Tajuk 2: Dering

84 14 4
                                    

Euis menatap dinding kamarnya yang ditempeli poster. Siapa yang bertamu, baik dari keluarga maupun teman-teman Euis akan langsung kenal dengan orang-orang yang ada dalam gambar ukuran 100 R itu. Wajah-wajah para pemuda familier yang pernah tampil di banyak kanal televisi.

"Marwan itu perpaduan antara Rafael sama Yayang Oey," celetuk Euis setelah beberapa saat hanya menatap lurus ke depan. "Makanya aku suka! Euis, tuh, cinta banget sama A Marwan."

Laki-laki yang mungkin akan menjadi mantannya itu cukup tampan untuk seukuran satpam muda. Hidungnya kecil meski tidak mancung, rambut klimis dan mata yang selalu berbinar tiap kali lihat Euis. Bibir yang seseksi Rafael dan alis setebal Morgan. Ah, tampan!

Euis melepaskan pentul yang menjadi pengait jilbab segiempat Paris merahnya, lekas menjatuhkan tubuhnya ke tempat paling nyaman selain bahu Marwan. Tempat Euis merebahkan diri dari segala penat selepas bekerja, meski bukan kasur yang ditopang kayu.

"Kalau beneran A Marwan selingkuh? Euis kudu kumaha (harus gimana)?" Perempuan berusia dua puluh dua itu meringkuk lalu tangannya menggapai bantal dan mengambil satu, lalu memeluknya. Dia merangkul bantal dengan erat disertai tangis yang mulai pecah.

"Jahat banget sih sama!" gumam Euis. Suara manusia yang tengah gundah itu redam karena kepalanya ikut menyelusup ke bantal. "Sial! Sampai masyarakat."

Euis tak berhenti menangis bak bayi yang kehilangan ASI. Beruntung, Euis tidak mempunyai rengekkan kencang yang akan menggegerkan para tetangganya dan membuat drama magrib-magrib begini.

Suara ketukan membuat Euis bangun, rambutnya yang diikat ke belakang hampir terurai dan membuat bagian depannya acak-acakan. Apa suaranya terdengar sampai kamar sebelah? Ah, astoge, kenapa dengan diri ini? batin Euis sambil menghapus air mata lalu merapikan rambut sebelum beranjak.

Sebelum mencapai daun pintu, Euis menurunkan kelopak matanya sejalan dengan mulutnya merapal mantra. Setelah siap, dia menekan ke bawah pegangan pintu itu dan menemukan seseorang yang sangat dibutuhkannya.

"Fany!" seru Euis saat wajah gadis itu tersembul jelas saat pintu baru terbuka sedikit. Perempuan dengan mata sembap itu langsung merangkul gadis yang ada di hadapannya.

"Kenapa?" Nada bicara Fany digoyangkan dengan aksen tertentu yang membuat temannya itu kembali meneteskan air mata. "Cup cup," imbuhnya seraya merangkul pundak lemah dan menggiring pemiliknya untuk masuk.

Sudah menjadi rumah kedua bagi Fany untuk berteduh dengan nyaman di kostan Euis. Sama-sama penggemar Morgan Oey, sama-sama keturunan Sunda yang asli se-asli-aslinya, membuat keduanya saling berbagi suka atau duka, lara atau bahagia. Seperti malam ini, Fany dengan senang hati datang untuk menginap dan menenangkan Euis yang masih bergemuruh.

"Udah, sih. Kamu bisa tanyain ke Marwan, Yung." Fany memberi solusi sejak kemarin, solusi yang sama yang tidak diyakini Euis.

"Dia sembunyi-sembunyi Fan, kalau aku tanya dia pasti enggak akan mau jawab. Mana ada maling ngaku!"

"Iya kali dia punya penjelasanya. Kan, cuma sayang-sayangan sesama teman kayak kita!" tambah Fany kembali menasihati.

Jelas, Euis tahu maksud Fany adalah tidak mengedepankan ego dan memilih 'lebih baik putus' bukan solusi. Ya, dia pernah kehilangan laki-laki yang dicintainya dan tanpa alasan yang jelas dia membenci pria itu karena kesalahpahaman.

