Bab 64 - Obsesi

16.6K 846 11
                                    

Arkan berinisiatif memberikan kejutan untuk Sashi malam ini. Dia rasa, sudah lama mereka tak menghabiskan waktu bersama. Berbekal sebuket bunga dan boneka Teddy bear yang sempat dia beli tadi siang, Arkan tersenyum dan berjalan masuk ke dalam rumah. Hari ini, dia sengaja pulang terlambat. Menghiraukan pesan dan telepon dari Sashi yang terus-menerus menanyainya kapan pulang.

Jantungnya berdebar senang. Seperti saat pertama kali dia menatap wanita itu. Arkan tahu, kalau semakin hari dia semakin jatuh cinta pada Sashi. Dia ingin mengembalikan Sashi yang biasanya dan ingin melihat istrinya yang cerewet kembali.

Setelah sampai rumah, tepat saat Arkan hendak mengetuk pintu, pintu itu tiba-tiba terbuka dan mengagetkannya. Hingga memperlihatkan Sashi yang tengah berdiri dan menatapnya dengan ekspresi sedih. Tanpa basa-basi, wanita itu langsung memeluknya dengan sangat erat, sampai Arkan sedikit mundur ke belakang. Kedua tangannya yang memegang boneka dan juga bunga, sama sekali tidak bisa membalas pelukan Sashi.

"Kak Arkan, aku pikir Kakak pergi meninggalkanku. Kenapa pesan dan panggilanku tidak dijawab?" Sashi mendongak menatap Arkan dengan tatapan penuh kecemasan. Hatinya sudah ketar-ketir, takut jika laki-laki itu tidak akan pulang atau sudah mengetahui semuanya.

"Maaf, aku sangat sibuk. Sepertinya kamu sangat merindukanku," ucap Arkan sambil menyunggingkan senyum manisnya. Mendaratkan kecupan hangat di keningnya dan beralih menatap Sashi yang tampak enggan melepaskan diri. Wanita itu hanya menatapnya bingung. Sampai beralih pada kedua tangan Arkan yang membawa boneka dan juga bunga.

"Apa ... itu?"

Arkan mengikuti arah pandang Sashi dan tersenyum, "Untukmu. Maaf, aku tadinya ingin mengejutkanmu. Ambillah."

"Aku bukan anak kecil. Kenapa Kak Arkan memberiku boneka?" Sashi mendelik, namun tak ayal dia menerima bunga dan boneka pemberian suaminya. Apa ini yang menyebabkan Arkan telat pulang? Sashi pikir, laki-laki itu sudah mengetahui semuanya.

Arkan yang mendapat pertanyaan itu, hanya mengangkat bahunya acuh dan membawa Sashi berjalan masuk ke ruang tengah. Dia sendiri bingung, karena begitu melihatnya, dia langsung membelinya tanpa basa-basi. Anehnya lagi, saat sedang melihat-lihat boneka, Arkan tiba-tiba saja tertarik untuk melihat ke arah pakaian anak kecil. Bahkan hampir saja dia memborong beberapa baju di sana.

Keinginan itu begitu kuat, sampai Arkan kebingungan. Namun tentu saja, itu tidak dia turuti. Alhasil, Arkan hanya membeli boneka yang dia lihat pertama kali saat memikirkan hadiah untuk istrinya.

"Aku tidak tahu. Aku hanya ingin membelinya. Kalau tidak suka, biar aku yang menyimpannya."

Boneka besar pemberian Arkan itu, langsung Sashi peluk dengan erat seolah takut jika Arkan akan mengambilnya kembali. Menatap tajam Arkan seperti memperingati. "Apa yang sudah diberikan, tidak boleh diambil lagi."

"Aku tidak akan mengambilnya. Semua ini milikmu. Katakan, apa ada yang kamu inginkan lagi saat ini?" Arkan mengusap kepala Sashi dan tersenyum lembut.

Namun pertanyaan Arkan, sedikit membuat Sashi terdiam sambil memeluk boneka cokelat tersebut. Matanya terlihat berbinar. Jika Arkan bertanya seperti itu, tentu ada banyak sekali yang Sashi inginkan. Salah satunya, menghabiskan waktu bersama dan melupakan apa yang terjadi belakangan ini. Tapi, memikirkan kejadian beberapa waktu lalu, membuat Sashi kembali ketakutan. Binar matanya kembali redup. "Tidak ada."

"Tidak ada? Kamu yakin? Katakan saja, aku akan melakukannya kalau aku bisa. Apa pun yang kamu inginkan," balas Arkan dengan serius. Setidaknya, dia ingin melihat Sashi bersikap seperti dulu, tidak banyak melamun atau diam seperti ini. Tentu saja, hal ini membuatnya merasa, kalau Arkan tak cukup mampu membuat istrinya bahagia.

Terdapat keraguan di mata Sashi dan Arkan langsung meyakinkannya untuk bicara. Sampai akhirnya, Sashi menjawab dengan ragu, "Hmm, aku hanya ingin meminta, Kak Arkan tidak akan pernah meninggalkanku, apa pun yang terjadi. Dan aku ingin, Kak Arkan percaya padaku lebih dari siapa pun."

Sayangnya, setelah perkataan itu keluar dari mulut Sashi, Arkan hanya bisa terkekeh. Padahal dia pikir, Sashi ingin meminta mobil, rumah atau perhiasan. "Itu bukan permintaan. Tanpa kamu minta pun, aku tidak akan pernah meninggalkanmu dan aku sangat mempercayaimu."

"Apa aku bisa pegang kata-kata Kak Arkan?"

Arkan sedikit aneh mendengar pertanyaan dan tatapan muram Sashi, hingga akhirnya dia langsung menarik tangan istrinya dan meletakkannya di dada. "Ya, aku janji. Aku akan selalu percaya dan tidak akan pernah meninggalkanmu."

Beban di pundak Sashi, terasa berkurang setelah mendengar kata-kata Arkan. Selama ini, laki-laki itu tidak pernah mengingkari perkataannya dan semoga, apa yang dikatakannya saat ini, juga begitu.

Segera saja, Sashi memeluk erat tubuh Arkan dan membisikkan kata terima kasih.

***

Di lain sisi, terlihat sepasang kekasih yang tengah terdiam di atas ranjang. Keduanya sama sekali tidak mengenakan pakaian apa pun. Hanya selimut yang tampak membungkus sebagian tubuh mereka. Keringat dan ekspresi kelelahan masih terlihat di sana. Sang wanita hanya bisa bersandar di bahu bidang laki-lakinya. Menatap ponsel yang menampilkan sebuah foto.

"Kia, apa tidak sebaiknya kita hentikan saja semua ini?" ucap sang laki-laki, tiba-tiba. Perkataannya, jelas membuat wanita di sampingnya menoleh sepenuhnya.

"Tidak bisa. Bukankah kita sudah sepakat? Apa kau berubah pikiran?"

Untuk beberapa saat, laki-laki itu tidak menjawab dan hanya mengelus rambut wanitanya. Sampai akhirnya, wanita itu kembali menatap dan mendaratkan sebuah ciuman. Menatapnya dengan penuh harap saat melihat keraguan di sana. "Andrew, kau mencintaiku,'kan? Aku hanya ingin memberi balasan karena dia berani mengancamku."

Andrew tidak menjawab. Dia lagi-lagi terdiam dan menatap Kiana dengan pandangan yang sulit diartikan. Sampai akhirnya, Andrew mengangguk. "Ya, aku percaya mencintaimu. Baiklah, aku akan menurutimu. Aku harap, kamu tidak mengingkari janjimu. Setelah ini, kita akan hidup berdua bersama calon anak kita."

Diusapnya lembut perut telanjang Kiana. Dia mengharapkan, wanitanya segera hamil meski mereka baru melakukannya beberapa kali. Andrew begitu ingin mengikat Kiana. Sementara Kiana hanya tersenyum dan beranjak turun dari ranjang. Berjalan ke arah kamar mandi tanpa bantuan kursi rodanya. Kakinya sudah kembali normal, meski di depan semua orang, dia masih bersikap seperti orang yang masih sakit.

Di dalam kamar mandi, Kiana merebahkan dirinya di dalam bathtub yang sudah diisi oleh air hangat. Membasuh tubuhnya dengan kasar. Menghapus bekas cumbuan Andrew di tubuhnya. Kiana merasa jijik. Dia benar-benar masih merasa tidak nyaman saat berhubungan badan dengan seorang.

Bayangan pelecehan yang dialaminya dulu, masih membekas. Kiana tidak bisa lupa saat mulut menjijikkan pria hidung belang yang dibawa ibunya, mencium dan memaksa Kiana melayaninya. Dia takut. Terlebih saat ibunya malah memukul dan menyumpahinya dengan kata-kata kasar karena menganggap, Kiana menggoda pelanggannya. Dan tentu, dia tidak akan pernah bisa melupakan hal itu.

Tubuhnya kembali merinding. Cemoohan dan hinaan orang-orang karena menyebutnya anak dari wanita penghibur, juga tidak pernah bisa dia lupakan sampai sekarang. Semua itu bagai kenangan buruk yang terus berulang. Hidupnya benar-benar suram. Kiana jelas tidak mau kehidupan buruk itu kembali padanya sekarang. Meski saat ini, dia sangat amat bersyukur, karena ibunya sudah mati. Pembawa bencana terbesar dalam hidupnya sudah tidak ada.

Tawa kecil terdengar dari mulut. Akhirnya, Kiana berhasil menyingkirkan masalah di kehidupan masa lalunya. Dan kini, dia harus membuktikan pada semua orang, jika dia memiliki hidup yang sempurna. Kesempatan kedua di mana dia tidak akan lagi dihina dan diinjak-injak seperti dulu. Mendapatkan kasih sayang dari orang yang dia cintai. Dan orang yang bisa melakukannya adalah Arkan bukan Andrew.

Arkan adalah pangerannya sementara Andrew hanyalah pijakan untuk meraih apa yang dia mau.

Perfect Husband (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang