Sinar matahari, menembus jendela kamar. Membangunkan Arkan yang kini tengah asyik tertidur. Matanya berkedip perlahan. Sampai akhirnya terbuka. Rasa pusing, kini begitu menyiksanya. Efek alkohol yang dia minum semalam, kini terasa.
Arkan terlalu banyak minum alkohol. Itu adalah satu kesalahannya. Dia memang tahan dan bisa dibilang cukup sering minum. Tapi, efek yang ditimbulkannya akan terasa pada pagi harinya. Kepalanya berdenyut sakit.
Sesekali, Arkan harus meringis dan berusaha memfokuskan perhatiannya. Terbangun untuk mengumpulkan nyawa. Hingga kemudian, dia mengambil air minum di meja nakas dan langsung menenggaknya.
Arkan mendesah lega ketika rasa pusingnya, sedikit berkurang. Dia melirik ke arah Sashi yang kini tampak tengah terlelap. Tersenyum simpul ketika teringat kejadian semalam. Mereka kembali berciuman, dan dia sangat senang. Walaupun Arkan belum sampai pada tahap melakukan lebih dari itu.
Suatu peningkatan besar untuk mereka. Sashi, sedikit demi sedikit mulai terbuka padanya. Meski kini, sepertinya Arkan harus siap menghadapi sesuatu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Arkan tidak bisa melepaskan sesuatu yang telah menjadi miliknya. Kembali, Arkan menatap lekat wanitanya, istrinya.
Arkan mengamati wajah Sashi sesaat, sebelum akhirnya dia mengusap lembut wajah cantik itu. Sashi sedikit terusik, dia tampak tak nyaman dengan tindakan Arkan. Namun matanya, tetap tidak mau terbuka. Hal itu, jelas membuat keusilan Arkan semakin menjadi.
Ditiupnya wajah Sashi, hingga udara hangat menerpa permukaan wajahnya. Sashi mengerang. Dia sedikit menggeser posisinya. Decakan kesal, terdengar dari mulutnya. Tapi hal tersebut, malah membuat Arkan tertawa senang.
"KAK ARKAN!" jerit Sashi, yang akhirnya membuka mata. Tatapannya langsung menyorot tajam ke arah Arkan.
"Ayo bangun, jangan malas."
Namun bukannya merasa bersalah, Arkan malah menanggapi kekesalan Sashi dengan senyuman, yang terasa begitu menyebalkan untuk Sashi. Hingga sebuah bantal, harus mendarat mulus di wajah Arkan.
Sashi tidak mau menuruti perintah laki-laki itu. Dia kembali memejamkan matanya sembari berbalik memunggungi Arkan.
Sayangnya, sikap Sashi tak membuat Arkan mau menyerah. Dia memeluk pinggang Sashi dengan erat. Menyusupkan kepalanya di ceruk leher Sashi, sampai wanita itu sedikit tersentak. Suara gigi saling bergemeletuk, terdengar dari mulut Sashi. Dia matanya mendelik kesal.
"Lepas! Apa yang Kak Arkan mau!"
"Kamu. Aku ingin kamu, Sashi," ucap Arkan sambil mengecup pelan cuping telinga istrinya.
Tubuh Sashi langsung menegang seketika, saat mendengar perkataan Arkan. Ini seperti sebuah ultimatum untuknya, yang tentu membuat Sashi sedikit takut. Arkan mulai menginginkannya, sementara dia masih belum siap. Sashi belum merasakan sampai ke tahap, dia menginginkan Arkan. Meski itu memang sudah menjadi kewajibannya.
Alhasil, Sashi hanya bisa tercenung ketika Arkan mengusap lembut punggungnya. Menurunkan sedikit lengan bajunya dan mulai menciumi tubuh Sashi yang terbuka. Tubuh Sashi mulai merinding. Lambat laun, dia mulai terbuai. Namun sebelum sempat Arkan melakukan sesuatu yang lebih jauh, suara dering ponselnya terdengar berbunyi.
"Ada telepon. Hentikan Kak Arkan," ucap Sashi sembari mendorong Arkan cukup keras.
Sashi buru-buru memanfaatkan situasi dan bangkit dari ranjang, sebelum Arkan kembali menahannya. Dia menjawab panggilan itu sedikit menjauh. Melirik sekilas ke arah Arkan, yang kini memasang wajah kesal. Sashi tak menghiraukannya. Dia malah memutar bola matanya malas dan kembali fokus pada seseorang di seberang telepon.
"Siapa ini?" tanya Sashi, memulai percakapan saat dirasa, seseorang di ujung sana tak juga bersuara.
"Sashi, ini aku ...."
***
Sepanjang perjalanan pulang, wajah Sashi begitu tegang. Dia menatap jalanan tanpa tersenyum sedikit pun. Wajahnya begitu datar sekaligus memancarkan emosi. Kemarahan, kebencian dan sakit hati. Tangan Sashi mengepal, dia tidak bisa menerima kenyataan yang diketahuinya saat ini.
"Sashi, kamu baik-baik saja?"
Pertanyaan, yang jawabannya jelas berlawanan. Sekali melihat saja, orang sudah paham, jika Sashi sama sekali tidak baik-baik saja. Hingga Arkan--yang saat ini sedang mengemudi--harus menjadi sasaran empuk kemarahan Sashi.
Mata Sashi, melotot tajam pada Arkan. Memperingati lewat tatapan matanya, jika dia sedang tidak ingin diganggu. Meski Sashi tidak pernah tahu, kalau Arkan saat ini begitu mengkhawatirkannya. Kecemasan begitu terlihat jelas.
Arkan tidak pernah menyangka, jika adiknya menghubungi Sashi kembali. Semalam dan pagi ini. Senang? Entahlah, di sisi lain Arkan senang saat adiknya kembali, tapi di sisi lain, dia merasa ada sesuatu yang tak nyaman. Semacam, sebuah kekhawatiran.
"Kak Arkan, apa tidak bisa lebih cepat?" desak Sashi sambil menghela napas kesal. Dia mengurut pelipisnya karena merasa, perjalanan ini begitu panjang.
Kini, dia dan Arkan harus pulang lebih awal, dari hari yang harusnya ditetapkan. Ada sekitar lima hari lagi untuk mereka menghabiskan waktu bersama, tapi rencana tinggallah rencana. Keadaan, memaksa mereka harus pulang. Dan ini semua, karena Andrew. Laki-laki yang beberapa minggu lalu meninggalkan Sashi di pelaminan, menghubunginya kembali.
Andrew menghubunginya tadi pagi atau mungkin tadi malam juga.
Sashi tidak mengerti, apa yang sebenarnya dipikirkan mantan kekasihnya itu. Dia tak habis pikir. Kepalanya mendadak berat. Otaknya juga seketika berubah tumpul. Perasaan sayang dan cinta, kini saling berperang. Sashi kembali merasakan dilema.
Mengesalkan. Semua ini sangat mengganggunya. Meski dari awal, Sashi memang ingin bertemu dengan Andrew. Dia ingin tahu apa yang menyebabkan laki-laki itu pergi meninggalkannya. Namun, begitu mendengar suara bernada lirih milik Andrew, Sashi malah kembali lemah.
"Kau masih belum melupakannya," ucap Arkan sambil tersenyum kecut.
Entah kenapa, Arkan merasakan hatinya sedikit berdenyut sakit. Dia gelisah, ketika Sashi tampak begitu memikirkan adiknya. Ada sesuatu yang asing, merayap dan mengganggu perasaannya. Dan Arkan tidak suka perasaan itu.
Arkan menatap tangan Sashi, sampai kemudian dia meraih dan menggenggamnya, dengan sebelah tangan. Tangan satunya, Arkan fokuskan untuk mengemudi. Tatapan matanya menatap lurus ke depan. Ada kegetiran di sana.
Lain halnya dengan Arkan, Sashi justru merasakan suatu kehangatan lewat genggaman tangan laki-laki itu. Perasaan cemasnya, sedikit berkurang dan dia bisa lebih tenang. Sashi tidak tahu kenapa bisa seperti ini, tapi genggaman tangan Arkan seolah memberikan ketenangan untuknya. Membuat dia mengambil napas dan menghembuskannya secara pelan.
"Kamu yakin, Andrew ada di rumah sakit?" tanya Arkan. Dia merasa ragu, ketika mendengar informasi dari Sashi, jika Andrew ada di rumah sakit. Apa yang terjadi pada adiknya?
"Iya, Kak. Dia sendiri yang mengatakannya," jawab Sashi dengan sedikit kaku dan pelan. Lidahnya terasa kelu saat harus menyebut nama mantannya itu.
"Dia sakit?"
Sashi menggeleng lemah. Andrew tak menceritakan apa pun padanya, selain keberadaannya. Laki-laki itu, menyuruh Sashi untuk pergi menemuinya. Namun jelas, Sashi tidak bisa meninggalkan Arkan sendiri. Meski dia tadi sempat berniat untuk membohongi suaminya. Sayang, Arkan terlalu cerdik untuk ditipu.
Mau tak mau, akhirnya Sashi terpaksa membeberkan apa yang Andrew katakan. Tanpa satu pun hal yang dia sembunyikan.
"Kuharap, dia baik-baik saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband (TAMAT)
RomanceWarning 21 + (PROSES REVISI) Sashi harus menerima kenyataan pahit ketika tahu kalau calon suaminya pergi tepat saat mereka akan melangsungkan pernikahan. Dia yang tidak mau keluarganya menanggung malu, terpaksa menerima Arkan yang notabenenya adalah...