Laki-laki berusia dua puluh lima tahun yang mengenakan seragam keatasan putih dengan celana bahan hitam masuk ke ruang direktur bank tempat dirinya bekerja. Entah kelalaian apa yang membuatnya dipanggil. Marwan menatap bapak-bapak berusia lanjut yang duduk dengan santai sambil menonton video di ponselnya. Tanpa mengucap sambutan atau apa pun, tangan laki-laki lansia itu mengambil sesuatu di dalam laci lalu meletakkannya di meja.
"Saya sudah mendapatkan pengganti," telak bos Marwan yang matanya tetap tak berpaling pada layar gawainya. Saat tidak ada reaksi barulah dia menatap Marwan. "Kenapa? Ada masalah?"
"Sa—saya, kan, enggak ngelakuin kesalahan apa pun, Pak." Marwan menolak amplop tipis di depannya.
"Dan kamu hanya satpam sementara setelah yang lama bekerja kembali." Laki-laki yang menjabat sebagai bos itu memutar kursinya agar membelakangi Marwan.
Marwan kehabisan akal saat diingatkan tentang statusnya sebagai satpam. Laki-laki itu tak bisa menentang keputusan bosnya yang sudah memunggungi, tangannya meraih amplop yang tergelatak di meja dan membuka isinya. Beberapa lembar uang merah membuat Marwan melupakan kejadian barusan lalu tersenyum.
"Kalau bapak butuh satpam sementara lagi, sa—"
"Saya enggak akan minta kamu," potongnya seraya berbalik. Lalu menaruh ponsel di meja agar dapat dilihat Marwan. Marwan menganga saat menonton dirinya dengan Dewi dan saat dia mengambil sesuatu dalam saku celana orang lain.
"Saya tidak akan memperkerjakan penipu, maling, tukang mesum seperti kamu. Paham?" Wajah si Bos keras dan tegas, tangannya menunjuk ke arah pintu agar Marwan segera keluar.
Bukan hanya malu, laki-laki yang meremas amplop juga sadar betapa salahnya perilakunya. Marwan mengerang, dia akan menyalahkan Dewi atas apa yang terjadi, jika bukan karena mantan sialan itu, Marwan tak akan tergoda dan meninggalkan Euis yang baik padanya. Sayangnya, setelah kaki Marwan melangkah dia semakin sadar bahwa pembenaran tak akan terjadi padanya, dia salah sangat salah. Euis? Wanita tak akan memaafkan kesalahan sebesar ini.
***
Euis dan Fany ada di kafe Move On. Mereka sedang menikmati waktu malam bersama karena Euis akan pulang ke kampung halamannya, menghabiskan lebih banyak waktu untuk orang tuanya dengan bertani atau menanam padi. Fany tersenyum begitu pun Euis, keduanya melupakan masa lalu yang dirasa membawa pengaruh buruk beberapa waktu lalu.
Pesanan mereka datang bersamaan dengan seorang laki-laki yang langsung duduk bergabung tanpa permisi. Fany membalik badan, mencoba untuk mengabaikan Herman dengan celotehan yang, sialnya, tak bisa Fany lupakan. Euis juga risi, berkat hubungan mereka yang retak Naufal memperdayai agar bisa membuat Fany jatuh ke pelukan anak Bos itu. Keduanya sama-sama menatap ke arah lain.
"Keburu cair," nasihat laki-laki itu.
"Baru datang." Fany menyeringai, kenapa harus dijawab, sih! batinnya meminta dia untuk menghadap Herman. "Ada apa?"
"Akang mau minta maaf!" Herman membenarkan letak duduk, kedua tangan dalam saku jaketnya bergerak lalu mendekap diri sendiri. "Kalau ... dimaafkan," imbuhnya.
"Dimaafkan."
Balasan Fany membuat Herman tersenyum, Euis juga merasa lega hingga menatap keduanya. Namun, ulas senyum dari laki-laki bajingan mantan Fany itu memiliki kesan aneh dan berbeda. Pemikiran lain langsung Euis tepis dan merangkulkan tangannya pada pundak Fany.
"Alhamdulillah dapat handphone baru." Euis terbahak.
"Apaan!" teriak Fany, Euis langsung memundurkan wajahnya takut-takut air liur yang terbang itu mengenai polesan wajahnya.
"Akang pamit."
"Heh, Herman!" Suara membahana dari seorang wanita yang berada di ambang pintu membuat Euis dan Fany ikut terperanjat. Tidak bagi Herman, laki-laki itu tampak santai seolah-olah tak ada yang terjadi sore kemarin.
"Hoi, Cantik!" Herman mengeluarkan tangan dari saku sweater abu tuanya. Bergegas menghampiri Dewi yang sudah memelototi dengan tajam. Meninggalkan dua wanita yang menyaksikan mereka dengan serius.
Dewi berjalan cepat lalu menamparnya keras. Beruntung hanya ada mereka berempat di dalam kafe karena bukan hari-hari ramai. Tidak puas sekali, Dewi kembali mengangkat tangan akan menghajar habis-habisan laki-laki di depannya.
Namun, Herman menangkap tangan ramping itu dengan cepat. Tangan itu digenggam, Dewi menarik miliknya dengan amarah yang tinggi. Herman masih setia mempermainkan Dewi.
"Lepas!" teriak Dewi membuat Herman mengernyit, memejamkan mata berharap telinganya tak mengalami kerusakan. Herman memelintir tangan Dewi, sampai wanita itu menjerit.
"Suaramu menjijikan sama dengan perangaimu!" sindir Herman. Dewi semakin geram apa lagi laki-laki itu langsung melangkah pergi setelah mengatainya.
"Woi, Herman!" Dewi mengikutinya keluar. Dua orang yang sejak tadi menonton ikut keluar saking penasarannya, bahkan waiters yang setia ikut bergumul. Euis menarik sudut bibir kanan, lalu mengikuti Fany.
Dewi terjatuh dan Herman menaiki motornya cepat, sebelum benar-benar pergi laki-laki itu menatap penuh harap pada Fany. Begitu yang ditafsirkan Euis, entah apa yang akan dilakukan laki-laki itu malam ini. Euis menunggu Marwan yang katanya akan mengatakan sesuatu malam ini. Malam menyenangkan, ya, Wi? batin Euis memenangkan permainan.
"Aaa!" Dewi berteriak kencang, menampilkan suara cempreng miliknya.
Deru motor Herman meninggalkan tempat parkir kafe. Sangat kencang, sampai beberapa orang di sana merasa ngilu mendengarnya. Namun, tepat di belokan dentuman keras bersama dengan seseorang terpental membuat orang-orang yang ada di sana terkejut. Bahkan Dewi menghentikan aksinya memaki dan hanya ternganga.
Beberapa orang yang lebih dekat menghampiri si pengendara yang terbujur, dentuman terdengar lagi, api berkobar menghiasi salah satu motor. Fany masih memiliki tenaga untuk menghampiri orang-orang yang sibuk menghentikan api dan membawa sosok tubuh ke pinggir. Berbeda dengan Euis yang masih terpaku dengan tangan meremas celana kulot biru dongkernya.
Dewi beranjak dari duduknya saat seorang pria digiring untuk bersandar ke dinding rumah warga. Laki-laki itu sangat mereka—Dewi dan Euis—kenal.
"Marwan!" panggil Dewi sadar, dia berlari dan mendekati laki-laki penuh luka di kening dan pelipisnya, bahkan baju abu muda yang dikenakan sudah terkontaminasi warna lain.
Fany tak bisa berkata banyak mendapati pria yang masih dicintainya terbaring. Demi nafsu yang ingin cepat tuntas seseorang menjalankan rencana yang tak biasa, pun merugikan orang lain. Demi seseorang, sifat bisa berubah, pun menuntut hak agar bisa bersama dalam kesepakatan yang masing-masing pasangan inginkan, meski itu mengambil kewajiban seseorang.
Sebuah tangan menyentuh pundak Fany, memberi kekuatan pada gadis itu. Wanita yang tangannya menggenggam darah segar seseorang memeluk sahabatnya dengan satu tangan yang bersih.
Polisi datang menginterogasi, satu laki-laki yang dikenal Euis pernah membantunya saat di kafe Move On. Ah, waiters! Euis menemukan jawabannya cepat.
"Itu bohong, Pak! Kami kecelakaan, bukan saya yang menabrak laki-laki itu." Terdengar samar saat Euis mengajak Fany untuk menjauhi korban. Lalu, Euis meninggalkan Fany sebentar mendekati Marwan yang tampak marah.
Euis tersenyum pada sipir yang bertugas, melihat Marwan diborgol, Euis tak segan menghampirinya.
"Ini ... karmamu!" sapa Euis dengan senyum paling menawan sama dengan kenyataan paling menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mode 15% ✓ [Revisi]
Romance"Cinta kalian sudah memasuki masa darurat, hanya tersisa 15%. Aktifkan mode daya rendah untuk memperlambat berakhirnya hubungan. Segera!" [Diikutsertakan dalam perlombaan Primrose Media] [Diikutsertakan dalam AnFight Batch 7]