Bab 40 - Penyebab Sebenarnya

23.2K 1.2K 5
                                    

"Kau tidak tahu apa yang kaukatakan, Sashi! Dialah yang harusnya kau maki!" sentak Andrew dengan perasaan marah. Menunjuk ke arah Arkan yang sudah berdiri dengan Sashi yang menopangnya. Tentu saja, hal itu menambah kemarahan di wajahnya. Membuat Andrew diliputi rasa marah yang begitu kentara.

Kata-kata makian yang keluar dari mulut Sashi, benar-benar menyakiti perasaannya. Dia tidak menyangka, jika wanita itu bisa berubah begitu banyak. Andrew kecewa. Sashi benar-benar telah berubah.

"Apa yang tidak aku tahu? Jelas-jelas, kau yang memulainya. Kau pikir, aku buta?"

"Sashi, kita keluar saja." Arkan berusaha menarik tangan Sashi agar keluar dan tidak bertengkar dengan adiknya.

"Diam! Dia sudah melukai Kak Arkan! Kenapa masih membelanya?"

"Si berengsek itu yang memancingku! Sashi, apa kau tahu kalau suami sialanmu itu sudah membunuh orang? Kau tahu, huh? Tidak, 'kan?" sentak Andrew, menyela pembicaraan antara Arkan dan Sashi. Dia benar-benar sudah tidak tahan untuk mengatakan semua kebenarannya.

Sashi harus membenci Arkan. Sashi harus tahu kalau Arkan tidak sebaik yang dia pikir. Kakaknya seorang pembunuh. Arkan hanyalah si berengsek yang berusaha bersembunyi dari masa lalu menyedihkan. Pengecut. Tidak pernah sedikit pun menunjukkan rasa bersalah. Meminta maaf pun, tidak dilakukan.

"Apa? Pembunuh? Apa maksudmu?"

Melihat reaksi Sashi yang menunjukkan raut wajah penuh kebingungan, cukup menjelaskan bahwa Arkan sama sekali belum menjelaskan semuanya. Hingga senyum licik langsung tersungging di bibir Andrew. Biar dia yang memberitahu Sashi, apa yang sudah terjadi.

"Wanita yang kau tanyakan dalam foto itu, dia dibunuh oleh Si berengsek ini. Kiana mati karena suamimu, Sashi," ucap Andrew dengan menggebu-gebu.

Sayangnya, bukannya percaya dengan perkataan Andrew, Sashi malah menatapnya aneh. Tentu, karena dia tahu kalau Kiana masih hidup. Meski perkataan Andrew yang mengatakan seolah Arkan pernah berbuat jahat, begitu mengusiknya.

"Kau benar-benar bodoh."

Tanpa berkata-kata lagi, Sashi dengan segera menarik tangan Arkan untuk keluar dari ruangan. Meninggalkan Andrew yang mencoba menahannya dengan segala teriakan, makian dan sumpah serapah pada Arkan, namun sama sekali tidak ditanggapi serius oleh Sashi. Dia sudah terlanjur kesal atas sikap Andrew padanya.

Sashi membawa Arkan menuju ke arah kamar mereka sambil menggerutu. Menatap leher Arkan yang memerah dan luka robek di sudut bibirnya. Ada perasaan sedih dan tidak senang ketika dia melihatnya. Sampai tak terasa, mereka akhirnya sampai di kamar.

Dengan lembut dan hati-hati, Sashi mendudukkan Arkan di atas ranjang. Menatap suaminya sambil menghela napas kasar. Hingga berjalan ke arah sebuah lemari tempat kotak P3K berada. Lantas saja, Sashi dengan cepat mengambilnya. Dia berbalik dan berjalan menghampiri Arkan. Duduk di samping suaminya.

"Jangan pernah berkata kasar lagi."

"Apa?" Sashi yang sedang menyiapkan salep untuk Arkan, langsung terhenti ketika mendengar perkataan laki-laki itu. Dia menatap suaminya dengan penuh tanya.

"Jangan memaki. Aku tidak suka mendengarnya," balas Arkan sambil menyapu bibir Sashi dengan ibu jarinya.

Tampak Sashi meringis dan menundukkan kepala. Merasa bersalah atas sikapnya. Tapi, siapa yang tidak emosi melihat suaminya hampir mati terbunuh? Bukankah sikap adik iparnya benar-benar keterlaluan? Kenapa mereka terlihat seperti langit dan bumi?

"Maafkan aku, aku tidak akan mengulanginya lagi. Tapi, kenapa Kak Arkan bisa berkelahi dengan Andrew? Kenapa Kak Arkan juga tidak melawan? Bagaimana jika dia berhasil membunuhmu?"

Gemas. Tentu perasaan gemas yang dia rasakan pada Arkan. Apa kasih sayang karena rasa persaudaraan itu, dijunjung tinggi oleh Arkan? Sampai dia tidak mau membela diri? Tidakkah, Andrew pantas diberi sedikit pelajaran agar dia sadar?

"Ini salahku. Aku gagal Sashi. Aku gagal jadi seorang kakak yang baik. Bukan menjelaskan apa yang terjadi, aku malah membuatnya semakin runyam."

Arkan akui, dia terpancing emosi saat Andrew terus-menerus memojokkannya tadi. Membuat dia melontarkan perkataan yang memang tidak seharusnya dia ucapkan, sampai berhasil memancing emosi adiknya. Tapi, semua itu jelas membuat kepala Arkan berdenyut sakit. Dia tidak suka saat perasaan bersalah itu timbul kembali.

"Wanita itu, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Andrew bisa sangat membenci Kak Arkan dan mengira Kakak sudah membunuh seseorang?" tanya Sashi dengan tatapan menyelidik. Menatap Arkan begitu penasaran dengan kedua tangan yang sibuk mengompres luka tinjuan di bibir Arkan. Tak lupa, Sashi juga mengoleskan salep di leher Arkan yang memar.

Parah. Warna kemerahan bekas cekikan tangan Andrew terlihat di sana. Menjelaskan bertapa bernafsunya laki-laki itu untuk membunuh. Tapi, apa yang menjadi penyebabnya? Sashi rasa, ini bukan hanya sekadar pertengkaran antar adik-kakak biasa. Ada hal lain yang belum dia ketahui dari perseteruan keduanya.

"Aku tidak tahu," ucap Arkan sambil melarikan pandangan matanya dari Sashi.

"Jangan berusaha menyembunyikan apa pun dariku. Katakan apa yang terjadi?"

Sayangnya, Arkan terus bungkam. Tak mengeluarkan suara sedikit pun dan hanya menatap Sashi dengan pandangan bingung. Membuat kekesalannya memuncak, sampai tanpa basa-basi, Sashi menekan luka di bibir Arkan dengan kuat. Membuat laki-laki itu harus meringis kesakitan.

"S-Sashi, ini s-sakit. Harusnya yang kamu lakukan adalah menciumnya, bukan menekannya."

"Sudahlah, tidak perlu mengalihkan perhatian. Katakan, apa yang terjadi? Kenapa Andrew bersikap seperti itu?"

"Aku tidak yakin kamu mau mendengarnya." Arkan menatap Sashi sedikit ragu. Dia tidak yakin apa istrinya akan baik-baik saja setelah mendengar cerita ini.

"Katakan saja!"

"Apa aku pernah berkata kalau Kiana sakit?"

Sashi terdiam dan berusaha mengingat-ingat, sebelum dia kemudian mengangguk. Memorinya kembali teringat saat Kiana menelepon Arkan. "Ya, aku ingat."

"Sebenarnya, Kiana mengalami kecelakaan atau lebih tepatnya percobaan bunuh diri. Dia koma hampir dua tahun."

"Apa? Bunuh diri? Bagaimana bisa? Lalu, jangan-jangan ...."

Arkan mengangguk. Dia kemudian menjelaskan kembali kejadian di malam itu, saat untuk yang ke sekian kalinya, Kiana menyatakan perasaannya yang dia tolak berkali-kali. Kiana yang saat itu sudah cukup akrab dengan dia dan Andrew, menjadi begitu berani dekat dengannya.

Pada awalnya, Arkan tidak masalah. Karena kehadiran Kiana bisa dia manfaatkan untuk dekat kembali dengan adiknya. Andrew setidaknya tidak akan memperlihatkan sikap permusuhan saat Kiana ada. Sudah sangat jelas, karena adiknya menyukai teman sekolahnya itu.

Arkan sangat senang, dia berharap adiknya bisa berubah saat ada Kiana. Namun harapan tak sesuai dengan kenyataan, karena diam-diam dan tanpa sepengetahuan Andrew, Kiana sering menemuinya dan mengatakan suka. Tentu saja, Arkan menolaknya.

Kiana baginya hanya anak kecil yang belum dewasa. Dia yang saat itu sudah kuliah dan tinggal di apartemen, tentu tidak mau menganggap perkataan Kiana dengan serius. Sudah Arkan katakan sebelumnya, Kiana hanya dia anggap adik.

Sayang, batasan itu tak cukup membuat Kiana gentar dan malah semakin mengejarnya. Sampai adiknya tahu kebenaran yang terjadi, jika wanita yang dicintainya, mencinta kakaknya sendiri.

Kiana, yang entah kenapa malam itu tiba-tiba datang ke apartemennya dan meminta Arkan untuk menidurinya.

"Terus? Apa yang Kak Arkan lakukan malam itu? Apa yang terjadi selanjutnya?" Sashi menatap Arkan penasaran. Sedang Arkan hanya meliriknya sekilas.

"Aku ...."

Perfect Husband (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang