Tajuk 17: Format SD

12 6 0
                                    

Seisi ruangan memandangi tiga manusia yang berdiri saling berhadapan, tertantang. Dewi menyadari situasi tak mendukungnya sama sekali. Ada beberapa pasang mata yang mengabaikan kehadiran tiga orang yang membuat keributan, tetapi lebih banyak yang melihat. Mendengar kata-kata laki-laki yang berdiri meremehkan di hadapan Dewi membuat Marwan geram, bukan pada laki-laki itu, tetapi pada kekasihnya.

"Apa katanya?" tanya Marwan sambil menatap Dewi, telunjuk Marwan langsung menunjuk laki-laki yang berdiri melipat dada di sampingnya. "Dew, jawab!"

"Apa?" Dewi menelusuri sampai ke segala penjuru ruangan. Menelisik satu per satu yang mungkin menyudutkannya seperti hari dulu. Dipermalukan, di depan umum.

"Tidur sama dia!" cerca Marwan sambil menunjuk tepat di wajah Dewi.

Tangan Dewi naik secepat kilat, ingin menghajar kekasihnya yang seenaknya mengatai di depan umum. Apa artian jablay menurutnya? Wah! Dasar berpenyakit.

"Haha!" Laki-laki yang berdiri di sampingnya terbahak, memperlihatkan sampai ujung rongga mulut. "Kalian lucu!"

Laki-laki itu menyeret kursi Marwan lalu mendudukinya dengan tubuh yang sengaja dijatuhkan. Kaki kursi itu berderit. Semua orang sekarang memperhatikan pria dengan brewok cukup lebat, meskipun sebenarnya cocok untuknya pandangan orang tetap memandangnya aneh.

Marwan yang senewen ingin menghajar laki-laki itu, tangan kanannya sudah menarik kaus yang menutupi leher laki-laki itu.

"Beraninya ngatain kekasih orang!" Marwan melayangkan satu tinju.

Naufal dan Euis yang berada di sudut ruang menonton dengan damai. Toh, laki-laki itu bukan siapa-siapa lagi. Euis memantapkan hati, meraih gagang garpu lalu mengaduk bakmi yang menjadi santapannya malam ini. Euis mendengar Dewi berteriak, lalu dengan bodohnya mengungkapkan Marwan.

"Terus apa?" kata wanita itu lagi. "Aku emang suka ganti pasangan. Tapi ... emang kalian lihat sendiri kalau aku kencan sama dia?"

Konyol! Pengungkapan jati diri yang sangat menyedihkan.

Dewi mendorong Marwan sampai terjerembap di lantai. "Heh! Kamu juga enggak tahu diri, ya! Ninggalin si Euis cuma buat dapat 'ini', gara-gara si Euis enggak mau ngasih, kan!" Dengan mengucap kata ini, telunjuknya bergerak ke arah dada.

"Jadi, kalian duo busuk!" tukas laki-laki yang memperhatikan dengan sorotan sangat tajam. "Wah! Tapi emang 'punyamu' boleh juga!"

Sebuah tangan entah dari mana mendarat dari sebelah kanan laki-laki yang baru selesai mengatakan ungkapannya. "Tolol! Jadi, dirimu bangga?" tanya wanita itu dengan tatapan tajam ingin segera menerkam laki-laki dengan mulut manis.

"Fany!"

Dua orang mengucap nama itu bersamaan. Semuanya terpaku.

***

Empat tahun lalu. Herman meninggalkan Fany, saat laki-laki itu sudah mengambil semua yang wanitanya miliki. Terpuruk dan terjatuh, Fany tahu bahkan sadar sesuatu dalam hatinya mendapatkan titik terendah. Hati dan batinnya kesakitan, tetapi tak ada seorang pun yang bisa diajak kompromi dengan nasib Fany ke depannya. Terlepas dari apa yang wanita berusia 18 tahun itu lalui, semua dilakukan secara sukarela. Tuntutan apa yang harus diajukan dan atas dasar apa seseorang meminta hak padahal tidak menjalani kewajibannya dengan baik?

Kini ... laki-laki yang membuat Fany menelan rasa sakit bulat-bulat seorang diri tengah mempermalukan wanita lain dengan wajah tak berdosa. Fany mengembuskan napasnya kuat, membuang rasa sakit yang mungkin hadir dalan dirinya. Mata Fany memanas, tak ada lagi yang bisa dibendung selain pengungkapan dalam hal apa pun.

Mode 15% ✓ [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang