Tajuk 1: Hapus Chace

165 24 7
                                    

Hal kecil yang membuat Euis tersenyum bahagia, membersihkan kaca.

Sebagai seorang yang bekerja di bagian penerimaan karcis, Euis biasa membersihkan kaca ruangannya yang transparan itu sendiri. Selain tidak mempercayai Mang Juned sebagai tukang bersih-bersih yang baik apalagi perfeksionis, Euis juga mempunyai kesempatan untuk mengatur tingkat kebersihan. Misalnya saja, kaca yang tepat mengarah ke wajahnya harus paling kinclong dibanding area yang lain. Setidaknya bagi Euis, melihat laki-laki tampan adalah bonus dari Tuhan saat dia mendapatkan pekerjaan seberat ini.

Euis Barirah seorang perempuan keturunan USA, Urang Sunda Asli, yang keramahannya selalu melekat, entah pada yang muda atau yang tua. Daya tarik inilah yang menjadikan Euis bekerja di Kolam Renang Sport Garden.

Hari-hari Euis dipenuhi dengan tarikan sudut bibir sampai melengkung sempurna, bak bulan sabit. Suara Euis yang lembut tanpa dibuat-buat membuat pelanggan yang mengambil jadwal rutin untuk les renang merasa betah. Euis sadar, kebanyakan manusia yang mengambil les adalah laki-laki, tetapi itu tak menjadikannya wanita yang tak dihargai.

Euis memakai kulot hitam dengan baju kaus merah, sebagai setelan biasa yang sering digunakan hari Senin. Perempuan itu sedang mengusapkan kain dengan tangannya pada kaca transparan, kegiatan kesukaannya. Memperhatikan detail setiap inci benda yang berbentuk segi empat itu. Tangan Euis beralih ke sana kemari, tetapi tatapan matanya hanya fokus pada satu titik.

"Tumben, Neng!" sapa Mang Juned yang memasuki ruangan 3 m² itu. Ruangan khusus penerimaan karcis dan pendaftaran les.

Perempuan yang diajak bicara itu tetap fokus pada acuan, tangan pun tak berhenti mengusap ke kiri dan ke kanan.

"Neng Cuyung!" seru Mang Juned disertai tepukan pada bahu kecil perempuan di hadapannya.

"Eh-" Euis terkejut dengan kehadiran bapak beranak lima itu di ruangannya. "Kenapa mah Mang Juned?" tanyanya tanpa ekspresi.

Mang Juned mengernyitkan kening, menatap tubuh mungil yang biasanya bergerak lincah mengayunkan tangan di dalam ruangan, kini mengatasi keterkejutannya tanpa ekspresi. "Dipanggil dari tadi enggak nyaut, eh!" ungkap Mang Juned setelah melihat Euis kembali melamun.

"Hah?" Dengan mimik yang sepertinya tolol, Euis yakin Mang Juned akan mewawancarainya dengan pertanyaan 5W+1H.

"Nen-"

"Mang Jun, bantuin aku!"

Nuhun, Gusti ..., batin Euis bersyukur. Euis hanya tersenyum kaku saat Mang Juned mengembuskan napas panjang dan segera memenuhi panggilan itu.

Pesan default!

Tangan Euis bergerak cepat meraih ponsel pintar di meja dekat tumpukan karcis. Setelah memungutnya, Euis menatap nama yang tertera lalu ibu jarinya menyentuh layar.

Anu Kasep, Marwan ❤️ : Semangat kerjanya, Cyung! Kangen kamu.

Chh, kurang ajar sampah masyarakat. Euis membatin.

®®®

Sport Garden selalu ramai setelah bertambahnya kolam. Beberapa orang dewasa terlihat asik bercanda ria di pinggir kolam, membuat dua penjaga kantin, pasutri, yang berada di stan awal memperhatikan mereka, berharap orang-orang itu memborong dagangannya yang tinggal beberapa lagi. Pun, Euis yang melamun di depan ruangannya. Meski kena semprot pendatang, penyewa, pendaftar, bahkan Mang Juned-selaku pegawai tertua di sini-berkali-kali, tiada habis pandangannya menatap kosong.

Sudah jam lima sore, Euis mendapat istirahat terpanjangnya seharian ini. Waktu tutup dan para tamu sudah harus pulang. Namun, tetap saja wajah mojang priangan itu tak menunjukkan auranya sama sekali.

"Kenapa sih ini anak, herman mamang mah da." Mang Juned lagi-lagi mendapati Euis membereskan perabotan miliknya dengan kebengongan yang memuakkan. Jangan berharap wajah bengong itu mirip Pevita Pearce, sangat enggak mirip, roman Euis sekarang tidak lebih dan tidak kurang kayak ikan cupang kalau ketemu lawannya. Yups, seburuk itu.

"Kenapa apa?" Euis akhirnya bertanya.

"Ehm-"

"Ah, terima kasih." Euis mengalihkan perhatian pada muda-mudi yang bergandengan tangan berjalan di depannya ingin keluar dari gedung. Senyum yang biasanya tercipta merekah, terlalu kentara dipaksakan.

"Kamu lagi galau, Is?" Mang Juned menatapnya intens.

"Iya." Euis membalasnya dengan kejutekan yang tak dapat terbantah.

"Gegara Marwan udah enggak kerja di sini?"

"Ih, si Mamang!" sungut Euis kesal. "Dia udah seminggu lebih kali, Mang, enggak kerja lagi di sini. Kenapa aku kudu galau?"

"Terus? Kenapa pake jutek kitu. Enggak liat tadi, pelanggan bilang kamu kayak yang enggak mau ngitung mereka, kagak mau nerima duit?"

"Bukan gitu, Mang." Alis kanan Euis terangkat satu lalu melanjutkan, "Enggak pernah apa liat cewek galau?"

"Yowes, enggak mau cerita enggak apa-apa. Mamang tinggal dulu."

Laki-laki tua itu berjalan keluar ruangan Euis, membuat keheningan yang hanya meninggalkan suara air dari spam. Bergemuruh. Euis menelungkup tangan di meja disusul dengan kepala yang tertunduk dalam. Salahkan laki-laki terong itu, Mang.

"Oh!"

Euis tersentak karena Mang Juned masuk dengan suara yang enggak lucu banget sampai rona mukanya semakin tak karuan.

"Maaf-maaf," kata laki-laki yang menggaruk kumisnya. "Jangan dulu pulang, ya, majikan kita mau ke sini!"

"Lagi?" Euis tak habis pikir, mengucapkan satu kata itu dengan nada tanya. Bodohnya, kenapa dia harus bertanya seakan-akan Sport Garden ini tak memiliki tuan. Sangat bodoh, Is! Sangat!

"Hush! Kali aja mau ngasih tunjangan sama anak-anak karena udah bertahan di sini!"

Pria tua itu selalu berpikir positif, hal itulah yang Euis pelajari dari pria yang usianya sama dengan ayahnya. Euis selalu mengambil pelajaran hidup, entah memaafkan entah meminta maaf, Mang Juned punya cara tersendiri untuk melakukan itu.

"Ya-" Euis berhenti melanjutkan karena teringat sesuatu. "Seseorang pasti ngelaporin kerjaan Euis enggak bener hari ini!"

Mang Juned memasang wajah seolah-olah masa iya? Aku enggak ah! Itu membuat perempuan yang masih galau bertambah gegana. Kemudian, bertambah gila saat Mang Juned hanya menggaruk lagi kumisnya sambil berpikir kemudian pergi.

Euis menggigit bibir atas karena mengingat hal apa yang akan dilontarkan bos besar padanya. Mungkinkah sama seperti Marwan yang langsung dipecat dari sini hanya karena satu kesalahan? Ah, kepala Euis semakin berat saja. Belum sempat berhasil menormalkan senyum di galeri otaknya, kini dia harus membuang apa yang namanya chace.

Padahal manusia punya sel anti virus sendiri, tetapi kenapa jalannya lebih lambat dari ponsel Euis yang harganya hanya dua juta? Tolong hapus kata manusia itu karena mungkin hanya Euis yang terlalu banyak sampah dalam dirinya, hinggap anti virus pun tak mampu menjernihkan hatinya.

Suara-suara di luar menyadarkan Euis untuk segera mengubah posisi, ditambah ketukan yang ada di pintu membuat napasnya turun naik dengan cepat. Bibir atasnya kembali ia gigit kala bosnya lewat tepat di depannya.

Tampang berwibawa dari si Bos kadang membuat Euis kagum, tetapi sorot mata mengerikannya-

"Euis!" panggil si Bos.

Euis mengangkat kepala untuk melihat pria tua yang ternyata berdiri di hadapannya. Ah, si Bos tidak sendiri ada satu laki-laki tampan di hadapannya yang kini ikut memandangnya.

"Biasanya Euis paling lebar senyumnya!"

Kembali dengan posisi bengongnya yang tidak mirip Pevita Pearce, Euis merasa konyol dengan sikapnya yang tidak biasa. Bodoh!

"Eh, hehe. Maaf, Pak! Euis kayaknya lagi kurang gula." Wajahnya sedikit berseri dan dia memasang mimik yang dia pikir itu akan terlihat seperti biasa. Ya, seperti Euis Barirah yang selalu siap menyambut tamu dengan hangat.

Mode 15% ✓ [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang