pertemuan

1.7K 347 69
                                    

Yara berkali-kali merapikan rambut palsu yang ia pasang dikepalanya, pakaian sang kakak yang tampak kebesaran menutupi lekukan tubuh perempuan itu, sekilas dari bayangan yang ia tangkap di depan cermin, dia memang sudah mirip seorang pria.

"Tapi suara aku gimana, A? Apa harus digedein?" Yara bertanya pada abangnya yang sibuk merapikan barang. Tempat dia bekerja menyediakan masing-masing satu kamar untuk karyawannya, mungkin sementara barang-barang mereka ia taruh di sana.

Sigit menoleh, kemudian tersenyum, dia punya adik laki-laki sekarang. "Pake kumis tipisnya, abis itu kacamata. Coba aa mau denger kamu ngomong."

Yara berdehem, lalu menirukan suara pria. "Namaku Yara-,"

"Yayan!" ralat Sigit.

"Yayan," ulang Yara dengan suara bariton dibuat-buat dan sungguh terdengar sangat aneh, keduanya tertawa.

"Suara nggak usah diubah deh, yang penting jangan terlalu lembut, biasa aja." Sigit memberi saran.

Yara mengangguk, kembali merapikan rambutnya di depan cermin. Dia harus siap dengan kemungkinan apapun yang terjadi. Jika kebohongannya terbongkar, dia hanya perlu lari.

"Ya?"

Panggilan Sigit membuat Yara menoleh. "Kenapa?" tanyanya.

"Kamu harus hati-hati yah di rumah itu, gosipnya si pemilik rumah itu suka sama sesama jenis."

Yara tertegun, masih mencerna kalimat abangnya yang sulit dipahami. "Maksudnya?"

Sigit tampak ragu, namun kemudian berucap lagi. "Aa nggak tau ya ini cuman gosip apa dia emang beneran gitu. Tapi cowok pemilik rumah itu katanya suka sama cowok juga."

Raut wajah Yara berubah pucat, mungkin dia akan lebih menerima jika gosip itu mengatakan bahwa si pemilik rumah itu suka main perempuan, toh dia sekarang jadi laki-laki, tapi bagaimana jika pria itu justru malah jatuh cinta pada dirinya sebagai Yayan. "Aa yang bener ih," dengan wajah ngeri gadis itu mendekati abangnya. "Terus aku harus gimana?" imbuhnya.

"Nggak apa-apa, Ya. Kamu jadi cowok juga nggak ganteng, dia nggak nafsu sama kamu." Sigit mendapat pukulan di lengannya atas kalimat itu, berniat menghibur sang adik dia justru malah membuatnya kesal.

"Gimana kalo aku diperkosa?" Yara menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Udah kamu pasrah aja nggak apa-apa, dia orang kaya." Sigit kembali mendapat pukulan, kali ini di kepalanya. Jika membunuh saudara kandung tidak dipenjara, mungkin gadis itu sudah melakukannya sejak lama.

Sore hari sepulang dari tempatnya bekerja, Yara mengikuti abangnya ke rumah baru tempatnya akan tinggal sementara.

"Ini rumahnya, A?" Yara bertanya saat mereka sudah berada di depan pintu gerbang yang terbuka, rumah minimalis dua lantai yang terlihat mewah itu membuat ia ingin menangis. Seharusnya ini sudah menjadi rumahnya.

"Harusnya ini udah jadi rumah kita," ucap Sigit, seolah dapat membaca isi hati adiknya.

Yara berdecak sebal, melirik sinis pria di sebelahnya. "Harusnya aa tuh mikir, rumah semewah ini mana mungkin harganya cuman segitu. Aa tergiur sama harga murah makanya ketipu, buat beli ubinnya aja aku rasa nggak cukup." Gadis yang sudah berpenampilan seperti laki-laki itu mengomel.

Sigit tidak menanggapi, saat seseorang berseragam rapi mendekat ke arahnya. "Mas Sigit, sudah ditunggu Pak Nino di dalam," ucapnya.

Sigit menyenggol Yara yang kala itu masih memperhatikan taman buatan di depan rumah itu. Dia menoleh.

"Ini adik saya, Pak Bima," ucap Sigit memperkenalkan adiknya.

"Oh, Yanto?" Bima mengulurkan tangan.

Satu Atap (Tamat Di KbmApp)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang