Euis menangis. Siapa yang tahan melihat orang yang terkasih, ternyata benar-benar penipu. Bahkan untuk yang kesebelas, bukan, bisa jadi kedua belas atau ketiga belas, Euis tertipu karena jatuh cinta pada laki-laki itu. Cinta? F U.C.K, Fuck! Terlalu rumit untuk bisa dinyatakan begitu. Ayah dan ibunya tidak akan bertahan puluhan tahun kalau salah satunya menipu.
Euis masih berdiri menghadap tembok, lalu matanya mencuri pandang pada laki-laki yang membawanya kemari. Ada kata yang ingin Euis ucapkan, tetapi tidak sekarang. Wanita yang masih bau amis karena belum mandi sore itu yakin, bahwa Naufal, tak akan pernah menganggapnya tak punya hargai. Terima kasih, itu saja untuk kali ini, Euis membatin.
Marwan memanggil waiters lalu menambah pesanan kopinya sambil terus memuji karya indah Tuhan di hadapannya. Begitu yang didengar Euis dan Naufal. Marwan yang memuja Dewi, di mata Euis memang cantik, seolah-olah tidak ada cacat dalam diri wanita itu. Terus kenapa? Kenapa dia memberi harapan seperti akulah yang terakhir yang dia lihat? Lagi-lagi Euis menyemburkan rasa luka di hati dengan diam.
Naufal menarik tangan Euis untuk duduk. Bahkan Euis tak sadar sudah ada dua gelas coffee latte di meja yang dia belakangi. Naufal tersenyum meyakinkan bahwa, tak apa, mereka tidak akan tahu kita di sini karena mereka sibuk dengan ulah sendiri, begitu arti tatapan yang Euis yakini.
Go to hell! Benar saja. Mereka berdua hanya terkekeh-kekeh ceria karena sudah berhasil menipu Euis. Naufal tersenyum penuh kemenangan melihat ekspresi euis, ada rencana yang dia anggap berhasil menjadi peluangnya. Entah pada bagian yang ini, entah bagian sebelumnya, uang memang berkuasa.
®®®
Fany izin? Mang Juned menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Tidak ada alasan pasti kenapa Fany izin, itu yang membuat Mang Juned tidak mengerti. Sejak membuka gerbang untuk membersihkan minimal debu di ruang Euis, tempat istirahat di ruangan penyewaan Ban, pun di musala, Mang Juned memikirkan perempuan yang seusia dengan anak pertamanya itu.
Mang Juned mengenakan kemeja merah lengan pendek berpelat abu di ujung lengannya, bawahnya mengenakan celana bahan hitam yang dilipat beberapa kali sampai ke betis. Tangan kanan Mang Juned membawa lap dan tangan yang lain membawa ember berisi air, dia mulai mengelap kaca dari ceruk pendaftaran.
Euis datang bersama anak bosnya. Mang Juned hanya menatap keduanya meski dari jarak jauh. Senyum Euis yang merekah merupakan pertanda baik, laki-laki dengan kumis sehabis dicukur itu ikut menyunggingkan bibir tebalnya. Perempuan yang dilihatnya berjalan lebih dulu, terlihat rona berbeda dari caranya melangkahkan kaki.
"Ekhem!" Mang Juned memberi sambutan.
"Ch! Apa Mang?" tanya Euis yang ditatap oleh ayah sampingnya itu. Kalau bahasa sundanya, bapak tigigir.
Mang Juned membentuk bibirnya dari lengkungan ke bawah, senyum, menjadi ke atas. Bisa dibilang, merajuk? Kedua manusia itu terkekeh.
Euis menggeleng lalu masuk ke ruangannya.
"Fany izin!" kata Mang Juned yang menyembulkan kepalanya dari lubang serah terima karcis. "Tahu?"
"Izin?" Euis mengingat kejadian kemarin. Sejak semalam, pesan yang dikirimnya pun tidak terbalas. "Teh Fany enggak jawab pesanku, Mang!"
"Kitu? Semoga dia enggak apa-apa, ya!" Mang Juned tampak tak enak. Tambahan hal yang Euis suka dari sikap kebapakannya, khawatir pada kami. "Kemarin kerjanya enggak bener soalnya, banyak ngelamun," sambungnya.
"Nanti coba Euis telepon, deh, Mang!" Euis tersenyum meyakinkan, kemudian mengambil lap yang sudah disediakan Mang Juned untuk membersihkan kaca.
Sesuai dengan apa yang disampaikan Naufal, aku harus benar-benar berbeda dari sebelumnya. Memperbaiki diri. Euis menatap laki-laki yang memakai jaket kulit hitam sedang duduk menatap kolam renang. Maaf untuk yang satu ini!
Euis mengirim pesan terlebih dahulu pada Fany sebelum membalik plang bertuliskan buka tutup. Centang dua abu menandakan kalau pesan yang dikirim sejak semalam sudah sampai ke ponsel Fany, Euis menunggu perubahan warna itu sejak semalam. Namun, hingga saat ini belum berubah juga.
Hari makin sore, Mang Juned hendak menutup kolam renang mundur satu jam dari biasanya. Tentu saja itu perintah dari atasan. Naufal pun sudah bersiap-siap untuk pulang dan menunggu Euis di depan. Tak lupa, Naufal memberi gaji tambahan karena satu bulan ke depan kolam renang akan tutup untuk pembangunan.
"Saya harap selesai sebelum sebulan, ya! Doakan." Naufal mengakhiri rapat dadakan dengan para karyawannya.
Euis melamun karena Fany tidak membalas juga pesannya, lebih tepatnya tidak membuka pesan. Naufal memandang wajah lesu itu, dia tak tega dan membawa Euis ke rumah Fany saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mode 15% ✓ [Revisi]
Romansa"Cinta kalian sudah memasuki masa darurat, hanya tersisa 15%. Aktifkan mode daya rendah untuk memperlambat berakhirnya hubungan. Segera!" [Diikutsertakan dalam perlombaan Primrose Media] [Diikutsertakan dalam AnFight Batch 7]