Tepukan Taehyun di pipiku membuat aku terpaksa membuka mata. Dengan nyawa yang masih belum terkumpul ku regangkan tubuhku dan kembali menarik selimut.
"Tae, aku masih ngantuk," gumamku.
"Yaudah, gue kerja dulu ya. Kalau mau pulang, tolong pintunya dikunci dan bawa pulang aja. Biar gue ambil sendiri ke rumah lu kalau dah balik kerja."
"Ati-ati di jalan," ucapku tanpa membuka mata.
Tae mencium keningku sebelum akhirnya berangkat kerja. Sial, karenanya semua rasa kantukku menguap di udara.
Begitu Tae berangkat, aku langsung memegangi keningku. Dasar anak itu membuatku hampir gila ketika tiba-tiba saja menciumku.
Sekarang aku bingung akan melakukan hal apa. Mungkin baiknya aku pulang saja setelah mandi. Karena aku juga tidak membawa pakaian ganti.
Baiklah, sebentar lagi aku akan pulang. Tapi sebelumnya aku akan melakukan sesuatu untuk berterimakasih kepada Taehyun karena telah mengizinkan aku untuk menginap di rumahnya. Yap, betul! Aku akan membersihkan rumahnya.
Setelah mandi, aku langsung membersihkan setiap sudut rumahnya. Percayalah, rumah Taehyun jadi berantakan karena ulahku.
"I love you but I'm letting go," nyanyiku sambil menyapu kamar Taehyun.
Akhirnya, selesai juga sesi bersih-bersih yang ku lakukan. Sekarang saatnya pulang untuk makan masakan bunda.
Dengan penuh semangat aku mengunci rumah Taehyun dan berjalan menuju rumahku. Sesampainya di rumah, aku melihat papa sedang membaca koran di ruang tamu.
Ya tuhan, jantungku berdetak sangat cepat ketika melihat sosoknya. Ingatan tentang pertengkaran papa dan bunda kembali terputar di kepalaku.
Saat ini aku bahkan tidak berani untuk berjalan mendekat. Kakiku terlalu lemas untuk digerakkan.
Menyadari kehadiranku, papa meletakkan korannya di meja dan menatapku yang sedang berdiri di depan pintu rumah.
"Kenapa nggak masuk, sini duduk di samping papa. Papa mau bicara," ucap papa padaku.
Meski sebenarnya aku sangat takut, tapi aku tidak memiliki pilihan lain selain berjalan mendekat dengan sisa tenaga yang ku punya dan duduk di samping papa.
"Bunda mana?" Itulah hal pertama yang aku tanyakan.
"Bundamu pulang kampung nak, mau menenangkan pikiran, katanya."
Aku mengangguk paham. Kalau ditanya perasaanku saat ini seperti apa, maka aku akan menjawab bahwa aku sangat kecewa dan sedih. Aku kecewa kepada papa yang belum bisa mengontrol emosinya, dan sedih karena bunda tidak ada disini.
"Pa, papa tau sadar ngga apa kesalahan papa?" aku memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan kepada papa.
"Papa telah cemburu buta pada bunda? Betul kan."
"Menurutku, papa perlu sedikit menurunkan tempramen. Atau setidaknya tahan diri papa agar tidak melempar barang yang ada di hadapan papa. Piring yang pecah bisa dibeli lagi, tapi perasaan yang terlukai tidak akan kembali seperti semula."
Papa terlihat sedang memikirkan ucapanku. Beliau menunduk sambil memijat pelipisnya. Apakah saat ini papa benar-benar menyesal?
"Maafkan papa, saat itu papa refleks melempar piring-piring itu," ucap papa dengan mata berkaca-kaca.
"Papa tau? Perasaanku hancur ketika melihat hal itu di hadapanku. Aku lemas karena ketakutan dan sangat sedih. Dan bunda pasti merasakan hal yang lebih buruk daripada itu."
Kami berdua sama-sama terdiam dan tenggelam di pikiran masing-masing. Aku merasa penasaran tentang jawaban apa yang akan papa berikan. Apakah papa sedang memikirkan perasaanku dan bunda, atau hal lain.
Tapi sepertinya papa tidak akan memberi jawaban kepadaku. Sebelum naik ke kamarku aku ingin mengatakan ketakutan terbesarku selama ini.
"Pa beom naik ke kamar dulu ya. Oh iya, beom sayang sama bunda, dan nggak pengen kehilangan bunda seperti beom kehilangan mama dulu. Jadi, tolong jaga bunda baik-baik ya pa," ujarku.
Setelahnya aku langsung meninggalkan ruang tamu. Membiarkan papa duduk termenung di sana sendirian.
Entah kenapa, setelah memasuki kamar perasaanku jadi sangat kosong. Apa karena aku merindukan bunda, atau aku sedang merasa cemas.
Sebenarnya aku takut bunda tidak kembali kemari. Kenangan buruk saat perceraian papa dan mama terus berputar di kepalaku. Aku tidak ingin kehilangan bunda seperti aku kehilangan mama.
Apa aku menyusul bunda ke kampungnya saja ya? Jadi aku bisa membujuk bunda seandainya bunda tidak ingin kembali ke rumah kami. Tapi aku tidak berani jika harus berangkat sendirian.
Aku langsung teringat pada Taehyun ketika melihat ponselku yang tergeletak di atas di atas nakas. Apakah aku harus menelfon Taehyun untuk memintanya menemaniku.
"Halo Tae," sapaku begitu sambungan telpon kami tersambung.
"Tae, bunda pulang kampung setelah bertengkar sama papa. Aku takut bunda nggak pulang, jadi aku mau susulin bunda ke kampungnya," ucapku di telepon.
"Lu jangan aneh-aneh. Tau sendiri kan, kalau lu ceroboh dan susah ingat jalan. Udah tunggu aja bunda di rumah. Beliau pasti balik kok,"jawab Taehyun.
Aku berharap ia akan mengajukan diri untuk menemaniku. Tapi kenyataannya Taehyun malah melarangku.
Aku jadi takut untuk meminta Tae menemaniku. Sekarang aku harus bagaimana? Aku takut untuk berangkat sendirian, tapi aku lebih takut kalau bunda tidak pulang.
Tiba-tiba saja air mataku menetes. Aku tidak bisa melakukan apapun selain menangis. Hatiku sakit sekali. Tangisanku pecah begitu saja, aku sama sekali tidak bisa menahan air mata dan isakanku.
"Gyu, lu nangis?" tanya Taehyun. Sepertinya ia mendengar suara isakanku karena aku belum memutus sambungan telponnya.
"Udah jangan nangis. Maaf kalau ucapan gue barusan bikin lu sedih. Tunggu sampai satu minggu ya, kalau bunda belum pulang nanti gue anterin ke kampung halaman bunda. Gue kerja dulu ya, dadah."
Sambungan telepon pun terputus. Tangisanku semakin pecah. Belum ada dua hari aku tidak bertemu bunda, tapi aku sudah sangat merindukan beliau.
Bahkan rasanya aku tidak sanggup untuk menunggu satu minggu lamanya. Aku ingin bertemu dengan bunda secepatnya.
Aku berusaha menelpon bunda, tapi bunda tidak menjawab teleponku. Apakah bunda juga marah kepadaku? Jika tidak, lantas kenapa bunda tidak menjawab saat ku telpon.
Pikiranku semakin kacau karena hal itu. Dadaku terasa sangat sesak hingga aku memukulnya beberapa kali agar bisa bernapas. Setelah sekian lama, akhirnya aku merasakan kesedihan yang teramat sangat. Hingga aku tidak bisa menghentikan tangisanku.
"Bunda, aku kangen bunda," lirihku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Masa Gitu [ Taegyu End ]
Hayran KurguKita hanya teman, hanya sebatas teman. Dan akan terus seperti itu. Apapun yang kita lakukan, aku akan menganggapnya sebagai hal yang wajar dilakukan oleh seorang teman. Perihal rasa, aku sendiri tidak paham seperti apa perasaanku padamu. Mungkin kam...