Euis merangkul tubuhnya sendiri, posisi seperti janin yang ada di iklan susu formula yang menampilkan bayi meringkuk, kurang lebih. Malam kemarin Euis menangis sejadinya setelah dirinya dan Fany sampai kontrakan. Hari ini, Euis tak ingin menerima apa pun, entah itu pesan, telepon, kunjungan, atau semisal ada yang berbaik hati memberi nasihat, hikmah, amanah, dan sebagainya.
Wanita yang belum mengganti baju kemeja flanel kotak-kotak pink-putih-merah itu terdengar sesenggukan. Keadaan kamar yang biasa selalu rapi kini acak-acakan. Sampah dan sejenisnya mengotori lantai, selimut juga bantal tak tentu arah. Celana kulotnya sudah terlepas sejak kemarin, Euis hanya memakai legging pendek hitamnya. Nahas, satu kata yang dapat mencerminkan keadaan perempuan itu.
Suara perut Euis menyadarkan dirinya untuk istirahat dari tangisannya. Euis beranjak, memperhatikan sekeliling menyusuri setiap sudut bahkan sisi kamarnya. Gusti ... kenapa bisa acak-acakan begini? Kaki yang pendek berisi itu turun dari kasur setinggi lututnya kira-kira empat puluh lima senti, dia bergegas mengambil tisu yang ada di lemari kecil dekat kasur. Enggak boleh sedih wae Euis, enggak baik, batinnya memberi semangat pada jiwanya yang kehilangan cinta.
Setelah tangan Euis sibuk membersihkan area mata yang semakin sembap dari semalam. Euis mulai memungut sampah, membereskan kamarnya, lalu menyapu lantai agar tidak berdebu. Perempuan yang membiarkan rambutnya acak-acakan sangat gesit membersihkan ruang tidurnya itu, tangannya juga lihai mengatur barang yang seharusnya berada di mana lalu diletakkan di mana.
Perut Euis keroncongan lagi, bahkan suaranya lebih kencang melebihi tadi. Air matanya perempuan itu jatuh lagi, kelopak mata lebarnya tertutup rapat karena bayangan indah berlabuh tanpa permisi di otaknya. Kenapa harus inget sih di saat-saat begini?batin Euis. Tangan mulus putih yang sedikit belang di bagian pergelangan itu menyeka air yang jatuh, rintik yang lagi-lagi setia menyapa.
"Udah dong, Is! Marwan brengsek itu enggak pantes buat ditangisin. Dia pikir dia saha?" gerutu Euis dengan tangan masih berusaha menghentikan laju air matanya. Dia mengingat kejadian saat Marwan mengejeknya karena suara perut. Angan Euis limbung dalam kenangan yang tidak bisa dia tepis. Lagi-lagi tangis pecah.
Apa yang buat A Marwan balik sama si Dewi, sih? Kok bisa A Marwan lupa kalau si Dewi yang dulu selingkuhin dia sama temennya sendiri? Terus, kenapa harus aku yang jadi korban mereka? Euis ingin mengumpat dan berkata yang tidak-tidak. Namun, suara hanya bisa menemani matanya yang berair.
Euis menyalakan gawai lalu menunggu beberapa saat sampai beberapa dering dan getar bersamaan menyapa, menampilkan balon-balon notifikasi dan samar dia melihat pemberitahuan m-banking. Perempuan itu mengambil posisi duduk di pinggiran ranjang seraya mengusap layar itu dengan cepat. Penasaran, dia membaca bahwa sejumlah uang tengah di tarik dari rekeningnya sebesar lima juta. Lima juta? Wedan! Rekening aku dibobol. Tentu Euis ingin marah dan melampiaskannya dengan cepat. Pada siapa?
Tentu saja pada si Goblok Marwan.
Jempol Euis bergerilya dengan cepat mencari nomor telepon bajingan itu. Laki-laki tak tahu malu yang bisa-bisanya mengambil hak milik orang lain dari rekeningnya.
"Apaan ini?" Suara Euis sudah meninggi saat bunyi dengung itu menghilang berganti grasak-grusuk yang tidak jelas.
"Apa?"
"Jangan pura-pura bego, A, yang tahu password rekening aku itu A Marwan."
"Eh—"
Euis mengingat sesuatu lalu bertindak dengan cepat mencari barang yang dia yakini ada pada orang lain. Dompet kulit hitam dalam tas ransel Euis menjadi terpaan kemarahan perempuan yang meletakkan ponselnya di lemari kecil. Dia mengeluarkan kartu dalam isi dompet dan tidak mendapatkan apa yang dicarinya.
"Kartunya juga di A Marwan!" bentak Euis dengan rasa sakit dan kesal berkecamuk.
"Ah, inget ya? Makasih ya ... aku lagi butuh uang soalnya. Dewi belum bisa ngasih uang segini." Laki-laki itu berkata cukup sopan. Sopan bibirnya rapet! Euis menggigit bibir atasnya.
"Aku juga butuh uang, A. Aku pengen uangnya balik." Euis menekankan kata demi kata dalam kalimat singkat itu.
"Kalau enggak aku balikin? Udah, sih. Gaji di sana gede gitu, pasti bisa ngumpulin cepat lagi." Perkataannya membuat Euis jengah, dia pernah mencintai laki-laki seburuk ini.
"Dasar laki-laki enggak punya harga diri, sialan! Iblis terong! Goblok! Aku laporin ke polisi liat aja!"
"Eh, hei! Sa—"
Euis menutup teleponnya cepat. Menangis sejadinya dengan kekuatan yang tersisa. Perempuan itu bahkan tidak jadi membeli makanan untuk sekadar mengisi perutnya yang keroncongan. Sialan, Iblis!
Tangisan Euis akan terdengar sampai rumah sebelahnya yang hanya dibatasi tembok. Jika bukan kehadiran Fany yang membuatnya menghentikan tangis, Euis sudah pasti merongrong tak berdaya seperti onggok sampai yang tadi dia pungut.
Fany merangkul Euis, memberikan pelukan ke-kakak-an yang hangat lalu memberi tepukan hangat juga teratur pada pundaknya. "Udah, Is. Ikhlasin!" seru Fany berharap memberi semangat pada gadis yang telah tumbuh menjadi perempuan ini.
"Jangan nangisin orang yang enggak tahu diri itu sampai menderita kayak gini." Euis melepaskan pelukannya, memperlihatkan teleponnya pada Fany yang memberi informasi jelas mengenai penarikan uang.
"Gila!" teriaknya. Bahkan orang-orang akan terkejut dengan nominal yang ditarik tanpa persetujuan itu.
"Apa sih salah Euis, Fan?" tanya Euis dengan suara sangat mengenaskan.
Boot ulang! Sistem hubungan ini sudah sangat lemah sehingga terjadi percekcokan yang menghambat pertumbuhannya perasaan. Matilah dulu, hidup kemudian.
![](https://img.wattpad.com/cover/254476105-288-k15774.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mode 15% ✓ [Revisi]
Romance"Cinta kalian sudah memasuki masa darurat, hanya tersisa 15%. Aktifkan mode daya rendah untuk memperlambat berakhirnya hubungan. Segera!" [Diikutsertakan dalam perlombaan Primrose Media] [Diikutsertakan dalam AnFight Batch 7]