Tidak ada pilihan lain bagi Sashi untuk ikut serta dalam perjalanan menuju bandara. Dia, Arkan dan Andrew berniat menjemput Kiana bersama Devina. Tentu, sepanjang perjalanan Sashi tidak bisa berhenti merutuk. Dia tidak ingin ikut, tapi membayangkan apa yang akan terjadi pada Arkan, membuat Sashi terpaksa ikut serta.
"Aku sudah bilang, kamu harusnya tidak perlu ikut," ucap Arkan sambil menggeleng, ketika Sashi tak kunjung diam di kursinya. Ekspresi kesal tak pernah hilang dari wajahnya. Sashilah yang paling tidak tenang sedari tadi. Sangat berbeda dengan Andrew yang sedari hanya diam dan menatap keluar jendela. Tak menanggapi apa pun percakapan Arkan dan Sashi. Dia tampak acuh, tidak seperti biasanya yang sangat tempramen.
"Dan membiarkan dia melakukan sesuatu pada Kak Arkan? Tidak. Tidak akan."
Arkan hanya bisa menghela napas kasar dan menggeleng. Kecemburuan Sashi terhadap Kiana, sama sekali tidak ditutup-tutupi. Tapi Arkan tidak bisa melarang, dia juga bisa seperti itu saat Sashi dekat laki-laki lain. "Terserah apa katamu."
Keheningan kembali terjadi, dan Sashi tetap tidak bisa tenang. Dia terus menatap jalanan dan Arkan bergantian. Sampai tidak terasa, mobil yang ditumpanginya telah tiba. Arkan dengan segera memarkirkan mobilnya di area yang telah disediakan dan segera turun, diikuti oleh Sashi yang membantu Andrew untuk ikut turun menggunakan kursi roda.
Mereka berjalan masuk ke dalam dengan Arkan yang menghubungi Devina. Sebenarnya, sepupunya sudah mengirim pesan kalau dia bersama Kiana tiba setengah jam yang lalu, dan jelas Arkan telat menjemputnya. Semua itu karena dia dan Sashi sempat berdebat sebentar sebelum berangkat.
"Dev, kau di mana?" tanya Arkan sembari mengedarkan pandangannya ke segala arah, begitupun dengan Sashi. Mencari-cari sosok wanita yang mengganggu pikirannya selama ini. Ada banyak sekali orang-orang yang menjemput sanak-saudara mereka yang baru tiba. Membuat bandara terlihat ramai.
"Kami ada di sebelah barat."
Arkan langsung mengangguk dan berjalan ke arah barat dengan terus mengikuti instruksi Devina yang mengatakan letak keberadaan mereka. Sementara Sashi terpaksa mendorong Andrew dan mengikuti langkah Arkan dari belakang. Mereka cukup kesulitan, sampai suara panggilan terdengar memanggil nama Arkan.
"KAK ARKAN!!!"
Tubuh ketiganya langsung terdiam. Arkan menatap Kiana yang ada di depannya dengan tatapan lurus. Sedang Sashi dan Andrew begitu terkejut saat melihat dua wanita yang merupakan sepupu Arkan dan wanita yang mencintai suaminya mendekat.
Andrew terkejut karena tidak percaya, jika Kiana ternyata benar-benar masih hidup. Sementara Sashi tidak percaya, jika wanita itu akhirnya ada di depan mata. Wanita dengan senyum manis yang bisa membuat siapa pun menyukainya, tengah mendekat ke arahnya. Tepatnya, ke arah Arkan.
Kiana yang sama, dengan Kiana yang dia lihat di dalam foto. Hanya saja, wanita itu sudah lebih dewasa. Meski bibirnya tampak pucat. Kiana juga duduk di kursi roda sama seperti Andrew. Mungkin, wanita itu masih belum terlalu kuat untuk berdiri. Arkan sempat bilang, jika Kiana harusnya masih dirawat untuk pemulihan. Sekali lirik saja, dia sudah tahu kalau otot-otot tubuhnya tampak kaku.
"Dev, Kiana."
"Kak Arkan, aku merindukanmu."
Sashi harusnya sudah tahu ini akan terjadi. Harusnya, dia bisa menyiapkan diri dan mental. Tapi, tetap saja kecemburuan itu hadir begitu saja tanpa bisa dicegah. Hingga dia tanpa basa-basi, langsung berjalan mendekat dan merangkul lengan Arkan, sebelum wanita itu memeluk suaminya.
"Salam kenal, aku Sashi. Istri Kak Arkan. Kamu ... Kiana, 'kan?"
***
Tidak ada yang lebih menegangkan selain harus berhadapan dengan mantan dan masa lalu suamimu.
Tatapan mata Sashi begitu menusuk pada Kiana yang duduk bersama Andrew. Sementara dia berdampingan dengan Arkan. Devina? Dia sudah lebih dulu tertidur karena kelelahan. Tidak mau ikut terlibat bersama mereka.
