“Kamu menyukainya?” tanya Arkan, berbisik pelan di telinga Sashi.
Arkan membawa barang-barang Sashi di kedua tangannya. Sesuai perkataannya kemarin, dia menjemput istrinya untuk tinggal di rumah, yang kini menjadi milik mereka. Sayangnya, Arkan baru bisa mendatangi rumah Sashi saat pekerjaannya telah selesai, di sore hari.
Beruntung, baik Sashi maupun mertuanya memahami Arkan. Meski sudah dapat dipastikan, Sashi memang enggan untuk tinggal bersama dengannya. Semua itu terlihat jelas saat terjadi drama di antara mereka.
“Ini rumah Kakak?” Sashi mengerutkan keningnya saat matanya menjelajahi rumah besar tersebut. Membuatnya menggeleng tak percaya.
“Maaf, jika rumahnya kecil. Aku harap, kamu bisa betah di sini.”
Ucapan bernada merendah, membuat Sashi mendelik ke arah Arkan. Matanya menyipit curiga. Rendah hati? Tidak. Sashi tidak akan terpengaruh oleh kata-kata itu. Dia jelas belum bisa menebak seperti apa Arkan yang sebenarnya. Membuat Sashi lebih menghiraukan perkataan Arkan dan masuk ke dalam rumah.
Kakinya terus berjalan dengan pandangan yang tak berhenti mengamati sekitar. Dia takjub bukan main. Rumah ini sama sekali tidak bisa dikatakan kecil. Ada begitu banyak barang mewah dengan seni arsitektur klasik. Kepala Sashi hanya bisa menggeleng. Sebenarnya, apa pekerjaan Arkan sampai dia bisa membeli rumah semewah dan semegah ini?
“Kak, apa pekerjaanmu?” tanya Sashi, dia membalikkan badannya dan menatap Arkan dengan tatapan penasaran.
Baru kali ini, laki-laki itu membuat dia mau bertanya. Beberapa hari kemarin, Sashi lebih memilih acuh dan tak peduli dengan latar belakang Arkan. Meski dia sebenarnya cukup dilanda rasa penasaran. Hanya saja, Sashi pikir itu bukanlah hal yang penting. Sekarang, sepertinya dia berubah pikiran.
"Kamu mau tahu?" jawab Arkan terlampau singkat.
Tentu saja, Sashi menganga mendengar pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan. Dia spontan menepuk jidatnya dan menatap gemas ke arah suaminya. “Tentu saja! Aku ingin tahu Kakak kerja di mana dan apa jabatan Kakak.”
“Apa itu penting?” Lagi-lagi Arkan tidak mau menjawab. Dia seperti terang-terangan tidak mau memberitahu Sashi tentang pekerjaannya. “Kalau kamu ragu aku bisa membiayai hidupmu atau tidak, kamu tidak perlu khawatir, uangku lebih dari cukup untuk menafkahimu dan sembilan anak kita nanti.”
“APA? Anak? Sembilan?”
Mulut Sashi menganga lebar. Dia tidak percaya dengan perkataan Arkan. Hingga membuat pikirannya kontan membayangkan jika itu terjadi. Sembilan anak, Sashi tidak sanggup memikirkannya. Dia langsung bergidik ngeri. “Kakak gila? Kakak buat sendiri, aku tidak mau!”
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Sashi langsung berjalan sambil mengentakkan kedua kakinya dan berjalan menuju sofa di ruang tengah. Disusul oleh Arkan yang ikut duduk di samping Sashi dan menyandarkan kepalanya di bahu sang istri. tidak memedulikan perkataan Sashi.
Di sana, Arkan memejamkan matanya. Dia jelas lelah karena belum sempat beristirahat dari tadi siang. Pulang bekerja, Arkan langsung bergegas mendatangi rumah mertuanya dan kini, tubuhnya sangat pegal sekaligus lelah. Arkan ingin tidur.
“Kak Arkan, jangan begini,” decak Sashi, sedikit tidak nyaman dengan kelakuan Arkan. Merasa aneh saat Arkan bertindak seolah-olah mereka sangat dekat. Kenal saja baru beberapa hari. Sebelumnya, Sashi juga tidak pernah melihat Arkan. Laki-laki itu adalah orang asing baginya, tapi sepertinya Arkan tidak menganggap Sashi demikian.
“Biarkan aku tidur sebentar, aku lelah,” ucap Arkan tanpa mau membuka mata.
Sashi hanya bisa mendengus dingin. Dia tidak punya pilihan lain selain membiarkan laki-laki itu. Namun, beberapa saat kemudian, dengkuran halus terdengar oleh telinganya, membuat Sashi menoleh dan menatap Arkan. Laki-laki itu tertidur. Padahal baru beberapa menit lalu, Arkan masih bicara dengannya.
Sial. Dia bukan bantal, bisa-bisanya Arkan malah tidur di bahunya. Sashi berusaha mencolek hidung mancung Arkan. Membangunkan laki-laki itu agar pindah ke kamarnya. Tapi tidur Arkan begitu pulas, laki-laki itu bahkan sama sekali tidak terusik sedikit pun. Membuat Sashi kembali mengambil napas kasar.
Namun setelah beberapa lama, Sashi mulai membiarkan dan diam-diam menatap wajah Arkan. Matanya mengamati laki-laki itu dari jarak yang cukup dekat. Kelopak mata, hidung, hingga bibirnya yang sedikit terbuka. Alisnya tebal dan tatapan matanya tajam, Sashi ingat saat Arkan menatapnya, hal tersebut cukup membuatnya takut, tapi ketika bibir itu tersenyum, rasa takutnya langsung lenyap.
Entah kenapa, senyum manis yang selalu tersungging di bibir Arkan, bisa memudarkan aura menakutkan dari laki-laki itu. Membuat Arkan terlihat sangat ramah dan bersahabat. Hingga mungkin, semua orang menyukainya. Namun, sifat dominan dan otoriternya, jelas tidak bisa ditutup-tutupi.
"Apa dia benar mirip dengan Andrew? Benarkah, dia Kakaknya?" gumam Sashi, tanpa berpaling dari wajah Arkan sedikit pun.
Menyebut nama Andrew, membuat Sashi kembali mengingat pengkhianatan yang dilakukan mantan kekasihnya itu. Sampai dia dan keluarganya harus menanggung malu. Rasa kesal, tentu masih sangat tertanam jelas dalam ingatannya, tapi sekarang Sashi tidak tahu di mana dia bisa mencari mantan kekasihnya dan memberinya pelajaran.
Andrew tidak boleh hidup tenang, setelah apa yang laki-laki itu perbuat padanya.
***
Malam harinya, Arkan terbangun. Dia merasakan otot lehernya terasa pegal. Sampai kemudian, Arkan menyadari jika dia tertidur di bahu Sashi. Terlihat, wanita itu juga tertidur sambil bersandar di sofa. Membuat Arkan menggeleng melihatnya. Mengusap wajahnya kasar saat sadar kalau dia tertidur terlalu lama.
"Sashi, Sashi?"
Seruannya tak membangunkan sang istri. Mungkin Sashi juga merasa lelah atau dia tidak bisa bergerak karena tubuh Arkan yang bersandar di sana. Barang-barang wanita itu pun belum dibereskan sama sekali. Masih ada di tempatnya.
Arkan terdiam beberapa saat, untuk mengumpulkan nyawanya, sampai dia kemudian beranjak dari sofa dan menatap Sashi sambil berkacak pinggang. Arkan sedikit merendahkan tubuhnya untuk meraih Sashi dan membawa wanita itu dalam gendongannya. Dia berjalan pelan menaiki tangga menuju lantai dua, sambil membawa Sashi. Wanita itu masih tertidur dan tidak bergerak sedikit pun.
Begitu sampai, Arkan langsung mendorong pintu kamar dengan pelan, menggunakan kaki. Dia sedikit kepayahan jika harus mendorongnya dengan tangan. Beruntung, kamar itu sudah dibersihkan beberapa minggu lalu oleh orang suruhannya, jadi kini Arkan dan Sashi akan tinggal di sana.
Jelas saja, rumah itu adalah rumah baru yang belum sempat Arkan tempati. Tidak ada orang selain mereka di sana. Para pelayannya, akan bekerja mulai besok.
"Kamu sangat berat Sashi."
Arkan menghembuskan napas kasar dan membaringkan tubuh Sashi di ranjang besar itu. Keringatnya tampak keluar, dia seolah baru saja berolahraga saat memindahkan istrinya naik tangga.
Dia terdiam sejenak dan mengatur napasnya. Menyugar rambut hitamnya, sebelum kemudian menarik selimut dari lemari untuk digunakan oleh Sashi. Dengan penuh perhatian, Arkan menyelimuti tubuh Sashi hingga menutupi leher. Setelahnya, Arkan berniat keluar untuk berganti pakaian karena tidak mungkin dia mandi saat malam sudah larut.
Namun, belum sempat Arkan melangkah, sebuah tangan menahannya. Mencegah kepergian Arkan. Sashi tertidur gelisah. Cengkeraman tangannya begitu kuat, hingga sebuah kata-kata terlontar dari mulutnya.
"Enggh ... Andrew, jangan pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband (TAMAT)
Storie d'amoreWarning 21 + (PROSES REVISI) Sashi harus menerima kenyataan pahit ketika tahu kalau calon suaminya pergi tepat saat mereka akan melangsungkan pernikahan. Dia yang tidak mau keluarganya menanggung malu, terpaksa menerima Arkan yang notabenenya adalah...