Hari ini, adalah hari di mana Sashi memutuskan untuk bertemu dengan temannya, Kinar. Satu-satunya teman akrab yang dulu sempat menjadi rekan kerja, sebelum dia dipecat gara-gara Arkan.
Pengangguran. Sashi tidak punya kerjaan. Arkan juga melarangnya untuk bekerja atau membantunya lagi. Teganya, laki-laki itu bilang jika Sashi tidak bisa mengerjakan semuanya. Kemampuannya sama sekali tidak mumpuni. Benar-benar kurang ajar. Ternyata, pkerjaan beberapa waktu lalu, hanyalah iming-iming semata agar dia tidak marah dan terus menyalahkan Arkan.
Sashi baru menyadari, jika Arkan bisa selicik itu. Tapi, dia juga tidak bisa membantah. Kali ini, Sashi membiarkan Arkan.
"Apa yang kau pikirkan? Apa kau mengajakku bertemu hanya untuk melihatmu melamun!"
"Apa? Tidak. Aku hanya lelah. Maafkan aku," ucap Sashi dengan rasa bersalah karena mengabaikan Kinar dan asyik melamun sendiri. Padahal dia yang mengajak temannya pergi ke kafe untuk minum-minum.
Pikiran Sashi benar-benar sangat lelah saat ini. Berbagai macam masalah bermunculan. Semua ini berawal dari Arkan yang begitu banyak memiliki rahasia. Mantan kekasih, masa lalu suaminya dan fakta retaknya hubungan Andrew juga Arkan. Rahasia besar yang tidak bisa Sashi terima. Sangat menjemukan.
"Apa suamimu bermasalah? Kau tidak bahagia dengannya?"
"Tidak. Aku sangat bahagia. Hanya saja, ada hal lain yang belakangan ini menggangguku. Aku ingin melupakan semua itu," kata Sashi dengan lesu.
Kinar hanya mengangguk paham dan kembali menyeruput kopinya. Mengerti, jika Sashi hanya butuh teman bicara untuk melupakan masalahnya. Kinar tidak keberatan. Dia juga senang bisa bertemu dengan Sashi kembali.
"Kurasa, kau butuh liburan bersama suamimu. Sepertinya, kau memang sedang stress. Kerutan di wajahmu mulai terlihat," ujar Kinar sambil menilik wajah Sashi. Membuat wanita itu terkejut bukan main dan langsung mengambil sebuah kaca dari dalam tasnya. Membuktikan perkataan Kinar.
"Astaga, sepertinya aku memang butuh liburan," desahnya sambil memijat pelipis.
Meski Kiana sudah pergi dua hari yang lalu, tapi kecemasan masih menggelayuti pikiran Sashi. Membuatnya tidak mampu berkonsentrasi sampai dia bahkan tidak sempat memerhatikan penampilan. Benar-benar sangat menggangu.
"Apa pun masalahmu, harusnya kau bicarakan ini dengan suamimu. Dia berhak tahu dan kalian harus saling terbuka. Kau itu tidak pernah berubah dan selalu menyelesaikan pekerjaanmu tanpa mau dibantu orang lain."
"Apa itu perlu? Aku pikir, ini hanya masalah wanita dan aku bisa mengatasinya. Lagi pula, sepertinya aku yang terlalu paranoid." Ketakutan berlebihan yang dialami Sashi, sangat mengganggu. Mencemaskan hal yang sama sekali belum terjadi. Dia terlalu khawatir.
"Wanita? Maksudmu, suamimu itu--"
"Tidak. Kak Arkan tidak punya wanita lain. Hanya saja, ada seorang wanita yang saat ini mendekatinya. Dia terang-terangan mengatakan 'mencintai Kak Arkan' di depanku," jelas Sashi sebelum Kinar salah paham. Nyatanya, bukan Arkan yang mengejar wanita itu, tapi Kiana.
"Astaga! Wanita itu sudah gila! Aku akan langsung menghajarnya, jika aku ada di sana."
Sashi hanya memutar bola matanya malas dan kembali meminum kopinya. Reaksi Kinar terlalu berlebihan. "Menurutmu, apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Apalagi yang harus dilakukan? Tentu saja menempel pada suamimu!! Buat dia tidak bisa melirik wanita lain."
"Menempel? Haruskah?" Sashi menatap Kinar dengan ragu. Ide temannya terdengar sedikit menggelikan. Sashi tidak masalah jika dia dekat dengan Arkan, tapi akan jadi masalah jika laki-laki itu sedang sibuk bekerja. Yang ada, dia akan terkena marah.
"Pertanyaanmu membuatku bingung. Jangan bilang, kau selalu acuh dengan suamimu? Bagaimana cara kalian berinteraksi?"
"Entahlah," ucap Sashi sembari memalingkan muka. Dibilang terlalu perhatian, tidak. Acuh, juga tidak dan mereka pun berinteraksi seperti sebelumnya. Apa itu salah?
Jika Arkan mencari gara-gara dan membuatnya marah, maka mereka akan selalu berakhir dengan adu mulut atau mungkin bergelut di atas ranjang. Selebihnya, percakapan biasa atau rayuan receh sering Arkan lontarkan. Sashi masih belum bisa bersikap manja pada Arkan.
"Aku bisa melihat dalam tatapanmu kalau kau sebenarnya selalu menjaga jarak. Sepertinya, kau masih trauma karena kejadian Andrew?" tebak Kinar yang langsung membuat Sashi sedikit tersentak. Namun bibirnya hanya bungkam tanpa mau membenarkan atau mengelaknya.
"Sudahlah, yang harus kaulakukan sekarang adalah temui suamimu. Sebentar lagi jam makan siang, ajak dia makan bersama," usul Kinar.
"Aku malas," tolak Sashi tanpa basa-basi. Dia langsung menyandarkan tubuhnya di kursi dan menatap datar temannya. Membuat Kinar hampir saja menggebrak meja, jika tidak melihat banyak orang di kafe itu. Jelas karena tindakannya akan mengganggu privasi orang lain.
Kinar tentu langsung menasehatinya ini itu. Membuat Sashi hanya diam dan menatapnya tanpa minat. Bukan karena apa-apa, tapi bertemu Arkan di kantor adalah hal yang paling Sashi hindari. Suaminya seolah menjadi sosok paling menyebalkan dan begitu otoriter ketika sedang bekerja. Selama bekerja bersama Arkan walau hanya beberapa hari, telinganya sudah hampir putus karena omelan laki-laki itu tak kunjung usai. Meski setelah sampai rumah, Arkan akan kembali bersikap seperti anak anjing yang lembut.
"Terserah apa maumu. Aku hanya memberi saran, itu pun kalau kau masih mencintai suamimu."
***
Dan pada akhirnya, dengan sangat terpaksa Sashi menuruti perkataan Kinar. Dia berdiri di depan lobi perusahaan Arkan. Mengambil napas dan menghembuskannya kembali saat seorang resepsionis mengatakan kalau Arkan ada di ruangannya.
Semua para bawahan yang mengetahui siapa Sashi, langsung memberi hormat begitu mereka berpapasan. Membuat Sashi sedikit risi tapi dia tetap melanjutkan langkahnya menuju lift untuk kemudian naik ke lantai tertinggi.
Tak butuh lama untuk Sashi tiba di depan pintu ruangan Arkan. Bertemu dengan sekretaris suaminya yang tampak terkejut melihat kedatangannya.
"Kak Arkan ada di dalam, 'kan?"
Ucapannya dibalas anggukan oleh sekretaris itu dan kemudian mempersilahkan Sashi untuk masuk.
Sashi dengan gugup membuka pintu ruangan Arkan dan melangkah ke dalam. Pemandangan Arkan yang masih sibuk menatap layar laptop dengan kacamata yang bertengger di hidungnya, membuat laki-laki itu sama sekali tidak menyadari keberadaan Sashi.
Hal itu jelas dimanfaatkan oleh Sashi untuk menikmati mimik serius yang jarang sekali dia lihat dari Arkan. Sampai tanpa sadar, langkah kakinya berjalan semakin mendekat. Pelan dan tanpa suara.
"Siapa? Jangan mengganggu--"
"Ini aku."
"Sashi?" Arkan terkejut ketika mendapati istrinya sudah duduk di depannya sambil tersenyum. Padahal Arkan mengira, ada karyawannya yang dengan kurang ajar masuk. Tapi ternyata, wanita itu datang ke sini. "Ada apa? Kenapa ke sini?"
Sashi tidak langsung menjawab. Dia menatap Arkan yang berhenti bekerja. Beralih ke meja kerja Arkan yang penuh dengan tumpukan pekerjaan yang belum usai, hingga dia kemudian menemukan sebuah kotak makan berwarna biru di dekat laki-laki itu.
"Bekal? Kak Arkan membawa bekal?"
Setahu Sashi, dia tidak menyiapkan apa pun untuk Arkan. Tapi, dari mana laki-laki itu mendapatkan kotak makan?
"T-tidak, itu bukan punyaku. Itu milik sekretarisku."
Arkan dengan segera memanggil sekretarisnya untuk masuk dan tanpa basa-basi, memberikan kotak makan itu padanya. Tanpa peduli raut bingung bawahannya itu. Meski begitu, sekretarisnya tetap menerima pemberian Arkan dan keluar dari ruangan bosnya.
"Jadi, kenapa kamu datang?"
Sashi merasa ada yang aneh dengan tingkah laki-laki itu, tapi dia berusaha menepis segala pikiran buruk itu. "Aku ingin mengajak Kak Arkan makan siang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband (TAMAT)
RomanceWarning 21 + (PROSES REVISI) Sashi harus menerima kenyataan pahit ketika tahu kalau calon suaminya pergi tepat saat mereka akan melangsungkan pernikahan. Dia yang tidak mau keluarganya menanggung malu, terpaksa menerima Arkan yang notabenenya adalah...