Yara menyeret tas besarnya menuju ruangan kamar di lantai bawah, namun dia bingung saat mendapati dua buah pintu di hadapannya. Dia hendak bertanya dengan berbalik dan terkejut saat pria si pemilik rumah ternyata sudah berdiri di hadapannya.
"Pak Nino, ma-mau apa?" Yara bertanya ngeri, tubuhnya sudah merapat pada pintu di belakangnya. Dia benar-benar takut pria ini akan macam-macam pada dirinya.
Nino tampak menahan senyum. "Aku cuma mau ngasih tau kalo kamar kamu di sebelah sana," ucapnya dengan menunjuk sebuah pintu di dekat dapur. "Kamar itu yang sudah aku bersihkan," ucapnya.
Yara ikut menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Nino, kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada pria itu dan cengengesan. "Oh ma-makasih," ucapnya, berlari pergi menuju kamarnya.
Nino tertawa tanpa suara, entah kenapa melihat Bima atau orang lain yang bersikap waspada pada dirinya membuat ia geli sendiri, padahal dia biasa saja.
Di dalam kamarnya, Yara bersandar pada pintu. Telapak tangannya menyentuh dada yang terasa bergemuruh. "Tenang Ya, ini buat sementara, bentar lagi pasti A Sigit jemput kamu," gumam gadis itu menenangkan dirinya sendiri.
Setelah merasa sudah sedikit tenang, Yara mulai memperhatikan isi kamar yang memang benar sudah rapi, tidak lupa gadis itu menggeser kursi dan ia letakan di depan pintu, berjaga-jaga takut pria si pemilik rumah, ingin mendobrak benda itu.
Ada lemari besar yang tentu saja kosong saat dia membukanya, hanya ada selimut juga sepre yang terlipat rapi. Gadis itu mulai meletakan baju-baju yang ia bawa ke dalamnya.
Setelah selesai, Yara duduk di tepi ranjang, kasur yang begitu empuk ia belai dengan telapak tangannya. Benarkah ini sekarang tempat tidurnya, dia masih merasa tidak percaya.
Pagi hari pertama di rumah itu, Yara bangun lebih awal, berdandan seperti seorang pria, tidak lupa juga melilitkan korset di dadanya agar terlihat semakin rata.
Gadis itu menuju dapur untuk membuat sarapan. Dan bingung saat mendapati kompor di rumah itu yang jauh berbeda dengan yang di rumahnya.
"Kenapa ini tombolnya banyak banget ya, aku pencet yang mana?" Yara bergumam sendiri, karena bahkan kompor di restoran pun tidak serumit ini.
Gadis itu coba-coba memutar knob pada kompor, biasanya langsung keluar api dari sana, tapi ini hanya tercium gasnya saja, dia pun menekan tombol bergambar pemantik api dan terkejut saat apinya menyebar ke mana-mana.
"Abaaaaah!!" Yara berteriak memanggil ayahnya, di tengah kebingungan harus berbuat apa, seseorang menghampirinya dan mematikan benda di hadapan mereka.
"Kamu nggak apa-apa?" Nino bertanya saat mendapati seseorang di hadapannya itu teramat pucat.
Yara tertegun. Dari jarak sedekat ini, dia dapat mencium aroma maskulin parfum mahal yang dikenakan pria itu, wajah tampannya pun terlihat jelas sekali di mata Yara dan dia merasa tidak normal telah mengagumi Nino dengan dirinya sebagai Yayan, gadis itu mundur beberapa langkah. "Nggak apa-apa, Pak. Makasih," ucapnya.
"Kalo kamu nggak tau, nanya aja." Nino berucap lembut. Pria itu mengajari cara menyalakan kompor dengan baik dan benar, "biar aku bantu, kamu mau masak apa?"
"Nggak usah, Pak. Biar saya aja yang bikin sarapan, cepet kok." Yara mengambil alih dua butir telur dari tangan Nino, dan berkata akan membuatkan omlet spesial untuk pria itu.
Nino menurut, dia duduk di kursi dengan meja persegi di hadapannya, pria itu memperhatikan pergerakan seseorang di hadapannya yang begitu cekatan, tidak lama kemudian sepiring omlet pun dia hidangkan.
"Kamu nggak sarapan?" Nino bertanya setelah mengambil sendok yang terletak pada piring di hadapannya.
Yara yang masih berdiri canggung menoleh pada makanan di piringnya yang masih ia taruh di meja dapur. "Saya bisa sarapan sendiri, Pak," ucapnya.
Nino beranjak berdiri, dengan satu tangannya pria itu mengambil piring milik Yara dan meletakannya di atas meja makan, dia pun kembali duduk. "Temani aku sarapan," ucapnya.
Sesaat Yara terdiam, gadis itu pun kemudian duduk di kursinya saling berhadapan. Dalam hatinya masih bertanya, benarkah pria ini tidak normal?
"Kamu kerja apa di restoran? Jadi koki?" Nino bertanya, setelah menyuapkan makanan ke mulutnya yang ternyata enak, dia jadi penasaran.
Yara menggeleng. "Hanya pelayan, Pak. Tapi kadang bantu- bantu koki juga kalo lagi rame."
Nino memdongakkan pandangannya dari piring. Tatapan mereka sempat bertemu sebelum seseorang di hadapannya itu kembali menundukkan kepalanya. "Jangan panggil aku bapak, panggil abang saja, atau sama seperti kamu panggil kakak kamu juga boleh."
Yara yang mulai memakan jatah sarapannya itu kemudian mengangguk, dia jadi bingung harus memanggil apa sekarang.
"Anggap saja aku ini teman kamu."
Yara kembali mengangguk menanggapi permintaan pria itu, sikapnya yang begitu kaku dan terlihat ketakutan membuat Nino akhirnya tertawa pelan.
"Kenapa?" Yara bertanya saat tidak mengerti kenapa pria di hadapannya itu tertawa.
"Kamu takut sama aku karena gosip itu?" Nino kemudian bertanya, tatapannya teduh mengarah pada Yara yang memberanikan diri untuk balik menatapnya.
"Aku nggak percaya bahwa gosip itu benar, tenang saja." Yara mencoba untuk menghibur pria di hadapannya.
"Percaya juga tidak masalah," ucap Nino. Dan membuat seseorang di hadapannya itu terlihat waspada. "Kamu punya mata dan telinga sendiri, bisa menilai apapun tanpa harus lewat pendapat orang lain," ucapnya.
Selalu seperti itu kalimat yang Nino berikan pada setiap orang yang ingin mengenalnya, meski nanti pandangan mereka tetap sama, Nino tidak akan mempermasalahkannya. Dia merasa baik-baik saja dan tidak ada yang aneh dari dirinya.
Nino meletakan satu buah kunci di hadapan Yara, membuat gadis itu mendongak. "Di rumah ini tidak ada asisten rumah tangga ataupun scurity. Jadi jika kamu ingin pulang atau pergi tolong kunci sendiri."
"Baik, Pak. Eh, Bang." Yara mengambil kunci di atas meja kemudian menyimpannya.
"Aku tidak suka kamu membawa orang lain ke rumah ini, jadi tolong dimengerti."
Yara kembali mengangguk, mana mungkin dia membawa orang lain ke rumah ini, sudah diberikan tumpangan saja dia sudah sangat berterimakasih.
"Kalo boleh aku tau kenapa kamu membolehkan aku tinggal di rumah ini?" Yara memberanikan diri untuk bertanya.
Nino yang masih mengarahkan pandangannya pada gadis itu kemudian menjawab. "Karena kakak kamu."
Yara meremas gagang sendok di tangannya, sang kakak pasti sudah begitu memohon pada pria itu, dia merasa terharu karenanya.
"Kakakmu bilang kamu pinter masak, bisa beres-beres rumah. Jadi aku nggak perlu bayar asisten rumah tangga lagi."
Yara ingin menelan sendok di tangannya jika bisa, ternyata sang kakak menjualnya sebagai pembantu, sialan sekali abangnya itu.
Nino beranjak berdiri saat sarapannya telah selesai, pria itu berkata akan ke kantor, kemudian beranjak pergi.
Yara tertegun, pandangannya mengarah pada punggung Nino yang melangkah pergi dari sana, tidak ada keanehan dari pria itu, dia justru merasa bersalah telah menuduhnya yang tidak-tidak.
***
Author: Tuh kan dibilang Bang Nino normal nggak percaya 😑
Netizen: thor kenapa namanya Yara sama kaya Nara nggak kreatif bgt 😒
Author: gapenting namanya Yara apa Kara orang dipanggiknya Yayan, kurang kreatif gimana coba 🤣
Yagapapa ya namanya mirip mirip aku suka wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap (Tamat Di KbmApp)
RomanceSejak dikabarkan gagal menikah, Nino Nakula Adley tidak pernah lagi berhubungan dengan seorang wanita. Hingga berita bahwa dia menyukai sesama jenis membuat keluarga pria itu tidak terima. Nino tidak merasa terganggu akan berita itu, hidupnya normal...