Tajuk 7: Sinyal Lambat

25 9 0
                                    

Naufal sarapan nasi kuning di depan Sport Garden. Niat hati mengajak Mang Juned, tetapi urung karena alasan yang kurang masuk akal. Yasudah, toh, aku enggak rugi. Laki-laki dengan rambut cepak itu duduk di kursi kayu panjang sembari menunggu dilayani. Menunggu nasi. Kaki Naufal yang panjang disilangkan, tangannya yang menggenggam ponsel bertumpu di atas lutut. Beberapa kali tangan Naufal mengibas di depan wajah, berharap asap dari rokok tak menyentuh penciumannya yang sensitif. Beberapa kali juga dia terbatuk karena tak sengaja menghirup udara yang tidak enak itu, belum lagi asap kendaraan besar yang mengepul di jalan. Mual!

Kemeja navy laki-laki itu berlengan panjang, tetapi gayanya yang digulung sampai ke bawah siku menjadikan pemiliknya cool. Naufal terlihat berkarisma, terpancar dari tatapan wanita-wanita sekitar yang sedang berjalan santai atau mencari sarapan seperti dirinya. Sesekali Naufal tersenyum pada orang-orang yang menyapanya. Namun, tatapan terlalu memuja orang sekitar membuat Naufal tidak nyaman, dia buru-buru menghabiskan makanannya dan kembali ke Sport Garden.

Posisi Mang Juned masih sama seperti saat Naufal meninggalkan tempat. Terlalu memikirkan hal lain, mungkin, sampai-sampai kopinya sudah tak berasap.

Mang Juned masih memikirkan kejadian semalam, merasa iba sekaligus tak enak karena tak bisa membantu banyak. Beruntung Fany mengambil tindakan bijak memblokir kartunya yang hilang dan mengkonfirmasi dan kabarnya Fany bisa menarik sisanya.

"Oh, siap. Alhamdulillah kalau bisa ditarik." Mang Juned menanggapi suara di seberang sana seraya mengangguk paham lalu sudut bibirnya tertarik. Merasakan lega setelah selesai.

"Jadi, Neng Fany izin hari ini?" tanya Mang Juned kemudian dia mengangguk lagi. "Siap, udah dulu, ya, mamang mau buka gerbang dulu kalau gitu.

Bibir Mang Juned masih membentuk sepertiga lingkaran, wajahnya juga tidak semengerikan tadi yang memiliki pandangan kosong. Pria tua itu beranjak dan mendapati Naufal ada di hadapannya, memperhatikan dan-ini baru mungkin-mendengarkan percakapannya.

"Kenapa, Mang?" tanya Naufal dibarengi senyum yang mengembang. "Ada masalah?"

"Eh, enggak. Ini si Euis lagi galau, ditipu juga sama si Marwan." Mang Juned menjelaskannya singkat.

Turun prihatin, batin Naufal. Laki-laki yang kini berdiri di depan pintu untuk menyambut pelanggan itu tersenyum. Begitukah?

®®®

Euis menatap lekat poster yang ada di depan, posisi tertidur menyamping dengan kedua tangan diselipkan di bawah pipi kanannya. Sudut matanya masih terlihat berlinangan, sejak semalam Euis memikirkan apa yang harus dilakukannya pada Marwan. Fany yang bergegas ke bank dan menarik uangnya, Euis merasa sudah terlalu banyak merepotkan sahabatnya itu. Tentu saja, Euis ingin membalas dendam perlakuan mantannya itu dengan mempermainkan laki-laki lain.
Mempermainkan laki-laki lain? pikirnya lagi. Cukup terkejut dengan pemikirannya sendiri, Euis kembali menjatuhkan dirinya pada kegelapan yang hangat.

Seseorang pernah bermimpi, mimpi yang menjadi nyata adalah dengan mengejarnya. Seseorang pernah bermimpi, tetapi dia malah tertidur dan sulit untuk menjangkaunya. Mimpi adalah mimpi, Euis hanyalah pemimpi dan Marwan berengseknya adalah hal gagal dari sepenggal impiannya. Euis kembali menyatukan kakinya ke perut lalu merenggangkan tangan kirinya memeluk bantal. "Jahat! Brengsek! Sialan!" teriaknya sambil menangis.

Fany datang tepat setelah azan magrib berkumandang. Membawa serta sisa uang yang akan Euis simpan di rumahnya. Meski terlihat pucat, Fany sudah melihat perubahan di raut muka Euis.

"Aku udah mintain izin ke Naufal, kok."

"Kok, kayak akrab gitu panggil Naufal sama anak si Bos?" tanya Euis yang telah menyelesaikan ibadahnya.

"Naufal itu temanku pas SMA, euy, kedengaran akrab karena panggil nama bukan bos, ya, wajarlah!" timpal Fany.

"Oh teman?" Melihat ekspresi wajah Euis, Fany bersyukur temannya sudah kembali normal. Setidaknya diriku tidak mendengar rintihan setiap malam, untungnya malam Selasa kemarin, batin Fany mengadu.

"Ck! Apaan!" tukas Fany seraya tersenyum dan merangkul Euis yang sudah berpindah tempat, duduk di sampingnya. "Siap move on!"

"Hihi ... harus. Besok aku masuk kerja, ya." Euis melepaskan pelukannya dan meninggalkan Fany, hendak mengambil minuman.

"Serius udah mau masuk? Udah aku mintai izin, Mang Juned juga udah bantu bilang tadi." Fany mencari sesuatu dari dalam tasnya. "Nyemil!" tawarnya.

Euis mengangguk, jarinya meraih camilan dan tersenyum simpul. "Serius banget."

Fany mengangguk lalu mereka terlibat perbincangan yang panjang sampai menyelesaikan nyawa camilannya. Fany tertidur lebih dulu, Euis yang menenangkan lagi pikirannya mengambil waktu lebih lama, menyelisik ke seluruh ruangan dengan tatapan tanpa arti.

Mereka berangkat bersama setelah menghabiskan seluruh santapannya. Euis dan Fany sampai lebih dulu sebelum Mang Juned, mereka harus duduk dulu di depan menunggu sang pemegang kunci utama. Euis masih banyak melamun, Fany hanya geleng-geleng kepala.

Suara motor memenuhi pendengaran mereka. Laki-laki yang membawa motor Ninja itu menepikannya di depan mereka, Euis memperhatikan detail tubuh jangkung itu dari belakang dan Fany memperhatikannya tak kalah beda. Laki-laki itu melepaskan helm yang menjadi penutup kepalanya, pun sebagai aturan berkendara.

Fany berdiri, hendak menyambut pria itu seakan-akan yakin dengan tebakannya. Euis memandang sahabatnya dari posisi yang masih sama. Laki-laki itu memiliki banyak pembungkus, setelah helm dia masih harus melepaskan maskernya. Pria yang memakai jaket kulit hitam itu mengangguk pertanda menyapa, Euis dan Fany hanya tersenyum.

"Ini kuncinya," ucap laki-laki itu memberikan sejumlah kunci pada Fany.

"Udah mulai kerja?" tanya Fany balik seraya mendekati gerbang dan memilih kunci untuk membuka gembok.

Mode 15% ✓ [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang