Tajuk 11: Butuh Charger

17 5 0
                                    

Versi terbaru untuk android jaman sekarang, tidak mudah melihat baterainya. Itu hal paling bijak, agar si empunya menjaga dengan baik kekuatan dayanya. Semisal men-charge tepat waktu.

Euis tersenyum memandangi layar dan bagian belakang ponselnya. Ponsel itu sudah dibeli tiga tahun lalu, tahun 2018 tiga bulan setelah dia berkerja di Sport Garden. Perempuan yang selalu memakai celak agar mata kecilnya terlihat lebar itu membelinya dengan kerja keras sendiri. Sambil menyunggingkan satu sudut bibir dia membalas pesan yang datang. Dia jawabanku, Euis merasa puas.

®®®

Huh! Fany memandang aneh pada sahabatnya itu. Saking anehnya, Fany memiringkan kepalanya ke sisi kanan lalu ke kiri. Tidak cukup sampai di sana, perempuan yang mengenakan kulot cingkrang moka itu berjalan menghampiri sahabatnya dan memutari tubuh itu. Fany juga menggosok hidungnya seakan-akan tak yakin dengan penciumannya.

"Euis?" Nada bicara Fany masih terdengar heran. "Euis damang?" imbuhnya sambil terus menatap sekujur tubuh Euis.

"Aku enggak lepas jilbab, lho, Fan! Aku juga enggak pakai bikini? Meni kitu ningalina!" Euis menatap Fany dengan sorot mata tajam, memperlihatkan mata cantik dengan garis buntut di ujung kelopak matanya.

Pakaian Euis tidak berbeda dari biasanya, celana kulot lebar yang tak membentuk dengan kemeja atau kaos sebagai setelannya. Namun, sepertinya sang karib mengagah Euis, mengajak Euis untuk menjelaskan perubahannya.

"Oy!" teriak Fany saat Euis mengacuhkannya dan malah berjalan terlebih dahulu menuju ke jalan raya.

"Apa?" balas Euis sambil tersenyum penuh makna, mau tak mau Fany mengikutinya.

Ck, ditinggal Marwan dia jadi gila! Wah ..., Fany membatin disertai gelengan.

Mereka tidak banyak bicara selama di angkot, ada baiknya dalam hal ini. Apa ada yang tahan melihat dua sahabat beradu argumen panjang yang tak berkesudahan? Beruntung kalau satu dari dua sahabat itu akhirnya mengalah, jika tidak? Tamatlah penduduk angkutan kota!

Euis turun lebih dulu karena duduk di dekat pintu, sedangkan Fany menyusul setelah dua penumpang lain berhasil mendahuluinya. Setelah turun, Fany mengeluarkan ponselnya yang bergetar sedari tadi, dia membukanya lalu keningnya berkerut tak berselang lama kedua mata dan mulutnya terbuka.

Euis tak mau menunggu Fany yang malah mengabaikannya dan memilih masuk lebih dulu. Perempuan yang mulai berdandan, mengejutkan sahabatnya, kini memperlihatkan kecantikan wajahnya pada laki-laki yang terlebih dulu datang.

Reaksi laki-laki itu tak berbeda jauh dengan Fany, tetapi versi kerennya. Kalau Fany lolipop, laki-laki ini versi marshmellow. Euis tertunduk malu melewati Naufal, dia hanya menyapa sebiasa mungkin. Ya, begini lebih baik.

Naufal melihat Fany yang mematung di tengah lapang parkir, matanya yang tak henti menatap gawai membuat Naufal mendekat. Euis mengikuti sosok itu pergi, dia mendengkus karena laki-laki itu tertuju pada teman SMAnya. Euis mengembuskan napas kasar dan membiarkan pasangan itu melakukan apa pun yang mereka inginkan, tetapi dia berbalik dengan cepat dan menemukan sahabatnya menangis. Akhirnya, Euis mengikuti Naufal.

Fany buru-buru menghapus air matanya dengan gerakan tangan cepat dan bergetar. "Enggak, kok, Fal!" serunya sambil buru-buru melangkah. Namun, kaki Fany seolah-olah tak bertenaga. Beruntung, tangan Naufal tangkas menangkap tubuh jangkungnya.

"Fan!" teriak Euis.

"A–aku enggak apa-apa," tukas Fany, "aku enggak apa-apa." Fany menepis lengan kekar Naufal agar terlepas dari tubuhnya. Kemudian, Fany berlari sekuat yang dia bisa tanpa memedulikan panggilan dari teman-temannya dan menyembunyikan dirinya di balik pintu kamar mandi.

"Enggak, enggak, ini enggak mungkin aku!" Fany merangkul kedua lututnya, membiarkan baju dan celananya basah karena duduk di lantai.

Euis dan Naufal saling menatap seperti bertanya apa yang terjadi padahal keduanya sama-sama tidak tahu. Naufal memandang wajah baru Euis, bahkan hanya riasan sederhana membuat Euis begitu memukau.

Dibalut jilbab merah kulitnya sangat kontras, seperti warna itu diciptakan untuknya. Tegas dan berani, tetapi ramah. Bibir tipis yang kemarin pucat, sekarang terang menantang. Pikiran Naufal kacau, dia lekas menjatuhkan tatapannya ke tanah kering yang dipijaknya.

"Beneran enggak tahu kenapa, Kang?" tanya Euis memecah keheningan serta pikiran Naufal.

"Serius!" jawab Naufal sembari menatap Euis lagi. Naufal menggaruk tengkuk dan melanjutkan apa yang dipikirkannya. "Kalian bukannya seangkot tadi? Kok, bisa enggak tahu?"

Euis risi ditatap begitu, terlebih oleh anak bos. Aih! Coba ulangi, dia anak bos Euis! Kau berdandan begini untuknya? Ekspresi Euis yang merenggut membuat Naufal ingin tertawa dan bertanya. "Aku emang tadi bareng, cuma Teh Fany dari tadi cuekin aku. Ya, aku cuekin balik!" Akhirnya Euis menjawab.

"Ehm, gitu ... ia, nanti tanya aja sama Euis kenapa?" Naufal memasukkan tangannya ke saku celana bahan miliknya. Laki-laki itu mengenakan kemeja hitam yang membuat Euis menerka. "Sekarang masuk, bentar lagi buka."

Euis mengangguk seraya menghela napas. Euis tidak tahu kalau laki-laki ini memiliki baju yang sama persis. Masa ia, sih, anak bos bajunya enggak ganti? Kan, malu-maluin bapaknya!

Seharian itu Sport Garden ramai pengunjung. Mulai dari rombongan sekolah terdekat mau yang paling jauh, rombongan remaja sampai ibu-ibu, eh, maksudnya anak-anak TK yang lebih banyak ibu-ibunya, pun geng-geng anak-anak atau bapak-bapak. Begitulah, hari ini padat serta para pegawai tak memiliki celah untuk istirahat.

Euis tak melihat Fany atau Naufal, Euis juga tak melihat Mang Juned yang selalu standby di depan ruangannya setelah kolam renang tutup. Euis memikirkan berbagai hal, terutama masalah Fany yang tidak diceritakan padanya. Ayolah! Kami mengenal privasi, kalau enggak mau cerita, ya, tak ada yang maksa, tapi bukan berarti harus menghindar. Ck! Euis menenggelamkan dirinya dalam setumpuk pikiran, dia merebahkan kepala di meja dan terpejam.

"Is!" panggil laki-laki yang ada di luar ruangan. Bukan Naufal, jangan terlalu berharap. Euis malas berurusan dengan laki-laki pelanggan les privat renang yang ingin menggodanya. Sungguh, tidak saat ini, esok, lusa, dan seterusnya.

"Cuyung!"

Cukup! Euis mendongakkan kepalanya ke arah kaca tempat biasa dia melirik laki-laki tampan yang datang. Kenapa yang datang malah lebih buruk dari pada perkiraannya? Kenapa yang datang membuat hari keruhnya menjadi sangat kotor, bau, dan amis! Kenapa? Euis ingin berteriak di wajah laki-laki yang saat ini menatapnya dengan senyum meneduhkan. Fix! Mulai kotor lagi. Laki-laki ini menyeramkan.

"Aku perlu ngomong, Is! Penting." Nada bicara, raut muka, seolah-olah dia yang paling ternista.

Namun, ketahuilah ... laki-laki ini tidak punya hati dan paling hina saat dia mengambil uang lima juta di ATM-nya Euis. Euis mendelik, lalu kembali duduk dan mengabaikan laki-laki yang memandangnya penuh penyesalan.

Mode 15% ✓ [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang