Saat makan, Sashi sama sekali tidak sanggup untuk melihat Arkan. Kepalanya tertunduk. Dia malu setengah mati pada laki-laki itu. Masih teringat dengan jelas, saat Arkan memberikannya celana dalam dengan wajah memerah. Suasana tadi, benar-benar canggung dan salah tingkah.
"Sashi, Arkan, ada apa dengan kalian?" tanya Desty, ketika melihat sikap malu-malu yang ditunjukkan Arkan ataupun Sashi. Salah satu alisnya terangkat. Merasa sangat heran dengan tingkah aneh keduanya.
"Tidak apa-apa, Ma," jawab Sashi dengan cepat. Napasnya sedikit tercekat. Matanya melirik ke arah Arkan yang hanya tersenyum simpul, sebelum kemudian menatap orang tuanya.
"Kamu aneh sekali," ucap Desty saat melihat tingkah anaknya, kemudian dia memalingkan wajahnya ke arah Arkan, "Nak Arkan, kamu rencananya mau bawa Sashi tinggal bersamamu kapan?"
Ukhukk.
Sashi terbatuk keras saat mendengar pertanyaan sang Mama. Tenggorokannya tiba-tiba terasa perih, membuat dia buru-buru mengambil air minum. Namun sebelum Sashi meraih gelas itu, Arkan sudah lebih dulu menyodorkannya.
Laki-laki berwajah tampan dengan senyum memikat itu, mengusap pundak Sashi pelan, untuk meredakan efek batuk yang masih tersisa. Sayangnya, bukannya reda, Sashi malah semakin terbatuk hebat. Usapan tangan Arkan di pundaknya malah membuat Sashi merinding. Hingga dia langsung menepisnya. Matanya sedikit melotot.
"Jangan menyentuhku," bisiknya memperingati. Hingga Arkan dengan canggung, menarik kembali tangannya.
"Kamu itu kenapa? Kenapa bisa sampai tersedak?" tanya Desty keheranan.
Perhatiam Sashi beralih menatap sang mama dengan wajah kesal, "Mama yang kenapa? Mama mau usir Sashi dari sini?"
Desty langsung mengernyitkan dahi, mendapat pertanyaan tersebut dari anaknya. "Ya, kamu 'kan, memang harus tinggal bersama Arkan. Ingat! Kamu sudah menikah, Sashi."
Wajah Sashi langsung merengut kesal. Tangannya terkepal kuat. Dia tidak bisa membantah perkataan mamanya, karena semua itu adalah benar. Tapi, tinggal berdua bersama Arkan? Apa dia bisa? Sashi bahkan sama sekali tidak mengenal siapa laki-laki itu. Apa pekerjaannya, apa kebiasaannya, dan seperti apa sikapnya.
Tidak ada satu pun yang bisa menjamin, jika Arkan adalah laki-laki baik. Tidak menyimpang atau mungkin kasar. Sashi takut, jika laki-laki itu sebenarnya seorang pembunuh. Tidak ada yang tahu, bukan? Terlebih, kakak dari mantan kekasihnya sendiri. Bagaimana kalau Arkan sama seperti Andrew? Mereka jelas terlahir dari gen yang sama.
Mata Sashi memicing, dia menatap penuh selidik ke arah Arkan yang tersenyum lebar. Laki-laki itu tampak memiliki pembawaan yang santai dan ramah dan dia curiga, jika di baliknya ada 'sesuatu' yang sama sekali tidak bisa ditebak.
"Sebenarnya Ma, Pa, Arkan berniat membawa Sashi hari ini juga. Besok, Arkan harus sudah kembali bekerja," jawab Arkan, tak lupa sambil tersenyum manis.
"APA? Kenapa tidak mengatakannya dulu padaku? Aku tidak mau! Aku belum siap," bantah Sashi dengan cepat. Mulutnya membulat. Dia menolak mentah-mentah usulan dari Arkan, sampai karena terlalu kaget, Sashi tidak sadar jika dia sedikit berteriak. Membuat sang papa menatapnya marah.
"SASHI!" tegur Bram, papa Sashi yang sedari tadi diam saja. Dia sangat tidak suka, jika ada orang yang berteriak di meja makan. Seketika, Sashi mati kutu dan terdiam sambil meremas tangannya.
"Aku tahu, karena itu aku mengizinkanmu menginap sehari di sini. Besok aku akan menjemputmu," usul Arkan. Dia berusaha bernegosiasi dengan istrinya yang keras kepala.
Arkan sudah menduga hal ini sebelumnya. Bicara kemarin malam atau saat ini pun, Sashi pasti akan menolaknya. Wanita itu tidak akan mau tinggal bersamanya, tapi Arkan tidak punya banyak waktu untuk cuti, pernikahan ini tidak direncanakan.
Arkan hanya mengambil cuti dua hari, untuk menghadiri pernikahan adiknya, yang kini justru harus menjadi pernikahannya. Terlebih dia sama sekali tidak enak jika harus tinggal bersama mertuanya.
Sebenarnya, Arkan sudah memiliki rumah yang bisa dia tinggali bersama Sashi. Rumah yang beberapa tahun lalu telah dia beli untuk keluarga kecilnya. Rumah sederhana, tapi Arkan yakin, rumah itu cukup mampu menampung Sashi dan anak-anaknya nanti.
Anak-anak. Tidak ada salahnya kan dia berharap?
Arkan berharap, ketika dia dan Sashi tinggal bersama, wanita itu bisa mulai menyukainya, karena dia pun, akan mulai berusaha menyayangi istrinya. Menikah baginya, hanya sekali seumur hidup. Arkan tidak pernah mengharapkan ada perceraian di antara mereka nanti.
"Hmm, terserah."
"Bagus, Papa setuju. Papa percayakan anak Papa padamu, Arkan," ucap Bram dengan bangga. Dibalas senyum penuh tanggung jawab oleh Arkan.
***
Arkan sudah pulang ke rumahnya. Kini, hanya Sashi sendiri di kamar itu. Bersama dengan ponsel yang sedari tadi berada di tangannya. Dia masih mencari tahu, tentang alasan di balik menghilangnya Andrew. Sashi menghabiskan waktu berjam-jam untuk menanyai teman-teman Andrew. Sayangnya, tak ada satu pun dari mereka yang tahu tentang keberadaan laki-laki itu.
Tidak ada yang aneh tentang Andrew, sebelum tepat hari pernikahan mereka terjadi. Mereka bahkan masih berkomunikasi dengan baik. Namun ternyata, Andrew malah meninggalkannya sendiri. Hatinya jelas sangat sakit, dan dia menolak untuk menggali informasi tentang Andrew, tapi Sashi tidak bisa melupakan rasa penasarannya. Dia ingin tahu di mana dan alasan apa, Andrew meninggalkannya.
"Sialan! Aku muak denganmu, berengsek!"
Sashi hampir saja melempar ponsel miliknya, sebelum kemudian sebuah pesan muncul di layar notif-nya. Pesan yang ternyata datang dari seseorang yang bernama ...."Suamiku?" Kening Sashi mengernyit, melihat nama kontak tersebut. Terdengar sangat menggelitik, terlebih saat emoticon love terselip di awal dan akhir kata itu. Sampai kemudian, Sashi menyadari, jika biang dari pembuat nama kontak itu adalah Arkan.
Sashi membaca sebuah pesan dari Arkan, di mana laki-laki itu kini menanyakan kabarnya. Sayangnya, dia sama sekali tidak tertarik untuk membalasnya. Sashi hanya mendengus kesal. Sampai beberapa saat kemudian, Arkan kembali menanyakan kabarnya, namun dia hanya membacanya.
"Apa dia tidak punya kerjaan? Kenapa menggangguku terus! Ini waktunya untuk tidur. Benar-benar menyebalkan."
Sashi baru akan menyimpan ponselnya, sampai tak lama berselang, ponsel miliknya kini berdering. Membuatnya kembali mengambil benda pipih itu. Meski Sashi tahu, jika yang menghubunginya sudah pasti adalah Arkan. Laki-laki tidak lagi mengiriminya pesan, melainkan meneleponnya.
"Ada apa? Kenapa terus mengganggu? Kak Arkan tahu ini jam berapa?" cerocos Sashi saat Arkan bahkan belum sempat mengucap salam. Dia sudah mengomelinya sampai membuat Arkan tersentak di seberang telepon. Menyadarkan Arkan, jika Sashi sepertinya enggan diganggu.
"Aku mengganggumu?"
"Iya! Kakak sangat mengganggu. Aku sedang tidur, tahu!" jawab Sashi tanpa pikir panjang. Terdengar helaan napas kasar di ujung sana.
"Nomormu sedang aktif, aku pikir kamu masih belum tidur. Ya sudah, aku matikan dulu. Jangan tidur terlalu malam, besok aku akan datang menjemputmu. Good night, istri--"
Panggilan itu, langsung dimatikan Sashi tanpa Arkan sempat menyelesaikan kalimatnya. Dia malu sekaligus kesal dengan laki-laki itu. "Aku tidak mau! Aku tidak mau tinggal denganmu! Dengar ya! Kau dan Andrew itu sama! Sama-sama berengsek!" maki Sashi sambil menunjuk ke arah gulingnya gemas. Dia menggigit ujung kain itu dengan emosi.
Sayangnya, perkataan Sashi berbanding terbalik dengan wajahnya yang bersemu. Suara lembut Arkan saat memanggil namanya, cukup membuat Sashi malu bukan main.
___
Update, semoga suka ya👻👻
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband (TAMAT)
Storie d'amoreWarning 21 + (PROSES REVISI) Sashi harus menerima kenyataan pahit ketika tahu kalau calon suaminya pergi tepat saat mereka akan melangsungkan pernikahan. Dia yang tidak mau keluarganya menanggung malu, terpaksa menerima Arkan yang notabenenya adalah...