"Apa yang sedang kaupikirkan? Kenapa melamun?" tanya salah seorang rekan kerja Sashi.
Saat ini, keduanya tengah berada di kantin. Mereka sedang makan bersama. Sashi sudah mulai bekerja lagi. Tak ada pilihan lain, toh dia juga enggan terus berada di rumah. Meski tadi pagi, dia harus berdebat terlebih dahulu dengan Arkan. Tapi, Sashi bersikeras untuk berangkat.
Tindakannya bukan tanpa alasan. Sashi merasa, di tempat kerja pikirannya menjadi lebih terbuka. Masalah, tidak terus berputar di kepalanya. Walaupun, kini dia harus menghadapi berbagai macam pertanyaan tentang pernikahannya, dari teman-teman satu kantor.
Mereka yang hadir dalam pernikahan Sashi, begitu keheranan ketika melihat pengantin prianya, bukan orang yang mereka kenal. Tentu saja, hal itu menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Melihat betapa lengketnya Sashi dan Andrew. Namun wanita itu malah menikah dengan pria lain. Seperti apa yang ada dalam benak Kinar saat ini.
"Apa ini masalah suamimu itu? Aku rasa, harusnya kau--"
"Tidak, bukan itu. Aku hanya sedang tidak enak badan," jawab Sashi dengan lesu.
"Tidak enak badan? Apa mungkin, kau hamil? Apa suamimu sudah mengetahuinya? Kenapa kau malah bekerja?"
Sashi melirik malas ke arah sahabatnya. Dia bisa menangkap sorot penuh rasa penasaran di sana. Kinar adalah teman yang cukup dekat dengannya di kantor. Beberapa kali mereka pernah jalan-jalan bersama. Namun tentu, ada sekat tak kasat mata yang membentengi keduanya. Sashi, bukan termasuk orang yang terbuka pada orang lain. Dia membatasi dirinya.
"Tidak. Aku tidak hamil. Aku hanya kurang tidur," decak Sashi kesal.
'Kurang tidur karena terus memikirkan Andrew,' lanjutnya dalam hati.
Lagipula, mustahil jika Sashi bisa hamil. Dia dan Arkan, tidak pernah melakukan hubungan suami-istri. Hubungan mereka pun, tak bisa dikatakan benar-benar dekat. Terlebih, semenjak kemarin. Sashi kembali menjadi ragu. Dia tidak bisa mengelak, jika ada secercah rasa khawatir akan kondisi Andrew.
"Melamun lagi. Apa hobimu sekarang adalah melamun? Kau banyak berubah semenjak kau menikah. Jangan katakan, kalau suamimu selalu bertindak kasar? Kau seperti tidak bahagia, Sashi," ucap Kinar. Dia tidak tahu menahu soal alasan kenapa temannya bisa berubah dan kenapa Andrew bukanlah suami dari Sashi. Dia hanya bisa menahan mulutnya, dan menunggu Sashi mengatakannya sendiri.
Sashi tersentak dan menoleh ke arah teman kerjanya. Dia mendesah frustrasi. Saking putus asanya, dia sampai tidak memedulikan Arkan. Bodoh. "Tidak. Dia sangat baik, tapi ...."
"Kau tidak mencintainya?"
Pertanyaan bernada ragu itu, membuat Sashi menatap lekat temannya. Sorot matanya tampak bingung. Permasalahan rumah tangganya, benar-benar membuat kepala Sashi penat. Dia sampai tidak tahu, harus merespon dengan cara seperti apa.
"Oh, astaga! Kau benar-benar gila, Sashi!"
"Sudahlah, tidak usah berlebihan. Suaramu membuat kepalaku tambah pusing," ucap Sashi sambil beranjak dari duduknya. Dia meninggalkan teman kerjanya di sana. Tak peduli, jika teriakan Kinar terdengar membahana, memanggil namanya.
Langkah kakinya, menuntun Sashi berjalan menuju klinik perusahaan. Sepertinya, dia perlu memeriksa kesehatan. Kepalanya juga terasa sedikit pusing, berputar cepat sampai pandangannya sedikit kabur. Namun tak disangka, dari ujung lorong terlihat seorang laki-laki berpakaian rapi berjalan ke arahnya. Membuat mata Sashi, langsung membulat begitu menyadari, jika orang itu adalah Arkan.
Sashi berniat membalik tubuhnya dan berjalan kembali ke ruangan. Menggerutu dalam hati, saat mendapati Arkan berkeliaran di kantornya.
Sayangnya, Arkan yang sudah melihat Sashi, segera mengejarnya. Dia meraih tangan wanita itu dan menariknya cukup kuat. Membuat Sashi harus menabrak tubuh bidangnya.
"Kak Arkan!" Sashi menatap Arkan dengan sorot kekesalan. Giginya saling bergemeletuk. Makian, hampir saja keluar dari bibirnya. Tapi, rasa pusing membuat Sashi tidak bisa mengatakan apa-apa.
"Kenapa kamu lari?"
"Kenapa Kak Arkan ada di sini?"
Sashi mengabaikan pertanyaan Arkan. Dia lebih fokus pada kemunculan laki-laki itu, yang terlalu tiba-tiba. Apalagi, saat Arkan dengan seenaknya menarik dia mendekat. Membuat Sashi harus melirik ke sekeliling, jika seandainya ada orang yang melihat mereka.
"Kamu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Tentu saja, aku datang untuk menjemputmu."
"Apa? Kenapa?"
"Nanti aku jelaskan," jawab Arkan singkat. Dia dengan segera menarik tangan Sashi.
"Kak Arkan, tunggu ...."
Sashi mengeratkan pegangan tangannya, saat dirasa kepalanya semakin berdenyut sakit. Dia mendesis kecil, sampai Arkan kemudian terhenti dan menyadari sesuatu.
Tampak, Arkan sangat kaget begitu menyadari wajah Sashi yang pucat. "Apa yang terjadi? Kamu sakit?"
"Aku ...."
Sebelum sempat menjawab, tubuh Sashi tiba-tiba luruh dan hampir terjatuh menyentuh lantai, sebelum Arkan langsung meraih tubuh istrinya. "SASHI"
***
Di sebuah kamar rawat, tampak seorang wanita tengah berbaring. Seluruh keluarga terlihat mengelilingi ranjang rumah sakit dengan perasaan cemas. Mereka begitu khawatir saat Arkan mengabarkan kalau Sashi jatuh pingsan. Baik kedua orang tua Sashi dan Arkan, buru-buru datang ke rumah Arkan tepat setelah mereka mendengar berita tersebut.
Acara yang nanti malam akan diselenggarakan untuk menyambut Arkan dan Sashi, sepertinya harus batal. Mereka jelas tidak mungkin membiarkan Sashi yang sedang tidak sehat, hadir.
"Eengghh ...." Sashi melenguh. Matanya yang terpejam, perlahan mulai terbuka. Menyesuaikan pandangan matanya. Sampai dia mendapati kehadiran banyak orang di sekitarnya.
"Sashi, kamu bangun? Katakan, apa kepalamu masih pusing?" tanya Arkan, begitu Sashi terbangun. Dia yang sejak tadi duduk di samping Sashi dan tak berhenti mengelus keningnya lembut, tampak sedikit lega ketika melihat Sashi tersadar. Meski tetap, rasa cemasnya masih sangat tercetak jelas di wajah. Sashi yang pingsan, tentu sangat membuat Arkan khawatir. Sampai dia kalut dan langsung menghubungi orang tuanya.
"Sshhh, tidak. A-aku tidak a-apa-apa."
"Minumlah." Dengan cekatan, Arkan mengambil segelas air putih, ketika melihat Sashi memegang tenggorokannya. Tanda jika dia kehausan. Sashi tak menolak. Dia dengan cepat meminum air pemberian Arkan dan menyimpannya kembali.
"Mama, Papa? Kenapa kalian ada di sini?" Mata Sashi menatap orang tua dan mertuanya. Dia sedikit heran ketika melihat mereka ada di sana. Apalagi, saat menyadari jika dirinya kini ada di rumah sakit.
"Arkan yang menghubungi kami. Dia sangat panik tadi," papar Ayah Arkan sambil tersenyum kecil.
Arkan langsung malu bukan main. Tadi, dia bahkan tak sempat berpikir apa-apa. Sampai Arkan buru-buru membawa Sashi ke rumah sakit, tanpa pikir panjang. Tidak ada yang tahu, betapa kalutnya Arkan dan jika kembali diceritakan, maka itu sedikit memalukan untuknya. "Tidak ada suami yang tidak khawatir, saat istrinya tiba-tiba pingsan."
Para orang tua saling menatap, begitu mendengar perkataan Arkan. Begitu juga dengan Sashi yang kita menatap Arkan, dengan wajah malu. Hingga beberapa saat kemudian, mama dan mama mertuanya berjalan menghampirinya.
"Kami sangat khawatir padamu, Sayang. Kenapa kamu tidak bercerita, kalau kamu sedang hamil?" ucap Desty, sambil menatap sayang ke arah putri semata wayangnya. Ada sorot kegembiraan terlihat di wajahnya. Memangkas habis, rasa cemas dan khawatir yang sempat dirasakannya.
"Apa? Maksud, Mama?"
Sashi mengernyitkan dahi, ketika mendengar kata 'hamil' yang keluar dari mulut mamanya. Tidak tidak salah dengar, bukan? Pandangannya kemudian beralih menatap Arkan dengan penuh tanya. Membuat laki-laki itu hanya bisa memalingkan muka.
"Maaf sebelumnya, apa Arkan bisa bicara dengan Sashi berdua?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband (TAMAT)
Roman d'amourWarning 21 + (PROSES REVISI) Sashi harus menerima kenyataan pahit ketika tahu kalau calon suaminya pergi tepat saat mereka akan melangsungkan pernikahan. Dia yang tidak mau keluarganya menanggung malu, terpaksa menerima Arkan yang notabenenya adalah...