Sashi bisa menduga, jika Kiana patah hati karena pengakuannya sebagai istri dari laki-laki yang Kiana cintai. Terlihat jelas dari wajahnya yang langsung murung dan terus menunduk. Berbeda seperti saat Kiana menyapa Arkan tadi. Keceriaan itu langsung menghilang.
"Kiana, aku tidak tahu kalau kamu masih hidup. Aku benar-benar senang," ucap Andrew pertama kalinya, setelah dari awal perjalanan hingga mereka kembali ke rumah terdiam bagai patung.
Andrew terus menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca. Seolah harapannya terkabul, dia tampak menggenggam erat Kiana tanpa mau dilepaskan sama sekali. Namun reaksi yang diperlihatkan Kiana, jauh berbeda. Wanita itu hanya menyunggingkan senyum tipis tanpa membalas perkataan Andrew. Tatapan kaget atau senang, tak juga diperlihatkan. Padahal Andrew adalah teman satu-satunya saat Kiana masih SMA.
Ini aneh.
Menurut Sashi, sikap Kiana sama sekali mencerminkan kalau wanita dan Andrew berteman. Malah hanya Andrew yang terlihat sangat menyukainya saja. Sedari tadi, tatapan Kiana terus tertuju pada Arkan. Meski Sashi berada di sebelah laki-laki itu.
"Kau bisa tinggal di sini satu malam. Besok, Mama dan Papa akan menjemputmu," ujar Arkan dengan tegas.
Setelah perbincangan yang cukup alot tadi malam, akhirnya Sashi mengizinkan Kiana beristirahat hanya satu malam. Setelah itu, Kiana harus segera angkat kaki atau Sashi yang akan pergi dari rumah. Arkan yang tidak punya pilihan lain, langsung menyetujuinya. Dia berniat membuat Kiana tinggal di rumah orang tuanya.
Arkan sempat membicarakan ini dengan mama dan papanya dan mereka setuju setelah mendengar semua alasan yang Arkan ungkapkan.
"Kenapa di rumah lain? Apa tidak bisa aku tinggal bersama Kak Arkan?"
Dasar gila!
Sashi spontan mengumpat dalam hati, setelah mendengar pertanyaan bernada polos Kiana. Membuat Sashi menatap Arkan dengan pandangan menolak, sampai laki-laki itu tampak gugup sendiri.
"Tidak bisa. Aku harus menghargai keberadaan istriku."
Kiana kembali memasang ekspresi sedih. Menatap ke arah Sashi dengan tatapan yang sulit diartikan. Sashi membalasnya dengan senyum ramah, meski sebenarnya dia sudah menahan diri untuk tidak bersikap kurang ajar.
"Kiana, dia tinggal bersamaku saja," sahut Andrew tiba-tiba. Membuat Arkan langsung menatapnya dengan tatapan menolak.
"Tidak. Lebih baik Kiana tinggal di bersama mama dan papa. Biarkan dia mendapatkan perawatan. Kamu sendiri, sedang sakit."
Namun ucapan Arkan, sama sekali tidak mau Andrew terima. Dia tetap ingin Kiana tinggal bersamanya. "Aku bisa merawatnya. Dia akan tinggal bersamaku."
"Jangan bodoh, Kiana baru saja bangun dari koma. Dia butuh orang yang bisa menjaga dan mengawasi."
Dan paling pasti, memastikan jika wanita itu tidak kabur lagi, sambung Arkan dalam hati.
"Baiklah, aku setuju dengan keputusan Kak Arkan. Tapi sekarang, apa Kak Arkan bisa mengantarku ke kamar? Aku lelah."
"Kak Arkan juga lelah, biar aku saja yang mengantarmu," sela Sashi saat Arkan akan bangkit dan menghampiri Kiana. Dia menahan laki-laki itu untuk tetap duduk.
Tanpa banyak bicara, dan sebelum Kiana sempat protes, Sashi dengan cepat mendorong kursi roda wanita itu ke sebuah kamar tamu. Letaknya bersebelahan dengan kamar Devina. Dekat dengan dapur dan pastinya ada sebuah tombol alarm yang bisa memanggil pelayan. Jika seandainya Kiana membutuhkan bantuan.
Sashi memasuki kamar tamu yang sudah dibersihkan dengan perasaan canggung. Tak ada percakapan apa pun, setelah dia membantu membaringkan Kiana ke atas ranjang. Mengambil selimut tebal dari dalam lemari dan menyelimuti seluruh tubuh wanita itu.
Kiana sendiri hanya diam dan memerhatikan Sashi yang tampak sedikit enggan membantunya. Sampai saat Sashi selesai membereskan semua barang-barang yang dibawa oleh para pelayan dan hendak pergi, Kiana tiba-tiba menahan tangan Sashi.
"Aku ... sangat mencintai suamimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband (TAMAT)
Storie d'amoreWarning 21 + (PROSES REVISI) Sashi harus menerima kenyataan pahit ketika tahu kalau calon suaminya pergi tepat saat mereka akan melangsungkan pernikahan. Dia yang tidak mau keluarganya menanggung malu, terpaksa menerima Arkan yang notabenenya adalah...