"A-apa? Apa katamu?"
Arkan spontan menjauhkan Sashi dari tubuhnya. Dia menatap wanita itu dengan tatapan terkejut. Kalimat terakhirnya membuat tubuh Arkan membeku. Telinganya tidak salah dengar, kan? Sashi mengatakan, kalau wanita itu mencintainya? Tapi, bagaimana bisa?
"Kak Arkan berhasil. Kak Arkan berhasil membuatku jatuh cinta. Jadi, tolong jangan tinggalkan aku. Jangan kembali pada wanita itu. Aku membutuhkan Kak Arkan," ucap Sashi dengan wajah yang tertunduk malu.
Pernyataan yang sebenarnya sangat memalukan untuk dia akui. Harga dirinya merasa jatuh. Sashi benar-benar mencintai laki-laki yang dari awal dia benci. Tapi, dibanding semua itu, dia lebih tidak bisa membiarkan Arkan meninggalkannya. Sashi membutuhkan sosok seperti Arkan yang selalu mengerti setiap keadaannya.
Sayangnya, semua ungkapan itu dianggap berbeda oleh Arkan. Dia menduga, jika Sashi hanya sedang panik dan takut kehilangan. Wanita itu juga belum menyadari perasaannya secara sadar.
Ya. Sashi pasti masih belum menyadari perkataannya. Wanita itu hanya merasa bersalah dan berkata tanpa pikir panjang. Arkan yakin itu. Pikiran Sashi sedang kacau. "Aku tahu kamu lelah. Istirahatlah, aku akan memberimu waktu tiga hari untuk memikirkan semuanya. Kamu harus memikirkannya dengan matang."
Tangan kekar Arkan mengelus lembut rambut Sashi. Membuat wanita itu mendongak dan menatap ke arahnya. Mata mereka saling bertatapan beberapa saat. Tapi sorot mata Sashi, terlihat penuh kesedihan. Ucapan Arkan melukainya.
Sementara Arkan dengan lekas memindahkan tubuh Sashi ke samping. Membaringkan tubuhnya di ranjang dengan posisi membelakangi wanita itu. Hari ini begitu melelahkan baginya. Hati dan pikirannya. Arkan tidak pernah tahu, jika efek yang Sashi berikan bisa sedahsyat ini. Cemburu itu sangat tidak enak. Sesak dan sakit.
Jika memikirkan Sashi akan meninggalkannya, jelas dia juga akan sedih. Tapi, wanita itu terkekang olehnya. Meski Arkan tidak pernah rela, dia tetap tidak bisa mengabaikan perasaan wanita itu. Mungkin karena sikapnya yang membosankan inilah, Arkan tidak bisa berdekatan dengan wanita. Kecuali Kiana, tentunya.
"Jangan tidur. Aku belum selesai bicara!" Sashi membalik tubuh Arkan agar menghadap ke arahnya. Matanya menyorot laki-laki itu dengan tatapan bercampur aduk, antara marah, sedih dan jengkel juga rasa bersalah. "Apa Kak Arkan tidak menganggap serius perkataanku?"
"S-Sashi, apa yang kamu l-lakukan? Menyingkir dari s-sana!" perintah Arkan saat Sashi duduk di atas tubuhnya. Dia kaget karena tindakan wanita itu. Apa Sashi tidak tahu, kalau tindakannya sangat berbahaya?
"Tidak, sebelum Kak Arkan mendengarkan penjelasanku. Aku tidak berbohong soal perkataanku tadi. Aku benar-benar menyukai Kak Arkan. Aku tidak butuh waktu tiga hari lagi untuk menyadarinya." Sashi menaikkan intonasinya dengan tangan yang mencengkeram dada Arkan kuat. Ingin sekali Sashi memukul laki-laki itu dan mengatakan, kalau ucapannya bukanlah main-main. "Jangan meninggalkanku. Aku tidak mau berpisah."
"K-kamu serius?" Arkan tergagap, menatap Sashi yang tampak berbeda dari biasanya, dengan penuh kebingungan.
"Apa wajahku terlihat bercanda?"
Spontan, Arkan langsung menggeleng. Bekas air mata masih tampak jelas di wajah Sashi. Tatapan wanita itu juga tidak berbohong. Tapi, apa ini memang bukan mimpi? Arkan hanya takut, jika mimpi ini akan lenyap saat dia terbangun. Meski dia tidak menampik, perasaan semacam euforia itu hadir saat mendengar Sashi mengungkapkan perasaannya.
"Bagaimana dengan Andrew? Kamu masih memikirkannya?"
Sashi menatap Arkan dengan pandangan redup. Menyunggingkan senyum sedih. "Tidak. Aku tidak memikirkannya. Tolong maafkan kejadian tadi, aku sama sekali tidak menyangka kalau Andrew bisa bertindak seperti itu. Kak Arkan salah paham."
Arkan langsung mengambil napas dan menghembusnya dengan pelan, saat merasa hatinya sedikit panas kembali. "Kamu tahu? Yang tadi ingin kulakukan adalah menyeretmu dan menghajarnya. Tidak ada seorang pun suami yang tahan, ketika melihat istrinya berciuman dengan pria lain, apalagi dia mantan sekaligus iparnya."
Deghh.
Wajah Sashi langsung memucat. Kepalanya semakin tertunduk. Rasa bersalahnya kian menjadi, saat ucapan Arkan begitu menohok jantungnya.
"Aku selalu marah dan kesal, saat melihatmu memikirkan adikku. Meski waktu itu aku tahu, aku hanyalah orang baru yang masuk di antara kalian. Semua itu harus kutahan, agar tidak menyakitimu. Aku menyayangimu. Tidak, aku juga mencintaimu Sashi. Dan karena itu aku memaafkanku, jadi jangan membahasnya lagi atau aku akan benar-benar sangat marah."
Sashi tidak berkata-kata. Dia terlalu menyadari kesalahannya selama ini. Kejujuran Arkan benar-benar menamparnya. Dia merasa sangat buruk sebagai seorang istri. Acuh tak acuh pada suaminya dan tidak berhenti memikirkan laki-laki lain. "Kenapa Kak Arkan tidak mengatakannya dari dulu? Kenapa harus sekarang? Apa Kak Arkan sengaja, agar aku semakin merasa bersalah?"
"Itu tidak benar. Sikapmu yang egois dan keras kepala, sudah menjelaskan kalau kamu tidak akan mau mendengar perkataanku. Satu-satunya pilihan, adalah aku yang harus memahamimu. Bahkan saat ini pun sama, kamu tidak mau menerima perkataanku."
Sashi terhenyak. Seratus persen, ucapan Arkan adalah benar. Dia egois dan keras kepala, karena itulah dia harus menyesal sekarang. Genggaman tangannya, tiba-tiba mengencang. Sashi tanpa sadar meremas dada bidang Arkan karena gugup. "A-aku, aku minta maaf. A-aku benar-benar m-minta maaf. Sepertinya, aku sangat menjengkelkan."
Sikap Sashi yang seperti kucing kecil tak berdaya, membuat Arkan tersenyum dan menahan tawa. Perkataannya jelas telah meluluhlantakkan ego Sashi ke titik paling rendah. Namun, dibanding semua itu, Arkan merasa lega. Dia merasa perasaan menyesakkan yang bersarang di dadanya sedikit berkurang.
"Ya, kamu sangat menjengkelkan. Bahkan saat kamu sama sekali tidak mau turun dan membuatku harus tersiksa," ucap Arkan sambil berdecak kesal. Arkan tentu sangat tersiksa saat Sashi masih duduk di atas tubuhnya dengan tangan meremas dadanya. Tak tahukah, jika tindakannya itu bisa memprovokasi Arkan untuk melakukan yang iya-iya?
"Maaf."
Sashi beranjak dari tubuh Arkan dan berbaring di samping laki-laki itu. Rasa malu, tentu sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Sashi hanya bisa menggigit bibirnya dan menatap Arkan dengan pandangan sendu. Jari-jemari lentiknya, tanpa diduga terjulur menyentuh leher Arkan dan turun menuju tulang selangka. Membuat Arkan sedikit tersentak dan spontan mencengkeram tangan Sashi.
"Sashi, apa yang kamu lakukan?"
Tidak langsung menjawab, Sashi malah tertunduk diam dan menatap Arkan dengan pipinya yang semakin merona. "Aku ... aku ingin. Aku ingin Kak Arkan menyentuhku. Miliki aku."
Sashi membawa tangan Arkan yang memegang tangannya dan meletakkannya di dada. Membiarkan laki-laki itu menyentuhnya. Sampai Arkan terkejut dan bisa merasakan detak jantung Sashi yang bergemuruh hebat.
"S-Sashi ...."
"Jadikan aku milikmu."
Sashi menurunkan telapak tangan Arkan dan menekannya sedikit, hingga suara lirih terdengar dari mulutnya. Malam ini, Sashi sudah memutuskan akan memberikan Arkan haknya. Tubuhnya. Menyerahkan sesuatu yang paling berharga untuk laki-laki itu.
Sementara Arkan hanya mampu menelan ludah berkali-kali. Ucapan wanita itu, benar-benar membuat tubuhnya panas. Mendidih, hingga telinganya ikut memerah. "Jangan bercanda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband (TAMAT)
RomanceWarning 21 + (PROSES REVISI) Sashi harus menerima kenyataan pahit ketika tahu kalau calon suaminya pergi tepat saat mereka akan melangsungkan pernikahan. Dia yang tidak mau keluarganya menanggung malu, terpaksa menerima Arkan yang notabenenya adalah...