lemari yang ada di dapur. Di sana masih tersedia makanan, dengan segera ia mengambil piring dan gelas untuk diisi makanan dan minum.
Aisyah makan di lantai tepat di dapur.
"Neng, kok makannya dibawah? Itukan ada meja makan," ucap Bi Inah.
"Aku kan pembantu disini, jadi gak pa-pa makan di bawah aja. Di rumah juga di bawah kok, Bi," ucap Aisyah sambil tersenyum kikuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Big Baby
RomanceAisyah terpaksa bekerja di keluarga Brama, pria paruh baya yang ternyata teman lama ayahnya dulu. Bekerja menjadi babu ketiga cowok tampan nan manja membuat hari-harinya penuh drama. Apalagi saat ketiganya mulai tertarik pada Aisyah. Bingung dan bim...