Tajuk 12: Otaknya Masih 3G

18 7 0
                                    

Kenapa ngekhianatin aku kalau akhirnya butuh ke aku juga? Fix enggak punya wajah.

Euis menatap laki-laki yang ada di hadapannya, tatapan sengit sekaligus iba. Laki-laki ini pernah menduduki posisi pertama di hatinya, bahkan mungkin hari ini pun belum ada yang mengalahkan. Meskipun Marwan tidak mirip sama sekali dengan Morgan atau Rafael, tetapi tetap saja cinta itu nyata pernah ada. 

Dari cerita yang didengar Euis sejak pulang tadi sampai jam delapan malam ini. Marwan dibodohi oleh Dewi, mantannya yang dulu pernah berselingkuh dan kini kembali menjadi mantan karena menipu. Sesungguhnya orang-orang seperti dialah yang tidak tahu malu, Euis membatin, baginya Marwan masa lalu yang pernah menyakiti dan membodohinya. Jujur, Euis takut kalau dia dibodohi kembali, lalu Marwan pergi dengan wanita lain lagi.

"Is ... Marwan ngerasa salah banget kemarin. Marwan terlalu rakus, sampai enggak tahu diri!" Mungkin kalau hari kemarin tidak pernah ada, Euis akan mengulurkan tangan dan membantunya seperti biasa. Kini semua berbeda dan telah berubah.

"Jadi, A Marwan butuh naon?" tanya Euis sengak. "Kalau mau balik lagi ke Euis, maaf ... maaf banget, Euis enggak bisa."

"Enggak, Is. Aku yakin Euis udah sakit hati banget sama Aa ...," ucap Marwan semakin perlahan. "Bantu Marwan pinjemin uang, ya, Is! Ibu udah minta dikirim."

Hah? Aing enggak salah denger, kan? batin Euis bertanya kasar pada diri sendiri. "U—uang yang kemarin?"

"Itu diambil Dewi, Is. Aa ketipu sama kata-kata manisnya dia. "A—"

"Aku perlu ngobrol sama Fany, A. Uang tabunganku sekarang dipegang dia, kalau dia enggak ngasih berarti enggak ada."

"Eh, Is, gi—"

Euis tidak punya ucapan yang perlu dilontarkan lagi, tubuh kecilnya beranjak bersama tangannya yang menarik tas gendong ke pundak. Tanpa suara Euis maju dua langkah. "Euis pulang dulu, udah malam."

"Is ... usahain, ya!" Marwan bersuara lantang. Laki-laki itu tak ingin repot-repot mengantarkan perempuan yang dia butuhkan sampai ke indekos atau bahkan ke jalan raya.

Euis menimang apa yang harus dilakukannya. Wajah Marwan yang memelas kalah dengan wajah sembrono dua Minggu lalu. Ah, ternyata udah dua minggu? Euis menyunggingkan senyum lalu mengikuti kakinya berjalan ke arah yang hatinya kehendaki.

Jalur Sukabumi memiliki keanekaragaman manusiawi. Ck, Euis salah satu bunga yang tumbuh di kota, terpapar sinar matahari, polusi, mungkin ada karbon dioksida dan karbon monoksida. Meski terlihat indah tetapi tidak terjaga. Seperti muda-mudi yang ada di sekitar Euis, begitulah dia dulu bersama Marwan.

Euis menyusuri jalan berbatu di sisi kanan jalan raya yang sudah diperbaiki pemerintah tahun lalu. Jalur, jalanan lurus a.k.a bebas hambatan itu menjadi tempat baru bagi remaja yang menjelang dewasa untuk coba-coba. Menurutnya, mungkin sebenarnya tidak juga.

"Jalan sendiri enggak nyaman!"

Euis terperanjat, tubuhnya berbalik cepat tanpa sadar kakinya menginjak batu yang lumayan besar, kalau bukan ada tangan yang lebih dulu menahannya Euis pasti sudah terpingkal.

"Kang Naufal?" pekik Euis, cukup terkejut dengan kehadiran anak bosnya itu.

"Heem." Laki-laki yang masih menggenggam tangan Euis itu mengangguk. "Entong akang!"

Dengan tangan erat yang membuat diri Euis seimbang, dia hanya tersenyum mendapati Naufal yang berbeda. Astaghfirullah ... Euis, berdosa banget.

"Jadi harus apa?" Euis bertanya seraya melepaskan diri dari laki-laki itu.

"Apa, kek, yang sekiranya nyaman untuk teman yang seusia." Naufal tersenyum menunjukkan kerapian giginya dengan taring yang sedikit lebih panjang di bagian atas. Lucu!

"Wkwk, Naufal aja kalau gitu!" Euis tersenyum sambil melanjutkan perjalanan. "Euis duluan kalau gitu, mau pulang."

"Bukannya kosan Euis di sana?" Naufal bertanya dengan tangan yang menunjuk ke lain arah.

"Mau ke Teh Fany dulu." Eh, kenapa Naufal tahu kosan aku? Ah, dari Mang Juned. Iya, pasti. Euis kembali mengeluarkan senyuman ramah. "Teh Fany, kan, lagi galau tadi. Jadi, siapa tahu dia bu—"

"Fany enggak butuh temen curhat sekarang. Masalah dia biar urusan dia kalau untuk yang satu ini."

"Kang Naufal tahu?" tanya Euis seraya mendekat. "Euis enggak pernah liat Teh Fany nangis gitu soalnya."

"Naufal ...," ulang Naufal mengingatkan kecerobohan Euis dalam memanggilnya. "Euis enggak perlu tahu juga. Urus aja masalah sendiri." Naufal bergerak melangkah mendekati Euis.

"Ck! Kok gitu, sih?" Euis merajuk.

"Soalnya enggak gini." Laki-laki yang memakai kemeja cokelat dengan satu garis masing-masing di kanan dan kiri badannya, memakai celana jin warna hitam, menarik pergelangan tangan Euis untuk mendekat.

"Eh!"

"Naufal tahu apa yang mau Euis bilang ke Fany," bisik Naufal tepat di telinga kanan Euis yang tertutup jilbab.

Euis yang masih terheran-heran dengan gelagat tak biasa Naufal bergeming, hanya menatap lurus menusuk ke arah mata. "Apa?" desak Euis saat bisa mengendalikan diri.

"Ikut Naufal." Tanpa aba-aba, tubuh kecil Euis terhuyung mengikuti langkah besar Naufal. Euis menggenggam tangan Naufal lebih erat karena takut terjatuh. Lumayan, kan, jengahnya itu, lho! Di sini banyak banget orang!

Sampai di tempat Naufal memarkirkan motornya, Euis mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum menerima uluran helm dari Naufal. Meski setengah hati, perempuan itu menyambut pelindung kepala. Naufal tersenyum lalu menstarter motornya dan membelokkan terlebih dahulu untuk memudahkan Euis naik.

Jangan diam, Is! Tanya, kamu mau dibawa ke mana sama anak juragan ini? Euis membatin. Jalanan yang dilalui Naufal, Euis sangat mengenalnya. Otak kecil perempuan itu tidak perlu menyambungkan dendrit lebih banyak karena akrab dengan rute ini.

Kafe Move On, kafe tempat sang pemeran utama hari ini sering bertemu Marwan. Euis memperlihatkan wajah sebalnya pada Naufal, dia tidak ingin mengenang apa pun yang bersangkutan dengan Marwan, tapi lihat laki-laki ini. Naufal tersenyum.

"Apaan?"

Terdengar familier di telinga Naufal, dia anteng memarkirkan motornya agar berbaris rapi dengan motor yang lain. Sialnya, Euis malah makin geram karena laki-laki itu masih dengan gayanya, senyum seelegan mungkin.

"Boleh aku tahu, kenapa aku dibawa kemari?" sambung Euis.

"Jawab yang jujur." Naufal melipat tangan di depan dada dan duduk di atas motornya. "Ngapain mau ketemu Fany?"

Euis terperangah atas pertanyaan yang diajukan. Kenapa laki-laki ini perlu tahu? Euis menghela napas. "Mau tahu keada—"

"Itu bohong!" tukas Naufal. "Masuk sana."

Euis ingin memekik atau mencekik pria itu, tetapi urung. Dengan masih setengah hati Euis melangkah, ingin menemukan apa saja yang menjadi alasan laki-laki itu membawanya kemari. Euis langsung masuk setelah membuka pintu, disusul Naufal yang menarik dirinya ke arah kiri dan membalikkan badannta, di kursi paling pojok.

"Menurut A Marwan Euis pasti ngasih uangnya?" Seorang wanita terdengar jelas menanyakan itu.

"Euis itu terlalu berperasaan. Tenang aja, Sayang. Aa yakin dia kasih uang ke kita."

Perempuan yang menghadap tembok matanya membelalak, semakin terbuka suara itu malah semakin jelas. Kurang ajar, sialan Marwan!

Mode 15% ✓ [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang