Sashi terdiam menatap perutnya yang tampak sedikit membesar. Dia baru menyadari itu sekarang. Pantas saja Arkan menyebutnya lebih berisi. Dia memang cukup berisi karena sedang mengandung. Anaknya dengan Arkan. Sashi spontan tersenyum saat mengingat kembali kenangannya dulu. Mengingat betapa dia begitu anti berdekatan dengan Arkan, di awal pernikahan mereka. Meski sebenarnya, bukan perasaan benci yang sangat besar untuk suaminya.
Ya, Sashi memang sempat membenci, tapi di sisi lain dia juga kurang nyaman. Arkan asing baginya, laki-laki itu juga aneh dan dia sedikit malu. Entah apa yang bisa menggambarkan situasi dan perasaannya waktu itu. Semuanya tidak bisa dikenali. Tapi kini, Sashi bisa mengenali semuanya. Perasaan rindu, sayang dan kehilangan juga rasa sedih. Rasa marah, saat dirinya benar-benar sangat mencintai Arkan, meski laki-laki itu sudah meninggalkannya.
Sashi menghela napas sambil mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada siapa pun yang menemaninya. Papanya berangkat kerja, sementara mamanya sedang sarapan di kantin. Sashilah yang menyuruhnya, dia tidak tega melihat mamanya yang mengabaikan rasa lapar dan memilih menemaninya. Namun tentunya, tiga orang laki-laki yang berjaga di depan pintu, masih ada. Dokter pun, sesekali datang dan melihatnya.
Katanya, jika memungkinkan, besok dia sudah bisa pulang. Hanya saja, Sashi harus lebih memerhatikan pola makannya dan jangan terlalu stress, karena kandungannya cukup lemah. Dokter mengatakan, dugaan sementara anaknya kembar. Tapi, hal itu masih belum diketahui secara pasti karena kehamilannya masih sekitar lima sampai enam minggu. Harus kembali dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk beberapa minggu ke depan. Namun bagi Sashi, apa pun itu, asal anaknya sehat, Sashi sudah sangat senang.
Dengan hati-hati, tangannya mengusap perutnya yang sedikit membesar itu dengan lembut. Berharap jika anaknya akan sehat. Sampai di tengah situasi tenang tersebut, terdengar suara keributan di luar. Suara seorang wanita yang meminta masuk namun sepertinya dihalangi oleh tiga orang yang berjaga.
"Biarkan aku melihatnya! Aku ingin melihat temanku! Minggir kalian!"
"Tidak. Anda tidak bisa masuk, Tuan tidak mengizinkannya," balas seseorang. Hingga perdebatan itu kembali terdengar.
Sashi tidak bisa mengetahui dan melihat dengan jelas apa yang tengah terjadi di sana. Dia hanya bisa menatap pintu kamar yang tertutup dan beberapa kali seperti dipaksa untuk terbuka. Sampai akhirnya, pintu tersebut benar-benar terbuka. Menampilkan orang yang membawa masalah dalam hidupnya. Siapa lagi kalau bukan, Kiana?
"Kau, aku ingin bicara denganmu. Biarkan aku masuk dan perintahkan anak buahmu untuk melepaskanku!" ucap Kiana begitu matanya bertatapan dengan Sashi. Kedua tangannya masih dipegang kuat oleh orang-orang yang menjaga Sashi di luar ruangan.
Sementara Sashi hanya memutar bola matanya, dia masih sangat kesal dengan sikap Kiana yang menjebaknya. Dan dengan tak tahu dirinya, wanita itu meminta bertemu? "Mereka bukan anak buahku. Dan lebih baik kau pergi, aku tidak mau diganggu."
Wajah Kiana tampak memerah, mendengar jawaban santai dari Sashi. Namun sedetik kemudian, bibirnya malah tersenyum tenang. "Aku ingin bicara denganmu tentang Kak Arkan."Hanya dengan satu nama itu, tubuh Sashi langsung membeku. Menoleh dan menatap Kiana dengan sorot penuh rasa penasaran. Terpancing oleh perkataan wanita itu, hingga Kiana tersenyum kembali. Kali ini, bukan senyum tenang melainkan senyum culas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband (TAMAT)
RomanceWarning 21 + (PROSES REVISI) Sashi harus menerima kenyataan pahit ketika tahu kalau calon suaminya pergi tepat saat mereka akan melangsungkan pernikahan. Dia yang tidak mau keluarganya menanggung malu, terpaksa menerima Arkan yang notabenenya adalah...