Tajuk 6: Paket Extra ComBo

23 9 0
                                    

"Makanya, jadi cewek itu kudu mahal. Minimal kalau di paketan, tuh, yang ekstra kombo pas ngisi kuota. Jadi, enggak cepet habis dan bertahan lama." Mang Juned ceramah di depan gadis yang air matanya berderai. Enak kalau jadi putri duyung kayak di film-film, air matanya bisa jadi mutiara, ini manusia? Ngabisin kapas!

Mang Juned mendatangi rumah kontrakan-penghuninya bilang ini indekos atau kontrakan, bahkan Euis pun merasa ini indekos yang seluas kontrakan-bersama Fany setelah pekerjaan di Sport Garden tuntas. Niat Mang Juned ingin mengetahui keadaan anak perempuan pungutnya itu setelah diputuskan atau lebih tepatnya dipermalukan Marwan. Ternyata, keadaannya lebih kacau dari pada yang diduga Mang Juned.

Euis menceritakan perihal Marwan mengambil dana di kartu kreditnya, pun kata-kata menyakitkan laki-laki yang tak tahu diri itu. Masih dalam isak tangis, bedanya sekarang tengah dirangkul Fany, Euis bercerita sambil sesenggukan. Fany tentu saja terkejut dengan perkataan sahabatnya, dia menepuk pundak dengan irama konsisten.

"Euis harus gimana coba, Mang?" tanya Euis masih dengan nada galau yang pada bagian dari kata 'Mang' huruf vokalnya dibuat selama mungkin. "Euis ma-ah ... udah sakit hati, ish!"

"Terus mamang kudu kumaha? Arek lapor polisi?" Mata Mang Juned menatap Euis bingung, alis kanannya yang sangat tebal juga hitam legam terlihat menakutkan.

"Duka," balas Euis tanpa melihat ke arahnya.

"Gini aja menurut mamang, mah." Laki-laki dengan rambut sedikit bergelombang yang gondrong itu mengubah posisi duduknya dari berselonjor menjadi sila. "Minta ganti dulu ke si Marwan. Itu uang Euis atau uang gono-gini?"

Terbelalak. Bukan Euis, tetapi Fany. Tentu saja, masa ia belum nikah udah ngumpulin harta gono-gini, kan, enggak mungkin. Ada-ada wae si mamang, mah, emang. Fany memelototi dan mengungkapkan jua kalimat yang ada di hatinya.

"Dasar Mang Juned!"

"Ari Fany. Uang gono-gini di sini, maksud mamang, bisa aja Euis sama Marwan nabung patungan buat modal nikah!" jelas Mang Juned, perempuan itu tersenyum canggung menyadari ketololannya.

"Itu uang yang Euis kumpulin buat kuliah!" kata Euis menengahi kedua orang yang dianggap kerabatnya. "Mang Juned tahu, kan, Euis pengen banget kuliah! Euis pengen banget raih cita-cita."

Isak Euis masih memenuhi ruangan bercat ungu itu, menemani hari yang semakin kelam dan menghabiskan waktu hari ini yang masih setia berdetak.

Berpacaran lama dengan Marwan membuat Euis mengenal suara motornya. Dari jarak beberapa meter, Euis sudah bisa mendengar suara jelek dari knalpot motor racing butut, bahkan suara bebek pun lebih enak di dengar. Euis buru-buru terdiam, tangannya terangkat untuk memberi kode agar tidak bicara. Suara semakin dekat, Euis yakin.

Euis meminta Mang Juned untuk menghadapi laki-laki itu, tawaran yang langsung disetujui. Mang Juned keluar dengan langkah santai, membuka pintu lalu melihat ke arah Euis sambil tersenyum. Miris, karena Euis merasa ada sembilu yang menyayat hati tak berkesudahan. Euis juga mewanti-wanti apa yang akan disampaikan laki-laki itu.

"Eh, Mang Juned!" Teriakan wanita yang pertama kali di dengar Euis.

"Dewi!" ucap Fany sontak membuat Euis semakin terlonjak.

Indekos delapan pintu itu berjejer rapi, bercat abu perpaduan krem memang menenangkan mata. Tidak ada gerbang yang menutupi indekos, mata langsung disuguhi penampakan rumah dan kaki langsung menapaki keramik putih bersih.

"Kirain ini kosan cewek. Eh, ternyata laki-laki juga boleh masuk." Dewi tertawa kecil berniat meledek, "Atau Euis sering banget masukin cowok ke sini!" sarkasnya.

Euis memeluk lututnya sendiri, mengabaikan Fany yang sudah menghujat wanita itu habis-habisan. Euis tidak akan keluar, dia mengandalkan Mang Juned sebagai penjaganya. Maaf, Mang, batin Euis mengadu.

"Udah lama, ya, enggak ketemu Neng Dewi." Mang Juned melangkah lebih dekat ke arah sejoli itu. "Makin cantik aja, euy, boleh bayar berapa?"

"Apa, sih, Mang?" desak Marwan maju satu langkah. "Mana Euis?"

"Ada di dalam."

"Panggilin, Mang. Ada yang mau Marwan bicarakan!" tegas Marwan tanpa basa-basi, Dewi yang tadi menekuk wajahnya karena pertanyaan bayaran, kini ikut tersenyum kecut memandang ke arah kosan nomor lima.

"Sama mamang aja. Bentar lagi magrib, enggak enak." Mang Juned melangkah mendekat ke arah Marwan yang berdiri sambil menyilang kaki, perangkat jemala terpasang di telinga kanannya. "Dikemanain uangnya?"

Marwan mengernyitkan sebelah mata, memandang dalam pada laki-laki tua di hadapannya. Beruntung, Mang Juned tidak kalah tinggi. "Jadi si Euis cerita ke mamang? Chh!"

"Terus mau cerita ke siapa? Ke polisi?" Mang Juned mencoba mempertegang suasana. Marwan terlihat kehilangan suara, wajahnya pun merah padam.

"Ke polisi gimana aturannya? Orang kartunya di Marwan terus dia passwordnya tahu. Jadi, berhubungan sama polisi itu enggak akan terjadi." Dewi mendapat keyakinan terlalu tinggi.

"Terserah, jangan salahin mamang kalau kalian masuk penjara." Mang Juned berbalik arah, memperhatikan pintu yang tertutup lalu menggeleng.

"Is! Awas aja kalau, lo, berani ya! Nanti kena sial sendi-"

"Oh!" seru Mang Juned seraya berbalik. "Bukannya kemarin kamu dibayar tujuh lima, ya, sama Hadi?"

Mimik wajah jenakanya berubah total menyeramkan.

®®®

Naufal datang bersama Mang Juned pagi sekali, jam setengah tujuh. Kedua laki-laki itu membicarakan banyak hal, mulai dari kapan pembangunan akan dimulai, menghitung karyawan yang ada dan jadwalnya, sampai ke kenaikan gaji atau bonus jika melebihi omset.

Mang Juned mengangguk-angguk saat Naufal memaparkan pendapat-pendapatnya yang sebenarnya tidak memerlukan persetujuan Mang Juned. Namun, pria terpelajar itu tidak pandang bulu atau meremehkan Mang Juned, Naufal terus memancingnya agar bersuara dan berdiskusi dengannya. Sebagai kepercayaan ayahnya, Mang Juned juga laki-laki yang jujur serta bertanggung jawab.

"Sarapan dulu, Mang!" ajak Naufal pada Mang Juned.

Mode 15% ✓ [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang