Tajuk 18: Mode 15%

14 6 0
                                    

Fany menekan Herman untuk meninggalkan kafe saat semua orang sudah mendengar siapa sebenarnya laki-laki lancang yang menghina Dewi. Herman tersenyum, tetapi raut wajahnya mengatakan hal lain. Fany yang menatapnya penuh kebencian, laki-laki itu beranjak dari duduk lalu melangkah mendekati pintu keluar. Wanita dengan khimar moka senada dengan celana yang dikenakan hanya menatap ke sekeliling.

Pengakuan paling berat saat sebenarnya dia korban dan harus mengakui apa yang hilang dari dirinya. Euis berdiri dari duduknya menatap sahabat yang lebih sakit darinya lalu perlahan mendekat, meminta untuk saling menatap agar terasa saling berbagi. Fany hanya tersenyum pada dua sahabat yang ada di depan matanya.

Cukup.

"Kita duduk," ajak Euis seraya mengulur tangan, Fany langsung meraihnya, mereka berjalan melewati Dewi dan Marwan.

Euis mendelikkan sebelah matanya pada laki-laki yang masih menatap tak percaya. Mereka harus terlihat kuat, berdiri di atas kaki sendiri agar orang-orang yang menyakiti tak lagi bertindak seenak hati. Euis mengambil kesimpulan lalu menatap ke arah laki-laki yang ada di sebelahnya.

Tatapan orang-orang sudah kembali pada perangkat ponselnya, entah mem-posting sesuatu atau bergunjing yang lain sebagainya. Fany dan Euis hanya saling merangkul tanpa mau membuka suara atau bercerita. Lalu, ada laki-laki di sampingnya yang mengeluarkan ponsel.

Mission clear!

Naufal mengajak Fany dan Euis pulang setelah dia selesai mengirim pesan pada seseorang. Supir pribadinya membawa mobil untuk mengantar Euis juga Fany, Naufal memilih untuk menggunakan motornya agar tidak berdampak macet malam Minggu. Naufal menepuk pundak Fany perlahan, tatapan mereka yang dalam merekatkan persahabatan, kata-kata setengah berbisik menjadi salam perpisahan.

Euis masih merangkul Fany selama di mobil, maupun sampai di depan rumah, meski tak ada suara dari keduanya karena terlarut pikiran masing-masing. Setelah sahabatnya berpindah dalam pelukan sang ibu, Euis di antar pulang oleh supir pribadi Naufal. Tidak ada kontak dari laki-laki itu setelah perjalanan, tidak seperti biasanya, membuat Euis khawatir bahkan suuzon.

Baju yang Euis kenakan sangat pas untuknya hari ini, putih tulang dengan salur cokelat susu yang padu padan dengan kulot dan jilbabnya. Hari ini, dia bahagia karena bisa melihat penderitaan orang yang membuatnya menangis, entah itu benar atau tidak, entah baik atau tidak. Bagaimana Euis bisa peduli? Dia meminta turun di jalan raya, dia ingin jalan sendiri untuk menyiratkan kebahagiannya. Euis menaruh memori hari ini di bagian terdalam memori teleponnya, akan hilang jika ponselnya hang atau rusak, bahkan mati.

"Karmamu!" celetuk Euis tepat di telinga Dewi yang membuat wanita itu menatap penuh kejam.

Euis tidak menyangka bahwa Dewi yang menyuruh Marwan untuk mencuri uang darinya. Hebat wanita itu. Langkah kakinya begitu ringan, tak ada beban lagi yang digandrungi olehnya. Rasa syukur itu, dirasakan Euis.

Sabar ... laki-laki itu akan menemui tempatnya.

***

Fany menatap tak percaya pada apa yang dikatakan laki-laki di hadapannya. Masih dengan posisi duduk di atas tumit, kepala laki-laki itu tertunduk dalam, entah menyesali perbuatannya atau karena sudah menyakiti beberapa orang. Kemeja hitam yang biasa rapi, kini tampak kusut lalu pemiliknya seperti tak bernyawa.

Suasana rumah yang tenang, seolah-olah berubah drastis. Tuhan sepertinya sedang suka bermain dengan perasaan seseorang, sampai begitu tega membuat seorang manusia berpikir bahwa mempermainkan banyak orang adalah hal benar untuk mencapai tujuannya. Mendengarnya saja membuat Fany merinding serta lekas menyuruh laki-laki itu pergi. Persetan dengan tatakrama tuan rumah menyikapi tamu!

"Tolong ...." Fany memintanya dengan begitu lirih. "Lain kali, berpikirlah sebelum bertindak. Berjalan peliharakan kaki, berkata peliharakan lidah!"

Laki-laki itu mengangguk setuju, dia melakukan kesalahan sangat besar. Namun, tak bertahan lama dia mulai menyadari apa yang seharusnya terjadi. Rasa bersalah itu, akan mengungkungnya suatu hari nanti. Laki-laki itu membuat Fany menderita.

Fany masuk ke rumahnya meninggalkan pria itu sendirian. Lalu, dia menghubungi Euis untuk mengajaknya bertemu. Fany mencari gawai, celingukan, dia lupa meletakkannya di mana. Bukan karena pelupa, Fany hampir saja melempar gelas kesayangan untuk melampiaskan kekesalannya. Dengan cara yang bodoh dan tak tahu diri.

Maaf Euis ....

Mode 15% ✓ [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang