Tajuk 15: Spin The ... App

17 7 0
                                    

Euis tak bisa berkata apa-apa saat Dewi menuduhnya dengan berbagai macam kata-kata yang dilontarkan. Ok, dia berhasil membuat Euis malu di antara kerumunan orang yang datang. Euis menatap ke arah Naufal yang hanya memperhatikan semuanya dengan berdiam diri. Semua laki-laki sama aja, Is, perbedaannya hanya satu, gaya rambut.

Euis teringat kata-kata Mang Juned, entah kenapa yang terlintas di benaknya kata-kata konyol milik bapak-bapak itu. Euis kembali menatap Dewi yang menatap nyalang padanya. Apa kesalahannya sampai dia mendapat perlakuan begini? Euis tak sampai hati mengatakan aib seseorang di depan umum. Wanita dengan khimar simple pet itu berbalik untuk melangkah menjauhi teriakan Dewi.

"Keren!" seru Naufal. "Kemarin saya ketemu di Kafe Move On sama laki-laki yang ada di seberang sana bareng cewek ini." Naufal menunjuk Marwan yang ada dua langkah di belakang Dewi dan menunjuk Dewi.

Euis terperanjat saat Naufal maju mengatakan hal itu pada orang-orang yang melihat Dewi yang menangis bombai karena pacarnya Euis dekati. Fiuh! Jijik aku. Euis masih menatap Naufal yang berjalan semakin dekat pada Dewi.

"Mereka pacaran setelah laki-laki itu mengambil uang wanita yang tadi difitnah. Wanita itu." Naufal menunjuk Euis dengan senyuman lebar, gingsulnya melelehkan lutut Euis. "Uangnya gede banget lagi," imbuhnya sambil menunjuk wajah Dewi dan orang-orang hanya menggeleng.

"Kalian pasti lebih suka bukti dari pada omdo doang, kan? Yups, orang Indonesia seharusnya mengandalkan indra penglihatan dan pendengaran, bukan hanya penglihatannya aja."

"Bener! Lagian saya enggak liat teteh itu ngedeketin cowok kamu! Jangan fitnah kalau sendirinya kegatelan." Seorang ibu mengubah suasana jadi ricuh dan menodong telunjuk-telunjuknya ke arah Dewi.

Wanita itu terdiam saat rencana keseluruhannya gagal. Marwan pun tampak marah, ingin memakan Naufal dan Euis bulat-bulat jika dia bisa. Sejoli itu pergi dengan hentakan kaki yang nyata, Euis berterima kasih pada Naufal dengan wajah yang tersenyum lega.

"Lain kali dilawan!"

Euis tersenyum. Tentunya, karena aku sudah punya kekuatan yang sebanding dengan mereka, aku akan melawan tanpa takut kalah, bukan? "Hehe, makasih Kang. Ke depannya aku bakal lawan!"

"Harus. Kita, kan, enggak punya salah sama mereka. Mereka yang seharusnya malu sama tindakan mereka sendiri!" nasihat Naufal masuk ke relung hati Euis. Maaf, Kang ... hanya menjadikanmu alat untuk membalas dendam pada mereka. Aku harus mendapat kembali uang dan harga diri yang udah mereka rebut. Euis menunduk, dia jengah.

"Kenapa?" tanya Naufal, "jadi ke rumah Fany lagi?"

Hampir lupa! Euis mengangguk menyetujui ajakan Naufal.

®®®

Naufal menunggu Euis di depan indekos, dia tak sabar untuk segera berangkat menyusuri jalan dengan gadisnya. Naufal sudah berganti pakaian dengan kemeja kotak-kotak biru dongker, biru, dan putih. Tak lama sampai Euis keluar dengan kulot biru dongkernya dilengkapi jilbab simpel pet yang senada. Euis dandan dengan polesan tipis ditambah lipgloss yang membuat bibir tipisnya bercahaya.

Apa kita sehati? tanya Euis pada dirinya sendiri saat melihat setelah Naufal.

"Wah! Kita sehati." Naufal menyambut Euis dengan kata-kata itu, membuat wanita yang masih berdiri di ambang pintu, bahkan belum menutupnya, ternganga.

"Malah ngelamun!" Naufal mendekati Euis, lalu berjalan ke arah belakang untuk meraih daun pintu dan menutupnya. "Mana kuncinya?" sambungnya dengan menatap mata Euis.

"Ehm, eh–" Euis sadar dan buru-buru merogoh tas sling bagnya. "Ini!"

"Ok!" Naufal tersenyum mendapati gelagat Euis yang tidak biasa. Air muka perempuan itu terlihat bahagia. Apa aku berdosa? Naufal bertanya pada dirinya sendiri seraya memutar kunci.

Euis masih berdiri kaku di samping Naufal. Kenapa, sih, Is? Inget sama tujuan! Enggak ada hubungan khusus buat anak si bos ini. Dia orang lain dan selamanya begitu. Euis melangkah lebih dulu menuju motor mengabaikan Naufal dan kuncinya.

"Yuk!" Naufal berseru di dekat Euis. Euis mengangguk lalu naik ke jok belakang motor.

Perjalanan ke rumah Fany lumayan jauh, bisa dikatakan ujung ketemu ujung. Motor Naufal membawa keduanya menyusuri jalanan yang tidak lancar. Walau malam tadi mereka melewati jalan berbatu ini, tetap saja hari ini pun perasaannya masih sama. Sakit bokong. Tentu, refleksi pijat alami ini memiliki getaran yang cukup hebat, saking hebatnya Euis turun dengan memegang pinggang kirinya.

Fany mengenakan pakaian serba hitam sedang duduk di bangku depan rumahnya bersama seseorang. Seorang laki-laki yang Euis yakin bahwa dirinya sangat mengenalnya. Perempuan itu melupakan sakit pinggangnya juga laki-laki yang membawanya kemari dengan berlari ke arah dua manusia itu.

"Mang Juned!" teriak Euis. "Teh Fany!"

Fany dan Mang Juned sigap beralih ke arah suara cempreng yang memanggilnya. Mereka tertawa melihat kedatangan Euis yang terlihat bergembira. Di belakangnya Naufal berjalan dengan gaya cool-nya. Anggap semua orang tidak ada, yang berlalu lalang tak ada, yang memakai motor ninja tadi tak ada. Naufal, lah, yang paling tampan di sana.

"Assalamualaikum ...." Euis membungkuk 45 derajat.

Mang Juned dan Fany berdiri. Mang Juned mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Naufal, Fany dan Euis saling merangkul.

"Gimana, udah baikan?" tanya Euis pada perempuan dengan kelopak mata bawahnya menghitam.

"Baik banget." Fany melepas pelukannya dan menjabat tangan Naufal. Naufal pun terlihat sedih melihat keadaan Fany, dia teman saat SMA, pikir Euis.

Keempatnya berbincang banyak hal. Mulai dari anak-anak Mang Juned yang sering bertengkar, istrinya yang mulai frustrasi, dirinya yang kadang pelupa padahal sering dilakukan. Fany juga menikmati kebersamaan dengan teman-teman dan sahabatnya. Euis pun sejenak melupakan curahan hatinya pada Fany.

Mang Juned pulang terlebih dulu, niatnya untuk melihat Fany sudah terbayar. Orang tua satu itu pulang dengan motor gigi bututnya. Euis tak bisa menyangkal bahwa motor itu pernah menyelamatkan dirinya. Semua mata tertuju pada sosok yang meninggalkan pekarangan rumah panggung itu. Euis curi-curi pandang pada Naufal.

"Ekhem!" Fany membuat sejoli itu berbalik ke arahnya. "Kalian kapan mau pulang?" tanyanya melihat dengan tatapan menerka.

"Ish! Dasar segitunya." Euis mengerucutkan bibir lalu duduk kembali di dekat Fany.

"Kalau aku, ya, tunggu dia." Naufal menunjuk Euis yang membuat pipi Euis bersemu merah.

"Jiah! Udah move on?" desak Fany seraya menatap dalam mata sahabatnya itu.

"Apaan, sih!"

Dengan tingkah Euis yang malu-malu kucing membuat Fany terkekeh geli. Tanpa sadar dia menggeleng melihat kelakuan bocah yang ditipu pacarnya itu sudah membuka hati lagi. Dasar Euis!

Ada hati yang sedih, tetapi pura-pura bahagia untuk membuat orang di sekitarnya tak khawatir. Ada yang dengan malu-malu mengakui kebahagiaannya dari mimik wajah. Pun, ad wajah dengan rasa bersalah meski membuat orang lain merasa bahagia.

Mode 15% ✓ [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang