"Kak, jelaskan apa yang terjadi! Kenapa Mama bisa menyebutku hamil?" desak Sashi, begitu para orang tua keluar dari kamar rawat. Menyisakan dia dan Arkan yang kini tampak canggung menatapnya. Apalagi, saat dia menatap laki-laki itu tajam.
Jelas Arkan sedikit salah tingkah. Dia melirik malu ke arah Sashi. Entah bagaimana caranya untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. "Itu ... dokter salah paham. Hasil tes lab-mu dengan salah satu pasien, tertukar. Kamu memang tidak hamil."
"Apa? Terus bagaimana bisa, Mama--"
Arkan meringis. Dia kemudian menceritakan apa yang sempat terjadi tadi. Ketika Arkan yang panik dan membawa Sashi ke rumah sakit. Dia meminta dokter untuk mengecek kondisi Sashi, secara menyeluruh.
Saking paniknya, dia juga memaksa dan membuat kegaduhan di rumah sakit. Arkan benar-benar kaget saat melihat Sashi pingsan. Terlebih ketika wajahnya sangat pucat. Dalam keadaan tidak sadar, Sashi juga tampak mual-mual. Memuntahkan cairan dalam tubuhnya.
Namun, gara-gara kelakuan Arkan, dokter sampai tidak bisa berkonsentrasi. Bahkan dia tidak berhenti mengomel. Tidak mau keluar meski para perawat melarangnya berada di dalam. Pun begitu, saat pemeriksaan selesai dan seorang perawat datang membawa hasilnya.
Arkan yang ketika itu panik, langsung mengambilnya. Dia tidak tahu, jika ada data pasien lain, yang juga memiliki nama yang hampir mirip dengan istrinya. Sashi dan Shasi. Keteledoran Arkan itu, berbuntut panjang saat dia menyerahkan hasil pemeriksaan medis pada sang dokter, yang diketahui jika pasien yang memiliki nama hampir mirip dengan Sashi, ternyata sedang hamil.
Semuanya sudah terlambat, saat dokter tersebut menceritakan pada orang tuanya yang datang, bertepatan saat dokter itu mengatakan kondisi Sashi. Alhasil, kesalahpahaman pun terjadi. Ini salah Arkan. Dia yang terlalu tergesa-gesa. Arkan terlalu khawatir sampai tidak mementingkan hal lain selain Sashi terbangun.
Saat dokter menyadari jika hasil medis tertukar, dia dengan segera menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Bahwa Sashi mengalami kram usus, yang diakibatkan stress atau karena pola makan yang berantakan, bukan hamil. Sayangnya, hanya Arkan yang percaya. Sementara para orang tua sudah tidak lagi mendengarkan penjelasan sang dokter. Mereka sibuk dengan perasaan cemas dan bahagia cucu-cucu, yang bahkan masih belum ada.
Benar-benar merepotkan.
"Astaga! Kak Arkan." Sashi mengetatkan rahangnya, saking jengkel setelah mendengar penuturan Arkan. Matanya begitu tajam sampai dia ingin sekali mencekik laki-laki itu. "Kenapa Kak Arkan bisa seceroboh itu? Bagaimana aku harus menjelaskannya? Ini semua gara-gara Kakak. Sepertinya aku akan gila. Mama dan Papa sudah sangat berharap."
Sashi mendesah frustrasi. Matanya menatap Arkan dengan sangat sinis. Memegang kepalanya yang berdenyut. Baru saja Sashi membuka mata, dia sudah harus dihadapkan pada situasi semacam ini.
"Maaf, aku sangat mengkhawatirkanmu sampai tidak sadar dengan apa yang kulakukan," sesal Arkan.
"Kak Arkan benar-benar, ya! Terus, sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Aku tidak tahu."
Arkan menatap Sashi dengan pandangan bingung. Dia ragu untuk meyakinkan fakta ini pada orang tuanya. Jelas saja, dia sama sekali tidak bisa melupakan ekspresi cemas bercampur bahagia yang terlihat di wajah tua mereka. Jika Sashi hamil, maka anaknya akan menjadi cucu pertama untuk mereka. Arkan tidak pernah memikirkan ini. Tapi ....
"Bagaimana, jika aku buat kamu benar-benar hamil?"
***
Suara gebrakan pintu mobil, membuat Arkan langsung terperanjat. Dia melirik Sashi yang keluar dengan kaki menghentak. Melangkah masuk ke dalam rumah, tanpa menunggu Arkan turun. Menjelaskan, jika wanita itu tengah dalam keadaan marah.
"Hhhh ...."
Arkan menghela napas berat. Menggeleng pelan dengan salah satu tangan, yang menyentuh pipi. Pipi kanan Arkan yang kini terasa panas akibat tamparan yang dilakukan Sashi. Bahkan sudut bibirnya sedikit berdarah. Menunjukkan betapa kuat, tamparan yang dilakukan wanita itu. Saat sakit pun, Sashi bisa mengerahkan seluruh tenaga untuk menampar Arkan, hanya karena dia mengusulkan ide untuk menghamilihya.
Ini memang sudah Arkan duga. Sashi pasti tidak akan setuju dengan idenya. Tapi dia tidak menyangka, jika wajahnya lah yang harus menjadi korban. Beruntung, kedua orang tua dan mertuanya sudah lebih dulu pulang. Hingga mereka tidak menyaksikan kejadian yang tak mengenakkan.
"Sashi tunggu. Kalau kamu tidak mau, aku tidak akan memaksa," ucap Arkan, mempercepat langkah kakinya mendekati Sashi, yang kini terduduk di sofa.
"Kakak pikir, siapa yang mau?! Kekacauan ini, berawal dari Kak Arkan! Jadi, katakan yang sebenarnya saja." Sashi mendelik malas ke arah Arkan. Kepalanya masih pusing, pikirannya pun menjadi buntu. Harusnya, Sashi perlu tinggal di rumah sakit beberapa hari lagi, tapi dia memaksa untuk pulang saat merasa kondisinya sudah membaik.
Sashi enggan mendapat pertanyaan dari mereka. Dia tidak bisa melihat patahnya harapan dan binar mata yang ada pada tatapan kedua orang tuanya. Lagi pula, ini semua karena Arkan. Jadi, laki-laki itulah yang harusnya bertanggungjawab.
"Hmm, baiklah," desah Arkan lemah. Kepalanya bersandar di sofa. Dia tidak mau berdebat dan memilih untuk mengalah.
Setelah percakapan itu, keduanya hanya diam. Kecanggungan terasa begitu. Sashi sibuk dengan fokusnya pada televisi. Sementara Arkan, menatapnya diam-diam. Dia tengah memikirkan, apa yang membuat Sashi bisa sampai stress.
Arkan juga mendapat laporan dari pelayannya, jika pola makan Sashi, sama sekali tidak teratur. Sayang sekali, masalah yang terjadi pada perusahaannya dan kondisi adiknya, membuat Arkan tidak bisa begitu memperhatikan kondisi istrinya. Dia juga bingung, karena masih belum menceritakan keadaan Andrew pada kedua orang tuanya.
Mungkinkah, Sashi juga stress karena pertemuannya dengan Andrew?
"Sashi, apa kamu ingin bertemu dengan adikku?"
"Apa?" Sashi langsung menoleh, begitu Arkan memegang tangannya dan berkata demikian. Dia menatap bingung dengan pertanyaan Arkan.
"Dulu kamu bilang, kamu ingin mengetahui alasan di balik Andrew meninggalkanmu. Apa karena ini, kamu terus memikirkannya?"
Sashi tidak bisa menjawab. Dia hanya terpaku saat melihat Arkan. Entahlah, Sashi sendiri ragu. Apa semua ini memang gara-gara dia yang terus memikirkan Andrew, atau bukan.
"Atau, kamu mengkhawatirkannya?"
"Kenapa Kak Arkan berkata seperti itu?" tanya Sashi dengan sedikit gelisah. Dia menghindari tatapan mata Arkan. Tanpa sebab yang jelas, hatinya diliputi rasa bersalah.
"Kalau kamu sakit gara-gara terus memikirkannya, lebih baik kamu menemuinya."
Firasat Arkan mengatakan, kalau Sashi tidak bisa berhenti memikirkan adiknya. Meski wanita itu, tidak lagi datang ke rumah sakit untuk menjenguk Andrew. Walaupun enggan mengakui, tapi melupakan seseorang yang sudah tinggal begitu lama dalam hati, akan sulit dilupakan.
"Apa Kak Arkan tidak akan cemburu?" Sashi menatap Arkan, sambil menaikkan alisnya.
Tampak, pertanyaan dari Sashi membuat tubuh Arkan langsung membeku. Matanya sedikit melebar. Dia kaget karena Sashi tiba-tiba menanyakan perihal perasaannya. "Tidak, karena dia adik iparmu."
Senyum kecut, langsung terlihat di wajah Sashi. Meski mengatakan 'tidak', tapi Arkan secara tidak langsung, seolah memperingatinya dengan status antara dia dan Andrew. "Tidak perlu. Aku tidak mau bertemu dengannya."
Usai mengucapkan kalimat itu, Sashi segera beranjak dari duduknya. Dia hendak berjalan meninggalkan Arkan, sebelum tangan laki-laki itu menarik dan membuat tubuh Sashi jatuh di pangkuannya.
"Jangan ke mana-mana, kamu sedang hamil."
Mata Sashi, kontan melotot. Dia langsung memukul lengan kekar suaminya tanpa basa-basi. "KAK ARKAN! AKU TIDAK HAMIL!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband (TAMAT)
Roman d'amourWarning 21 + (PROSES REVISI) Sashi harus menerima kenyataan pahit ketika tahu kalau calon suaminya pergi tepat saat mereka akan melangsungkan pernikahan. Dia yang tidak mau keluarganya menanggung malu, terpaksa menerima Arkan yang notabenenya adalah...