Fany mengabaikan Euis yang meraung, membiarkan gadis itu berpikir bagaimana seharusnya dia bertindak dan solusi apa yang pas untuk wanita itu jadikan sandaran. Gawai Fany bergetar, menandakan pesan baru dari WhatsApp, tangannya yang seperti kelingking semua menekan pinggirannya. Matanya dengan bebas dan sesekali melirik Euis yang masih setia dengan ingusnya. Kemudian-

"Is!"

Kedua wanita itu saling pandang dengan isyarat yang sulit diartikan.

®®®

"Goblok! Emang goblok Iis!" Perkataan itu Euis lontarkan pada diri sendiri. Kalau bukan karena Naufal-yang kemarin datang bersama bos a.k.a anak semata wayangnya-sudah berdiri di belakang Euis, wanita itu pasti sudah berenang di kolam yang paling dalam.

Ingat? Paling dalam dan kini Euis menahan rasa malu sampai wajahnya memerah dan tak tahu lagi harus mengatakan apa pada laki-laki yang kini menatapnya bersama Fany. Fany tersenyum hangat atau mungkin menyembunyikan seri wajahnya yang ingin ngakak untuk menahannya. Menahan menertawakan sahabatnya adalah pekerjaan yang mulia.

"Euis berterima kasih banget sama A Naufal yang udah bantuin Euis."

"Lain kali jangan teledor. Kan kalau jatuh bukan orang lain yang malu, hehe!" katanya seraya memberikan senyum gingsul khas yang memukau.

Euis terpesona begitu juga wanita yang ada di sebelah laki-laki itu yang tersenyum merona. Chh, liat yang ganteng, tajir, menawan, gigi gingsul. Euis menggigit bibir atasnya saat mendapati mata laki-laki itu menatap ke arah dirinya dan Fany bergantian.

"Kalian pakai kode rahasia?" tanya laki-laki itu dan Fany yang ditatap tak mampu menjawab.

"Kode?" tanya Mang Juned yang berhasil membuyarkan fokus mereka. Mang Juned juga berhasil membenarkan tatapan mata Euis yang memang memberi isyarat pada Fany. Keduanya saling menggeleng dan permisi untuk ke tempat karena pekerjaan akan dimulai. Sport Garden siap dibuka.

Dengan hangat wajah Euis menyambut beberapa orang yang datang. Orang-orang di depannya memakai baju olahraga abu, anak-anak laki-laki berjalan lebih dulu untuk dihitung, disusul para remaja dengan ceriwis mengobrol sesuatu yang menggelikan. Memang apa salahnya? pikir Euis. Tidak jauh berbeda darinya saat SMA. Ingin satu kolam renang dengan para pria itu hal yang wajar. Apa lagi kalau bareng sama Morgan Oey yang tanpa baju keatasan.

Ketukan di meja kasir lagi-lagi membuyarkan Euis. "Jadi berapa orang?"

Acakadul! Kenapa sih Euis harus terbawa suasana? Laki-laki yang berada di kantin dengan Fany meringis saat melihat Mang Juned menangkap basah Euis yang kembali melamun.

Fany nyengir dan mengacungkan aqua botol yang ada di tangannya. Memberitahu Euis agar tidak kekurangan cairan dan menjawab pertanyaan si Mamang yang menggantung.

"Jadi ... 24, ya?" tebak Euis asal. Namun, Tuhan mendengarkan permohonannya.

Ibu guru yang dari tadi menunggu untuk membayar menyerahkan uang pas dengan bercampur nominal. Dua lembar seratusan, dua lembar lima puluhan, satu lembar dua puluhan, satu lembar sepuluhan, dua lembar lima ribuan, dua puluh lembar dua ribuan, Euis tersenyum ramah dan meminta maaf karena melamun tadi.

Syukurlah hari ini berjalan lebih lancar dari hari kemarin. Euis tidak terlalu memikirkan Marwan dan chattingannya dengan wanita sialan itu. Dia sedikit tenang karena Fany mengerti ketidak beraniannya untuk bertanya. Kalau memang betul laki-laki itu selingkuh, apa yang akan dilakukan Euis? Enggak mungkin kan A Marwan gini ke Euis? batinnya terus terusik.

"Belum tutup, Neng?"

"Ehm, bel-" Euis cukup terkejut dengan keberadaan laki-laki yang sejak kemarin dihindarinya. "A Marwan?"

Mode 15% ✓ [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang